Pagi itu, udara masih dingin menyapu dedaunan basah oleh embun. Taman kecil di belakang rumah sakit belum sepenuhnya ramai. Hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk di bangku taman, menikmati ketenangan pagi.
Hana datang dengan langkah hati-hati. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecemasan malam tadi. Sementara ibunya masih dirawat di ruang intensif. Ia belum sadar, dan kini, Hana datang menuruti telepon dari orang asing yang memberitahunya soal masa lalu Abian. Jantungnya berdegup tak karuan. Matanya menyapu taman. Tak ada siapa pun yang mencurigakan. Sampai matanya tertuju pada seorang wanita berpenampilan elegan, berdiri di bawah pohon besar, mengenakan mantel krem dengan syal biru lembut melilit lehernya. Di sebelah wanita itu, berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, mengenakan gaun putih bermotif bunga. Gadis kecil itu memegang tangan wanita itu erat sambil memeluk boneka. Hana melangkah pelan, ragu. Wanita itu menoleh dan tersenyum tipis. Sorot matanya tajam namun memikat. “Kau pasti Hana Adelia.” Langkah Hana berhenti. “Ya. Kau yang meneleponku?” Wanita itu mengangguk. “Namaku... Felia.” Felia? Nama itu langsung menggetarkan dada Hana. Bukankah itu... wanita dari masa lalu Abian? "Maaf... kau siapa? Dan kenapa menghubungiku soal... anak? Apa maksudmu?" Felia memandang Hana lekat-lekat, lalu melirik gadis kecil di sebelahnya. Ia mengusap kepala anak itu. “Pergilah bermain sebentar, sayang.” “Baik, Mommy,” jawab gadis itu ceria, lalu berlari ke ayunan. Hana memperhatikan interaksi itu. Hatinya tak nyaman. Felia menoleh lagi. "Sebelum aku bicara soal siapa suami, dan bagaimana masa lalunya izinkan aku bertanya satu hal... Kau benar-benar mencintai Abian?" Pertanyaan itu membuat Hana terdiam. Ia tak langsung menjawab. Bahkan ia sendiri belum tahu pasti jawabannya. Felia menghela napas. “Baiklah. Aku tak akan berputar-putar. Aku datang bukan untuk mencampuri urusan rumah tanggamu. Tapi aku harus jujur. Anak itu... Alena... adalah putri dari Abian Adiyaksa.” Deg. Dunia Hana seakan runtuh dalam sekejap. “Apa?” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Ya,” ujar Felia pelan, tapi mantap. “Dan aku kembali bukan untuk merusak pernikahan kalian. Tapi Abian punya hak untuk tahu... bahwa ia punya anak perempuan.” Hana mematung. Wajahnya membeku. “Aku tidak mengharapkan apa pun dari Abian. Tapi Alena selalu bertanya tentang ayahnya. Dan ketika aku melihat pernikahan kalian di media, aku tahu... waktuku hampir habis. Aku harus menjelaskan semuanya sebelum segalanya menjadi semakin kacau.” Hana menggeleng, melangkah mundur. “Tidak... Tidak mungkin. Jika memang itu benar, kenapa kau baru muncul sekarang?” “Aku tak punya pilihan.” Suara Felia mulai bergetar. “Waktu itu kami pisah karena salah paham. Aku memilih pergi karena aku merasa tak dihargai. Tapi aku tak pernah tahu kalau aku hamil... sampai akhirnya aku memutuskan untuk membesarkan anak ini sendiri.” “Apa Abian tahu?” suara Hana lirih. Felia menggeleng. “Belum. Dan aku ingin... kau yang menyampaikannya.” “Apa?!” Felia menatapnya dengan pandangan penuh luka. “Kau istrinya sekarang. Jika aku yang bicara, semuanya akan dianggap sebagai niat buruk. Tapi jika kau yang menyampaikan... dia akan percaya. Dan aku mohon... jangan biarkan Alena tumbuh tanpa tahu siapa ayahnya.” Hana meremas jemarinya sendiri. Perasaan bingung, marah, hancur, bercampur menjadi satu. "Aku bahkan belum tahu pasti... apakah aku dan Abian benar-benar menikah karena cinta atau karena keterpaksaan. Dan sekarang kau memberiku beban ini?" Felia menatap Hana dengan pandangan tenang. “Beban itu akan datang bagaimanapun juga. Aku hanya menyampaikannya dengan cara yang paling manusiawi.” Hana terdiam. Matanya memandangi gadis kecil yang tertawa di ayunan. Matanya... ada sedikit sorot mata Abian di sana. “Alena tidak bersalah,” ucap Felia pelan. “Dan aku tidak datang untuk merebut siapa pun. Tapi aku tidak akan membiarkan anakku terus bertanya di mana ayahnya.” Setelah menyampaikan hal itu Felia berjalan menghampiri putrinya, dan mereka pergi tanpa jawaban yang jelas. Felia menggandeng Alena dan pergi dengan tenang, meninggalkan Hana yang terdiam di bangku taman. Pikirannya kusut. Dunia seakan berputar. Setelah beberapa menit, Hana akhirnya memutuskan kembali ke rumah sakit. Tapi langkahnya terhenti. Ponselnya berdering. Nama di layar membuat tubuhnya kaku. Abian. Tangannya gemetar saat menekan tombol hijau. “Hana... di mana kamu? Aku sudah mencari ke seluruh rumah sakit. Aku ingin bicara denganmu." Suara Abian terdengar tulus, tapi Hana tahu, ia belum siap untuk berkata jujur. “Aku sedang di taman belakang. Tapi... aku ingin sendiri dulu.” “Aku akan ke sana.” Klik. Hana menoleh pelan. Dan benar saja—dari kejauhan, Abian mulai mendekat. Tepat saat langkah Abian semakin dekat, suara anak kecil terdengar dari sisi kanan. “Mommy! Mommy! Aku mau balon itu!” Abian refleks menoleh ke arah suara itu. Dan tatapannya membeku saat melihat Felia berdiri di tepi taman... bersama seorang gadis kecil yang tampak merengek di sampingnya. Hana memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Abian. Dada Abian naik-turun. “Felia...?” bisiknya. Lalu matanya berpindah ke anak kecil itu. “Dan... siapa dia?” Hana menutup matanya sejenak. Lalu berkata pelan, “Namanya Alena... putrimu.” Felia menggandeng tangan Alena, hendak berbalik meninggalkan taman. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar Hana berbicara dengan seseorang, ia melihat sosok pria berdiri beberapa meter di belakang Hana. Tatapan Felia langsung membeku. “Abian...” Suara itu lirih, tapi cukup membuat pria itu diam terpaku. Hana menoleh. Abian kini berdiri membatu, wajahnya pucat. Sorot matanya bertabrakan dengan milik Felia—masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang kini berdiri di hadapannya. Felia menarik napas panjang, lalu menghampiri perlahan dengan langkah yang tenang namun berat. Alena masih menggenggam tangannya, bingung menatap dua orang asing yang kini menjadi pusat perhatian ibunya. “Aku tak menyangka kau akan di sini,” ucap Felia pelan. Abian tak menjawab. Tatapannya tertuju pada gadis kecil di sebelah Felia. “Siapa dia?” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Apa benar yang di katakan Hana kalau dia—,” Felia menunduk sejenak. Lalu dengan suara mantap, ia berkata. “Ya. Benar yang di katakan Hana, dia Alena adalah putrimu!” Hana menahan napas. Sekalipun ia sudah mendengarnya lebih dulu, mendengar langsung dari mulut Felia terasa seperti luka yang dikoyak kembali. Abian memejamkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau serius?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Jangan berbohong Felia.” Felia mengangguk. “Aku tidak ingin menyembunyikannya. Tapi aku juga tak ingin masa lalu membuatmu membenciku.” Alena menarik-narik lengan Felia, berbisik, “Mommy, dia siapa?” Felia berjongkok, mengusap rambut anak itu lembut. “Sayang, ini...” Abian menelan ludah. Dunia seakan berhenti berputar. Ia menatap mata gadis kecil itu—dan mendapati pantulan matanya sendiri di sana. Hana menggenggam erat jemarinya sendiri. Hatinya hancur, tapi ia tak bisa pergi begitu saja. Tidak malam ini. Felia berdiri lagi, menatap Abian penuh harap dan getir. “Aku tak minta kau bertanggung jawab. Aku hanya ingin kau tahu bahwa dia ada. Dan dia butuh tahu siapa ayahnya.” Abian membuka mulut, ingin berkata sesuatu, tapi suaranya tercekik. Felia menggandeng Alena, hendak berbalik. Tapi tepat saat itu... Ponsel Hana berdering. Suara di ujung sana panik. “Ibu Hana Adelia? Ini dari rumah sakit. Kondisi Ibu Calista... tiba-tiba menurun drastis. Kami butuh Anda datang sekarang juga!”Mobil hitam itu masih terparkir di sisi kanan halaman rumah sakit. Dari balik kaca yang sedikit terbuka, sepasang mata mengamati pintu masuk ruang IGD dengan tajam. Perempuan itu adalah Felia. Ia tak segera turun, seolah menimbang apakah kehadirannya akan memperkeruh suasana atau justru membuka jalan untuk menjelaskan segalanya.Di dalam rumah sakit, kabar meninggalnya Calista menyebar cepat. Para perawat dan dokter yang merawatnya hanya bisa menunduk penuh penyesalan. Beberapa orang dari staf rumah sakit memberi ucapan belasungkawa singkat pada Hana yang masih berdiri membeku di depan ruang ICU. Tangisnya sudah kering, tetapi matanya tetap kosong.Langkah kaki cepat terdengar dari ujung lorong. Abian datang dengan tergesa, diikuti kedua orang tuanya, Tania dan Devan Adiyaksa. Wajah mereka tegang, napas terengah.“Hana!” panggil Tania. “Kami baru dengar soal ibumu... Kami sangat menyesal.”Abian langsung menghampiri Hana yang tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.“Hana... aku.
Langit siang mulai mendung. Udara di rumah sakit semakin dingin, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Hana yang terus diliputi awan kelabu. Sejak kemarin, ia belum sempat benar-benar beristirahat. Matanya sembab, dan tubuhnya mulai letih, tapi pikirannya tak berhenti berputar.Calista masih terbaring di ruang ICU. Kondisinya belum stabil. Dokter tak banyak berkata, hanya menyuruh Hana banyak berdoa dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.Abian sempat datang pagi tadi. Tapi kehadirannya hanya menambah sesak di dada Hana. Tatapan pria itu menyimpan kegelisahan dan rasa bersalah, tapi Hana belum bisa membicarakan apa pun padanya. Ia hanya meminta Abian pulang untuk menenangkan diri. Meski begitu, hatinya sendiri tak kunjung tenang.Baru saja ia hendak berdiri dari kursi tunggu di lorong ICU, suara pelan dari arah lift membuatnya menoleh. Suara roda berderit, menyertai langkah seorang perawat yang mendorong kursi roda.Di atas kursi itu, duduk seorang wanita setengah baya deng
Suara mesin di ruang ICU berdengung pelan, seperti alunan nada tak kasatmata yang menghantam relung hati Hana. Di balik kaca tebal, tubuh Calista terbaring lemah, penuh dengan kabel dan selang yang menempel di berbagai sisi tubuhnya. Napasnya naik-turun melalui ventilator. Lampu-lampu monitor berkedip seirama dengan detak jantungnya yang lemah.Hana berdiri diam, membeku. Dunia di sekitarnya seperti berhenti. Matanya merah, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus menangis atau berteriak. Semuanya terasa terlalu berat, terlalu mendadak, terlalu sakit.Setelah bertahun-tahun hanya hidup berdua, kini ibunya berada di antara hidup dan mati. Dan di saat yang sama, pernikahannya bersama Abian baru saja diguncang oleh satu kenyataan besar, kemunculan Felia, dan seorang anak kecil bernama Alena.“Apa aku... pantas bahagia di atas semua ini?” gumamnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam oleh suara mesin-mesin medis.Pintu ruang tunggu terbuka pelan.Abian muncul, wajahnya masih d
Pagi itu, udara masih dingin menyapu dedaunan basah oleh embun. Taman kecil di belakang rumah sakit belum sepenuhnya ramai. Hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk di bangku taman, menikmati ketenangan pagi.Hana datang dengan langkah hati-hati. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecemasan malam tadi. Sementara ibunya masih dirawat di ruang intensif. Ia belum sadar, dan kini, Hana datang menuruti telepon dari orang asing yang memberitahunya soal masa lalu Abian.Jantungnya berdegup tak karuan.Matanya menyapu taman. Tak ada siapa pun yang mencurigakan. Sampai matanya tertuju pada seorang wanita berpenampilan elegan, berdiri di bawah pohon besar, mengenakan mantel krem dengan syal biru lembut melilit lehernya.Di sebelah wanita itu, berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, mengenakan gaun putih bermotif bunga. Gadis kecil itu memegang tangan wanita itu erat sambil memeluk boneka.Hana melangkah pelan, ragu.Wanita itu menoleh dan tersenyum tipis. Sorot matanya
Abian terpaku menatap layar ponselnya. Notifikasi itu menghantam dadanya seperti gelombang lama yang datang kembali membawa serpihan masa lalu yang belum selesai. Jemarinya mengepal, dadanya sesak. Bingung. Bimbang. Terikat dan terjerat di antara kewajiban sebagai seorang anak dan perasaan yang mulai mengusik batinnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel pengantin yang sunyi. Hana tidak ada. Ia bahkan belum kembali sejak pergi diam-diam tadi—masih mengenakan gaun pengantin yang seharusnya menjadi saksi malam pertama mereka sebagai pasangan sah. Abian duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk dalam. “Harusnya aku menjelaskan semuanya… sebelum semua ini terjadi.” Ia tahu, Hana mungkin membaca notifikasi itu. Itu cukup untuk membuat siapa pun merasa diabaikan—terutama perempuan yang baru saja ia nikahi, meski hanya atas nama kontrak. Tapi kenapa hatinya seberat ini? Bukankah dulu, saat menyusun rencana pertunangan palsu itu, ia mengira tak akan ada yang terluka? Terny
Abian duduk membisu di ruang kerja ayahnya. Pagi itu, suasana rumah keluarga Adiyaksa sedikit lebih tenang dibanding malam sebelumnya yang nyaris meledak karena masa lalu yang menyeruak tanpa aba-aba. Tania kini duduk bersandar di sofa, mengenakan gaun berwarna pastel lembut. Wajahnya masih menyisakan kelelahan emosional, tapi matanya tak lagi menyala penuh dendam. Devan menyuguhkan teh untuk istrinya sebelum ia duduk di samping Abian. “Kita harus bicara,” ujar pria paruh baya itu. Abian mengangguk pelan. “Tentang pertunanganku dengan Hana?” Tania menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tentang pernikahan kalian.” Alis Abian terangkat. “Pernikahan? Kita belum bertunangan secara resmi. Lagipula ini hanya—” “Awalnya hanya sandiwara, ya, aku tahu,” sela Tania lembut namun tegas. “Tapi kamu sudah dewasa, Abian. Kami sudah lama menunggu kamu membawa pulang seseorang. Dan saat kamu akhirnya memilih, meskipun pura-pura, ternyata gadis itu... bukan orang yang buruk.” Devan menimp