Suara mesin di ruang ICU berdengung pelan, seperti alunan nada tak kasatmata yang menghantam relung hati Hana. Di balik kaca tebal, tubuh Calista terbaring lemah, penuh dengan kabel dan selang yang menempel di berbagai sisi tubuhnya. Napasnya naik-turun melalui ventilator. Lampu-lampu monitor berkedip seirama dengan detak jantungnya yang lemah.
Hana berdiri diam, membeku. Dunia di sekitarnya seperti berhenti. Matanya merah, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus menangis atau berteriak. Semuanya terasa terlalu berat, terlalu mendadak, terlalu sakit. Setelah bertahun-tahun hanya hidup berdua, kini ibunya berada di antara hidup dan mati. Dan di saat yang sama, pernikahannya bersama Abian baru saja diguncang oleh satu kenyataan besar, kemunculan Felia, dan seorang anak kecil bernama Alena. “Apa aku... pantas bahagia di atas semua ini?” gumamnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam oleh suara mesin-mesin medis. Pintu ruang tunggu terbuka pelan. Abian muncul, wajahnya masih diliputi kegelisahan. Tatapannya langsung menangkap sosok Hana yang berdiri kaku di depan kaca. Ia menghampiri dengan langkah hati-hati, nyaris ragu. “Hana...” ucapnya pelan. Hana tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada ibunya. Bibirnya bergerak, tetapi tak ada suara yang keluar. “Dokter bilang kondisinya kritis, tapi masih ada harapan,” Abian mencoba menenangkan. Ia berdiri di samping Hana, tak berani menyentuh atau mendekapnya. Seolah-olah ada dinding tak kasat mata yang membentang di antara mereka. “Kau tahu... aku bahkan tidak sempat bicara banyak pada Ibu sebelum hari pernikahan.” Suara Hana pecah. “Semua terjadi begitu cepat. Lalu setelah menikah, aku malah harus menghadapi kenyataan bahwa masa lalumu kembali datang memburu kita.” Abian menunduk. Ia tak bisa menyangkal. Wajah Felia, suara kecil Alena memanggil ‘Mommy’, dan sorot mata tajam Hana saat menyebut nama itu—semuanya masih terekam jelas dalam ingatannya. “Aku tidak tahu, Hana. Aku tidak tahu dia mengandung anakku. Aku... tidak pernah tahu,” bisiknya. “Aku tahu,” balas Hana cepat. “Dan aku percaya kau tak tahu. Tapi tetap saja, kenyataan bahwa Felia kembali dengan membawa seorang anak yang katanya darah dagingmu—itu cukup untuk membuatku merasa hancur.” Abian mengatupkan rahangnya. Ia ingin menjelaskan lebih banyak, ingin memohon pengertian, tapi ia tahu bukan waktunya. “Aku tidak butuh penjelasan sekarang, Abian,” ujar Hana pelan. “Yang kuinginkan hanya satu... ibuku sembuh.” “Dan kalau ia tidak sembuh?” tanya Abian pelan. Hana menoleh dengan sorot mata penuh luka. “Maka aku kehilangan satu-satunya orang yang selalu ada untukku.” Abian menunduk. “Aku di sini sekarang.” “Tapi berapa lama?” desis Hana. “Berapa lama kau akan tetap ada jika Felia meminta haknya? Jika Alena benar-benar putrimu?” Abian tidak bisa menjawab. Hening sejenak. Hanya suara mesin infus dan ventilator dari balik kaca yang terdengar. Lalu, tiba-tiba dokter keluar dari ruang ICU. Wajahnya tegang. “Siapa keluarga pasien Nyonya Calista?” tanyanya. Hana langsung menghampiri. “Saya. Saya putrinya.” “Kondisinya memburuk. Kami butuh tanda tangan Anda untuk persetujuan tindakan lanjutan. Kami akan mencoba tindakan agresif untuk menyelamatkan nyawanya. Tapi ada risiko... besar.” Tangan Hana gemetar saat mengambil bolpoin dari meja kecil yang disodorkan dokter. Ia menatap lembar persetujuan itu, lalu menatap ibunya lagi. Ia menandatangani tanpa ragu. Setelah dokter masuk kembali ke ruang ICU, Hana perlahan duduk di kursi. Lututnya terasa lemas. Abian duduk di sampingnya, tapi tetap menjaga jarak. Mereka berdua diam. Dunia terasa berat. Pernikahan yang baru seumur jagung kini diuji oleh masa lalu yang belum selesai dan kehidupan yang hampir hilang. “Aku tidak tahu harus ke mana, Abian. Aku tidak tahu siapa yang bisa kupercaya sekarang,” ucap Hana pelan. “Kau bisa percaya padaku,” jawab Abian, meski suaranya sendiri terdengar ragu. “Bahkan kau pun bingung, bukan?” tanya Hana. “Antara aku dan Felia. Antara masa lalu dan sekarang. Kau pasti masih sangat mencintainya kan, aku sadar aku hanya pemeran pengganti di sini.” Abian tak menyangkal. “Aku hanya ingin semuanya benar. Aku ingin menjelaskan. Aku ingin tahu kebenaran tentang Alena, tentang Felia, dan tentang... kita.” Hana memalingkan wajah. Lalu... ponselnya berdering. Pesan masuk. Dari nomor tak dikenal. “Jika kau ingin tahu kebenaran tentang Felia dan anak itu, datanglah ke kamar 418” Hana menatap layar ponsel, jantungnya berdebar hebat. Siapa ini? Apa ini jebakan? Atau... “Kenapa wajahmu tegang?” tanya Abian. Hana cepat-cepat mengunci ponsel dan berdiri. “Aku mau ke toilet.” “Biar kuantar—” “Tidak, untuk apa?” potong Hana cepat. “Aku butuh waktu sendiri.” Abian mengangguk pelan, meski jelas ia menyimpan rasa curiga. Hana bergegas menuju lift. Pikirannya penuh tanya. Siapa yang mengirim pesan itu? Apa hubungannya dengan Felia? Dan kenapa diminta untuk tidak membawa Abian? Langkah Hana berhenti di depan kamar 418. Tangannya gemetar saat hendak membuka pintu. Deru napasnya tidak beraturan. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat, tapi hatinya menuntunnya ke sini. Ketika pintu terbuka perlahan, aroma antiseptik rumah sakit langsung menyeruak. Cahaya remang dari lampu ruangan memantul di dinding putih. Dan di dalam ruangan itu... Seseorang sedang duduk di kursi roda, wajahnya tertutup sebagian oleh kerudung tipis. Namun mata tajamnya menatap langsung ke arah Hana, seolah sudah menunggunya sejak lama. “Selamat datang, Hana Adelia,” ucap perempuan itu dengan suara dingin. “Akhirnya kau datang juga.” “Siapa... siapa kau?” tanya Hana, menahan getar di suaranya. Wanita itu tersenyum kecil, lalu mengangkat tangan, memperlihatkan sebuah foto lusuh. Foto itu... foto lama Abian sedang berdiri di depan sebuah rumah tua, bersama Felia—dan seorang wanita lain yang wajahnya mirip sekali dengan wanita di hadapannya sekarang. “Jika kau ingin tahu siapa sebenarnya Felia, kau harus tahu siapa aku terlebih dahulu. Karena tanpa aku... Felia takkan pernah muncul kembali.” Hana terpaku. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. “Tapi siapa kau sebenarnya?” desaknya. Wanita itu menjawab dengan tenang namun menusuk. “Aku adalah alasan kenapa Abian meninggalkan Felia dulu... dan alasan kenapa kau akan kehilangan segalanya.” “Siapa kau sebenarnya?” Hanya mendekat dan membuka penutup kepala perempuan itu. Hana terkejut ketika mengetahui siapa sosok yang di hadapannya saat ini, ia benar-benar tidak menyangka perempuan itu adalah yang benar-benar dekat dengan keluarganya terutama ibunya, Calista. “Tante Mira... sebenarnya apa hubunganmu dengan Felia? Dan kenapa kau mengatakan kalau aku akan kehilangan segalanya?” Perempuan itu tersenyum sinis, “Seharusnya. Kau dan ibumu jauh-jauh dari keluarga Adiyaksa... aku sudah merencanakan semuanya, dan gagal hanya karena kamu menikahi Abian!” “Kenapa Tante... apa alasannya?” akhirnya tangis Hana pecah, karena cobaan ini datang bertubi padanya. “Jauhi Abian... jangan campuri urusan Felia!” perempuan itu pergi dengan kursi rodanya. Ada apa dengan Tante Mira? Kenapa dia begitu menginginkan mereka jauh-jauh dari hidup keluarga Adiyaksa?Mobil hitam itu masih terparkir di sisi kanan halaman rumah sakit. Dari balik kaca yang sedikit terbuka, sepasang mata mengamati pintu masuk ruang IGD dengan tajam. Perempuan itu adalah Felia. Ia tak segera turun, seolah menimbang apakah kehadirannya akan memperkeruh suasana atau justru membuka jalan untuk menjelaskan segalanya.Di dalam rumah sakit, kabar meninggalnya Calista menyebar cepat. Para perawat dan dokter yang merawatnya hanya bisa menunduk penuh penyesalan. Beberapa orang dari staf rumah sakit memberi ucapan belasungkawa singkat pada Hana yang masih berdiri membeku di depan ruang ICU. Tangisnya sudah kering, tetapi matanya tetap kosong.Langkah kaki cepat terdengar dari ujung lorong. Abian datang dengan tergesa, diikuti kedua orang tuanya, Tania dan Devan Adiyaksa. Wajah mereka tegang, napas terengah.“Hana!” panggil Tania. “Kami baru dengar soal ibumu... Kami sangat menyesal.”Abian langsung menghampiri Hana yang tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.“Hana... aku.
Langit siang mulai mendung. Udara di rumah sakit semakin dingin, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Hana yang terus diliputi awan kelabu. Sejak kemarin, ia belum sempat benar-benar beristirahat. Matanya sembab, dan tubuhnya mulai letih, tapi pikirannya tak berhenti berputar.Calista masih terbaring di ruang ICU. Kondisinya belum stabil. Dokter tak banyak berkata, hanya menyuruh Hana banyak berdoa dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.Abian sempat datang pagi tadi. Tapi kehadirannya hanya menambah sesak di dada Hana. Tatapan pria itu menyimpan kegelisahan dan rasa bersalah, tapi Hana belum bisa membicarakan apa pun padanya. Ia hanya meminta Abian pulang untuk menenangkan diri. Meski begitu, hatinya sendiri tak kunjung tenang.Baru saja ia hendak berdiri dari kursi tunggu di lorong ICU, suara pelan dari arah lift membuatnya menoleh. Suara roda berderit, menyertai langkah seorang perawat yang mendorong kursi roda.Di atas kursi itu, duduk seorang wanita setengah baya deng
Suara mesin di ruang ICU berdengung pelan, seperti alunan nada tak kasatmata yang menghantam relung hati Hana. Di balik kaca tebal, tubuh Calista terbaring lemah, penuh dengan kabel dan selang yang menempel di berbagai sisi tubuhnya. Napasnya naik-turun melalui ventilator. Lampu-lampu monitor berkedip seirama dengan detak jantungnya yang lemah.Hana berdiri diam, membeku. Dunia di sekitarnya seperti berhenti. Matanya merah, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus menangis atau berteriak. Semuanya terasa terlalu berat, terlalu mendadak, terlalu sakit.Setelah bertahun-tahun hanya hidup berdua, kini ibunya berada di antara hidup dan mati. Dan di saat yang sama, pernikahannya bersama Abian baru saja diguncang oleh satu kenyataan besar, kemunculan Felia, dan seorang anak kecil bernama Alena.“Apa aku... pantas bahagia di atas semua ini?” gumamnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam oleh suara mesin-mesin medis.Pintu ruang tunggu terbuka pelan.Abian muncul, wajahnya masih d
Pagi itu, udara masih dingin menyapu dedaunan basah oleh embun. Taman kecil di belakang rumah sakit belum sepenuhnya ramai. Hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk di bangku taman, menikmati ketenangan pagi.Hana datang dengan langkah hati-hati. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecemasan malam tadi. Sementara ibunya masih dirawat di ruang intensif. Ia belum sadar, dan kini, Hana datang menuruti telepon dari orang asing yang memberitahunya soal masa lalu Abian.Jantungnya berdegup tak karuan.Matanya menyapu taman. Tak ada siapa pun yang mencurigakan. Sampai matanya tertuju pada seorang wanita berpenampilan elegan, berdiri di bawah pohon besar, mengenakan mantel krem dengan syal biru lembut melilit lehernya.Di sebelah wanita itu, berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, mengenakan gaun putih bermotif bunga. Gadis kecil itu memegang tangan wanita itu erat sambil memeluk boneka.Hana melangkah pelan, ragu.Wanita itu menoleh dan tersenyum tipis. Sorot matanya
Abian terpaku menatap layar ponselnya. Notifikasi itu menghantam dadanya seperti gelombang lama yang datang kembali membawa serpihan masa lalu yang belum selesai. Jemarinya mengepal, dadanya sesak. Bingung. Bimbang. Terikat dan terjerat di antara kewajiban sebagai seorang anak dan perasaan yang mulai mengusik batinnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel pengantin yang sunyi. Hana tidak ada. Ia bahkan belum kembali sejak pergi diam-diam tadi—masih mengenakan gaun pengantin yang seharusnya menjadi saksi malam pertama mereka sebagai pasangan sah. Abian duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk dalam. “Harusnya aku menjelaskan semuanya… sebelum semua ini terjadi.” Ia tahu, Hana mungkin membaca notifikasi itu. Itu cukup untuk membuat siapa pun merasa diabaikan—terutama perempuan yang baru saja ia nikahi, meski hanya atas nama kontrak. Tapi kenapa hatinya seberat ini? Bukankah dulu, saat menyusun rencana pertunangan palsu itu, ia mengira tak akan ada yang terluka? Terny
Abian duduk membisu di ruang kerja ayahnya. Pagi itu, suasana rumah keluarga Adiyaksa sedikit lebih tenang dibanding malam sebelumnya yang nyaris meledak karena masa lalu yang menyeruak tanpa aba-aba. Tania kini duduk bersandar di sofa, mengenakan gaun berwarna pastel lembut. Wajahnya masih menyisakan kelelahan emosional, tapi matanya tak lagi menyala penuh dendam. Devan menyuguhkan teh untuk istrinya sebelum ia duduk di samping Abian. “Kita harus bicara,” ujar pria paruh baya itu. Abian mengangguk pelan. “Tentang pertunanganku dengan Hana?” Tania menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tentang pernikahan kalian.” Alis Abian terangkat. “Pernikahan? Kita belum bertunangan secara resmi. Lagipula ini hanya—” “Awalnya hanya sandiwara, ya, aku tahu,” sela Tania lembut namun tegas. “Tapi kamu sudah dewasa, Abian. Kami sudah lama menunggu kamu membawa pulang seseorang. Dan saat kamu akhirnya memilih, meskipun pura-pura, ternyata gadis itu... bukan orang yang buruk.” Devan menimp