Aven and Asura were already quite far from the palace grounds when a rumbling sound shook the ground, startling them both in the midst of beating up several giant bats that were Ahool.
Aven jerked his head behind them, exclaiming in surprise, “What's that?”Asura launched one wind blow for the last Ahool. She wiped her sweaty face and looked back too. The ground was still shaking. A moment later they knew what caused it. A kind of gigantic stone wall seemed to be sticking out of the ground, until the wall that now looked more like a fortress rose high, as if it could touch the clouds that were moving in the sky.“What the hell is that?” Asura blinked, dumbfounded, while her head was tilted back and her mouth slightly gaped. Her eyes are still a little puffy.Aven shook his head. “A lot of things will happen during this time, apparently. I hope the Voltums at least manage to do something about that bastard kid.” He finally looked down again and turned his head to look at“Shit!” Aven cursed once again. He turned his head, examining the girl next to him who was now practically as pale as the argan in front of them. “Asura, find a safe place to hide! Let me deal with that argan.”However, Asura shook her head stubbornly. “I can still help you. My pain won't slow us down.”Aven could have tried to persuade Asura even more, but the argan in front of them swung his arm again. Crystals of the same shape as the one now embedded in Aven's feet appeared in the air and shot towards the two of them very quickly. Aven exerted his Fire Talent regardless of his calf which was still bleeding continuously. Asura also swept her hands through the air, throwing the sharp crystals into the bushes not far from them.What Asura did, however, only made things worse, unlike what she had said before. She could feel her strength getting weaker, as if the now blackened wound was draining her energy. Even so, the girl ke
Aven finally arrived at a very dilapidated old hut. He stumbled into the hut. The argan who had seen him earlier turned out to be chasing them like a madman. The possessed volt had Iron Talent and the evil soul must have possessed him for less than five minutes, because judging by the way he throws attacks, it looks very awkward and often misses. However, an attack in the form of a sharp iron stick managed to hit his left hind thigh, making his leg limp even more with increasing pain.Once inside the hut, Aven tried to squat with Asura still on his back, had been unconscious since they were being chased by the argan a while ago. Aven, however, had a hard time doing that because of his two wounds on one leg at once. He finally lowered Asura's body gently, then his hands began to search for something on the dirt floor which was covered in a splintered roof of leaves that had been damaged and destroyed.Something that felt round as big as a pin managed to be felt by his h
KEINGINAN UNTUK KEMBALIAven dan Asura sudah berada cukup jauh dari area istana saat suara gemuruh menggetarkan tanah, mengejutkan mereka berdua di sela-sela menghajar beberapa kelelawar raksasa yang adalah Ahool.Aven mnenyentakkan kepala ke arah belakang meeka, berseru kaget, “Apa itu?”Asura melancarkan satu pukulan angin untuk Ahool terakhir. Ia menyeka wajahnya yang berkeringat dan ikut menoleh ke belakang. Tanah masih terus bergetar. Sesaat kemudian mereka tahu apa penyebabnya. Semacam dinding batu raksasa tampak menyembul ke atas tanah, terus hinga dinding yang kini lebih mirip benteng itu menjulang tinggi, seakan ia bisa saja menyentuh awan-awan yang tengah berarak di langit.“Apa-apaan itu?” Asura mengerjap-ngerjap, tercengang, sementara kepalanya tengadah dan mulutnya sedikit melongo. Matanya masih agak sembab.Aven menggeleng-gelengkan kepala. “Banyak hal akan terjadi di masa ini, rupanya. Kuharap para Voltum setidak-tidaknya berhasil melakukan sesuatu pada si bocah brengsek
Para Volt Kesurupan“Sial!” umpat Aven sekali lagi. Ia menoleh, memeriksa gadis di sebelahnya yang kini bisa dibilang nyaris sama pucatnya dengan argan di depan mereka. “Asura, carilah tempat aman untuk bersembunyi! Biar aku yang menghadapi argan itu.”Namun, Asura menggeleng, keras kepala. “Aku masih bisa membantumu. Lukaku tidak akan memperlambat kita.”Aven bisa saja mencoba membujuk Asura lebih giat lagi, tapi argan di depan mereka mengayunkan tangannya lagi. Kristal-kristal berbentuk sama seperti yang kini tertancap di kaki Aven muncul di udara dan melesat ke arah mereka berdua dengan sangat cepat. Aven mengerahkan Bakat Apinya tanpa memedulikan betisnya yang masih terus berdarah. Asura juga menyapukan tangannya ke udara, melemparkan kristal-kristal tajam itu ke semak-semak tak jauh dari mereka.Apa yang dilakukan oleh Asura, bagaimana pun, malah membuat keadaannya makin memburuk, tidak seperti yang ia katakan sebelumnya. Ia bisa merasakan kekuatannya makin melemah, seolah-olah lu
YANG PALING SAKITAven akhirnya tiba di sebuah gubuk tua yang sangat bobrok. Ia memasuki gubuk itu dengan terseok-seok. Si argan yang sempat melihatnya tadi ternyata mengejar mereka seperti kesetanan. Volt yang kesurupan itu memiliki Bakat Besi dan pastilah jiwa jahat baru merasukinya kurang dari lima menit, sebab dilihat dari caranya melemparkan serangan-serangan terlihat sangat canggung dan sering meleset. Namun, satu serangan berupa stik besi tajam sempat berhasil mengenai paha kiri belakangnya, membuat kakinya semakin terpincang-pincang dengan rasa sakit yang makin bertambah.Begitu tiba di dalam gubuk itu, Aven berusaha berjongkok dengan Asura masih di atas punggungnya, sudah tak sadarkan diri sejak mereka masih dikerjar-kejar oleh si argan beberapa saat tadi. Aven, bagaimana pun, cukup kesulitan melakukan itu karena dua luka sekaligus di satu kakinya. Dia akhirnya menurunkan tubuh Asura dengan lembut, lalu tangannya mulai mencari-cari sesuatu di lantai tanah yang tertutup serakan
Hari itu terik sekali, seakan-akan matahari memancarkan sinarnya lebih terang dari biasanya. Langit tampak begitu bersih, tak ada sedikit pun awan yang tampak di atas sana. Si kecil Venus yang masih lima tahun duduk di teras rumahnya, memainkan boneka bantal yang kehilangan satu matanya, sementara ibu tirinya, Sella, duduk di atas langkan, memainkan ponsel pintarnya sambil sesekali tersenyum-senyum sendiri.Venus berdiri, menenteng boneka bantalnya yang nyaris kusam di samping tubuhnya, lalu berjalan menghampiri Sella. “Ma,” panggilnya pelan, tangannya menarik-narik salah satu ujung baju Sella.Ibu tiri anak perempuan itu menoleh dan menunduk sekilas, menatap Venus dengan tatapan tidak suka, seakan kehadiran gadis kecil itu sangat mengganggunya. Sorot matanya terlihat jelas tidak bersahabat, tapi Venus tampak sudah terbiasa dengan itu.“Apa?” sahut Sella datar.Si kecil Venus memanyunkan bibirnya, kemudian mengangkat boneka bantalnya yang tergantung lemas di tangannya. “Aku mau boneka
Lucas melemparkan gelas kaca yang dia pegang, sungguh dia tidak menyangka Belarus berani melakukan pengajuan peraturan seperti itu. Sejak nenek moyang, sistem kerajaan tidak pernah berubah, Lucas harus menetapkan hal itu. Di usianya yang sangat muda ini, Lucas masih labil dan terkadang dia bingung bagaimana mengelola keuangan. Semua keputusan ada di tangannya, terlalu rumit baginya jika menentukan semuanya sendiri. Lucas belum terbiasa menjadi pemimpin. Di usianya yang masih jauh lebih muda daripada kakaknya, dia masih ingin bersenang-senang. Lucas, sebelum diangkat menjadi raja, sangat menyukai seni pahat dan berkebun. Dia memiliki rumah kaca tersendiri dan studio pahat. Dia nyaris tidak pernah ingin menjadi raja, itulah mengapa dulu saat ayahnya meninggal dia langsung setuju ketika Axton diangkat menjadi raja. Di saat seperti ini, Lucas ingin mengunjungi kakaknya, dia sangat ingin bercerita tentang keluh kesahnya menjadi seorang raja. Semua permintaan masyarakat telah dia penuhi, ha
Helena semalaman tidak bisa tertidur memikirkan tentang kutukan yang ada pada diri Axton. Dia tidak sanggup jika harus begini. Dia sangat ingin mengembalikan Axton, ingin mengetahui mengapa Axton membunuh kakaknya. Helena bangkit di tengah malam, mengganti bajunya dan menutup kunci rumah. Rencananya malam ini dia ingin menuju Balkan, pusat kota para penyihir. Di sana banyak sekali para penyihir yang sangat handal. Helena berharap dia bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya. Dia melewati hutan yang begitu gelap, suara auman serigala membuat dia merinding. Seketika nyalinya menciut, dia takut berada disini sendiri. Helena memutar arahnya, sangat sepi kota di malam hari, semua orang pasti di rumah berkumpul dengan keluarganya. Dia duduk di kursi taman, menatap bunga-bunga indah di hadapannya. Helena paling suka melukis bunga, kelopaknya yang berwarna-warni dan aroma harum dari bunga selalu menginspirasinya. “Kenapa aku bertemu denganmu lagi?” ucap Vale yang tiba-tiba muncul di hadapan