Ketika tiba di Jakarta, Bian mendapat telepon dari sekretarisnya, Daisy. Wanita itu berkata kalau klien yang ingin menjalin kerja sama dengan perusahaan mereka menginginkan bertemu besok di lokasi yang menjadi target proyek.
Bian mengusap kasar wajahnya. Selalu saja ada hambatan jika ini menyangkut Mentari. Sepertinya Tuhan tidak ingin Bian bertemu dengan wanita itu dalam waktu dekat.
"Baik, siapkan keperluan yang akan dibawa. Saya harus tidur sebelum berangkat besok," kata Bian sebelum menutup panggilan dari Daisy.
Sial. Lokasi proyek jelas di luar negeri. Artinya Bian bisa kembali dalam beberapa hari atau bahkan Minggu depan. Tergantung kepuasan rekan bisnis mereka.
Baiklah, Bian akan sabar menanti hari itu tiba. Ketika ia bisa bernapas lega dari urusan pekerjaan, Bian akan langsung menemui Mentari. Bian yakin, Mentari pasti di rumah orangtua angkatnya.
Di lain tempat, Mentari mengusap pipi ibunya. Wanita yang membesarkannya dengan limpahan kasih sayang itu baru saja terlelap setelah Mentari menyuapinya makan.
"Mama tambah kurus," gumam Mentari dengan nada sedih.
"Ay, kamu balik ke rumah aja, ya, Nak, istirahat dulu. Besok ke sini lagi," ujar sang ayah sambil mengelus rambut panjang Mentari.
Mentari mengangguk, "kalau Mama cari Ayi, langsung telpon, ya, Pa," pintanya.
Sang ayah mengangguk sambil tersenyum. "Sopir di bawah, lagi nungguin kamu, hati-hati," ucap ayahnya.
Mentari berlalu setelah mengecup kening ibunya dan mengecup pipi ayahnya. Wanita itu menghela napas panjang. Mentari belum bisa membahagiakan kedua orangtuanya itu. Mentari tidak ingin kondisi kesehatan ibunya memburuk seiring berjalannya waktu. Mentari ingin keduanya tetap sehat hingga Mentari mendapatkan kebahagiaannya.
Tapi, kapan?
Berjalan sambil melamun, Mentari menabrak tubuh seseorang sehingga orang di depannya terduduk sambil meringis pelan.
"Ya, Tuhan, maaf," ucap Mentari sambil membantu orang di depannya berdiri.
Mentari terpaku, wanita di depannya ini adalah wanita itu. Kenapa mereka bisa bertemu di saat seperti ini?
"Perutku..."
Mentari mengerjap mendengar ringisan penuh kesakitan itu. Dengan panik, Mentari memanggil suster sehingga seorang suster berlari mendekat.
"Dokter Kania, kenapa?" tanya suster tersebut.
Kania menggeleng lemah, "bawa saya ke ruangan Dokter Fitri! Perut saya..."
Suster tersebut segera berlari entah ke mana dan kembali dengan sebuah kursi roda. Mentari membantu sang suster untuk mendudukkan Kania di atas kursi roda tersebut.
Dengan langkah lebar, Mentari mengikuti jejak suster yang mendorong kursi roda Kania menuju ruangan dokter... Kandungan?
Jantung Mentari tiba-tiba saja berdetak tidak karuan. Jadi, wanita yang ia tabrak itu tengah hamil? Astaga, Mentari sudah mencelakai ibu hamil.
Perasaan was-was serta rasa bersalah menggerogoti hati Mentari. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada janinnya? Mentari tidak mau dicap sebagai pembunuh.
Tubuh Mentari tiba-tiba saja bergetar hebat. Ingatan kelam saat ia berada di posisi yang sama dengan Kania menyelimuti pikirannya. Mentari berkeringat. Dia kehilangan janinnya malam itu.
"Gak... Gak..." Mentari meringkuk di dinding sebelah pintu ruang dokter kandungan. Wanita itu memukul pelan kepalanya agar bayangan menakutkan itu pergi dari sana.
"Gak... Gak..."
"Mentari!"
Mentari semakin memukul kepalanya dengan kuat. Air matanya mengucur deras membasahi pipi mulusnya.
"Gak... Aku gak membunuhnya..."
"Sial!"
Mentari tidak tahu apa yang terjadi. Pandangan wanita itu memburam. Senyumnya tiba-tiba terbit begitu bayangan wajah tampan Bian seolah nyata di depan matanya.
"Bian!"
Mentari mendengar seseorang memanggil nama pria itu. Mereka di mana? Mentari tidak lagi sadarkan diri ketika semuanya begitu gelap.
***
Bian membaringkan Mentari di atas ranjang pasien. Pria itu menatap khawatir pada wajah pucat Mentari saat ini. Mentari kenapa?
"Bapak bisa menunggu di luar," usir seorang suster pada Bian.
Dengan langkah gontai, Bian mendekati pintu IGD dan mengintip dari celah kaca saja bagaimana dokter menangani Mentari.
Jantung Bian jelas berdetak dengan kencang. Rasa khawatir dan penasaran membuatnya seketika blank. Apalagi saat melihat Mentari menyakiti dirinya sendiri. Bian seolah tidak mengenalinya.
Ponsel di dalam saku celana Bian berdering. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar sebelum menjawab panggilan tersebut.
"Hm?"
"Bi, kamu di mana? Aku nyuruh kamu ke sini karena aku hampir kehilangan bayi kita. Kamu malah pergi. Dan wanita itu siapa? Dia yang menabrak aku, Bi. Dia yang hampir membunuh bayi kita."
Bian mengepalkan tangannya mendengar ucapan Kania. Dengan perasaan kesal, Bian menutup panggilannya. Persetan dengan Kania. Keadaan Mentari jelas lebih penting saat ini.
Pintu IGD yang terbuka membuat Bian segera beranjak. Seorang dokter keluar dari sana dengan gelengan kepala kepada suster di sebelahnya.
"Dok, bagaimana kondisinya?" tanya Bian.
Dokter wanita paruh baya itu menghela napas menatap Bian. "Ikut ke ruangan saya. Ada beberapa hal yang harus saya jelaskan dengan cukup rumit," ujarnya sambil berlalu dari hadapan Bian.
Bian menatap ruang IGD dengan pandangan tak beraturan. Pria itu memejamkan mata sebelum ikut berbalik dan melangkah mengikuti jejak dokter di depan sana.
Saat di ruangan dokter, Bian mengepalkan kedua tangannya mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Mentari.
"Trauma fisik hilangnya kesadaran ini bisa dikatagorikan pada trauma yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Kehilangan kesadaran sendiri diakibatkan oleh tubuh yang mengalami shock sehingga kehilangan keseimbangan pada diri seseorang dan menyebabkan seseorang tersebut kehilangan kesadaran bahkan perilaku abnormal."
Ya, Bian ingat tadi Mentari memukul kepalanya begitu kuat. Apakah wanita itu sering melakukannya? Atau... Tidak. Bian menggelengkan kepalanya tanpa sadar. Dia tidak ingin membayangkan hal yang lebih mengerikan lagi.
"Untuk penanganan pasien, kita harus tahu riwayat kesehatannya lebih dulu. Apakah ada kejadian yang mempengaruhi keadaanya sehingga berakhir seperti itu atau bagaimana?"
Bian mengangguk. Setelah mendengar semua yang dokter jelaskan, Bian pamit undur diri. Pria itu masih mengingat jelas bagaiman dokter menjelaskan kondisi kesehatan mental Mentari.
Trauma fisik?
Apa yang terjadi selama setahun belakangan ini? Bian harus segera mencari tahu. Dengan rahang yang mengeras, Bian menghubungi orang kepercayaannya.
Dia harus tahu bagaimana kondisi Mentari selama setahun ini jauh darinya. Dan Bian juga penasaran, bagaimana kronologi Mentari hingga kehilangan janin hasil perbuatannya?
"Gue gak akan maafin siapa pun yang menyakiti wanita gue," desis Bian penuh emosi.
Di ruang dokter kandungan, Kania mencoba menghubungi Bian. Tapi panggilannya selalu berakhir dengan suara operator.
Fitri geleng-geleng kepala melihat rekan kerjanya itu. "Udahlah. Kamu lihat sendiri, kan? Bian malah milih wanita yang nabrak kamu ketimbang kamu dan keadaan bayi di perut kamu," katanya.
Kania berdecak kesal. "Tapi siapa wanita itu? Aku kayak gak asing sama wajahnya..." Kania mencoba mengingat wajah Mentari. Tapi dia tidak mendapatkan apa pun.
"Aku harus cari tahu. Kenapa juga Bian nolongin tuh perempuan?" Kania jelas kesal.
"Mungkin pacarnya kali," celetuk Fitri.
Kania menatap rekan kerjanya dengan tatapan tajam. "Bian gak punya pacar. Selama ini dia sama aku. Aku satu-satunya wanita yang dekat sama dia," jelas Kania.
Bian menatap wajah lelap Mentari dengan pandangan lembut. Wanita itu sangat tenang dalam tidurnya. Wajahnya yang cantik tidak bisa ditutupi meski dihiasi kulit pucat."Maafin aku," Bian menggenggam tangan Mentari yang bebas dari jarum infus. Wanita itu memang sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP sesuai dengan yang Bian minta.Ponsel Bian berdering, membuat pria itu segera beranjak untuk mengangkat pangg
Pagi menjelang, Bian terbangun lebih dulu karena getaran sebuah benda di atas meja di sebelah ranjang pasien. Dengan sebelah lengan yang masih dijadikan bantal oleh kepala Mentari, Bian bergerak pelan untuk meraih ponselnya.Bian menggigit bibir saat Mentari sedikit bergerak karena mungkin merasakan gerakan tubuhnya. Setelah melihat wanita itu kembali tenang, Bian menatap layar ponsel miliknya."Sial," decak
Mentari mengernyit bingung ketika pintu ruang inapnya terbuka dan yang kembali hanya ayahnya saja. Bian tidak ada bersama pria itu. "Bian mana, Pa?" Ikhsan tersenyum pada Mentari lalu berjalan ke arah sofa. Pria itu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan putrinya.
"Bu, tenang," Genta mengusap punggung Hasna sambil tersenyum lembut."Gimana Ibu bisa tenang kalau adikmu itu mendadak gini nyuruh ke Jakarta. Bawa-bawa orangtua Mentari pula. Bikin masalah apa lagi dia, Genta... Ya, Tuhan," keluh Hasna.Genta menghela napas. Ibunya tidak pernah berpikir positif lagi kepada Bian sejak adiknya itu melukai wanita yang disayangi ibu mereka seperti putrinya sendiri.
"Bian,"Lucas mengangguk dan tersenyum menatap Bian yang menyebutkan namanya sebagai perkenalan mereka. Keduanya lama bertatapan. Bian mengernyit, tatapan Lucas padanya mempunyai makna lain.Apa..."Saya sedikit minder jika ini calon suami Mentari," celetuk Lucas tiba-tiba.Kedua orangtua Mentari tertawa pelan mendengarnya. "Jodoh gak bisa diatur, Luc, kalau dulu kamu tidak mempunyai istri, mungkin bisa jadi Mentari istrimu sekarang," balas Ikhsan.Bian berdeham pelan membuat Ikhsa menyuruh mereka untuk duduk dan berbincang bersama. Perasaan Bian mendadak tidak tenang. Bagaimana bisa calon mertuanya mempunyai hubungan bisnis sedekat ini dengan Lucas? Apa Kania juga pernah datang kemari?"Kapan kamu bakal bawa istrimu ke sini, Luc? Ini sudah lama sekali. Kami juga penasaran sama nyonya Lucas," ujar ibu Mentari.Bian tidak berhenti menatap setiap pergerakan Lucas. Pria itu sedikit mencurigai maksud kedatangan Lucas ke sini.
Mentari menghela napas lega saat semua barang-barangnya sudah tersusun rapi di dalam lemari. Semenjak pergi setahun yang lalu, Mentari memang mengosongkan unit apartemennya. Kadang yang datang untuk membersihkan adalah ibunya. Dan ini cukup bersih tanpa debu. Apalagi kamarnya, wanginya tetap sama. Seperti tidak pernah Mentari tinggalkan."Aku beli makan dulu, ya," Bian menghampiri Mentari dan mengecup puncak kepala wanita itu."Deliveryaja," saran Mentari."Ada yang mau aku beli juga, cuma sebentar," Bian tersenyum.Mentari mengangguk saja mengiyakan. Wanita itu akan membersihkan diri dulu karena merasa gerah dan berkeringat.Bian sudah berlalu meninggalkan unit apartemen Mentari. Pria itu merogoh saku celananya dan menghubungi seseorang."Bagaimana?""Kami kehilangan jejak Lucas, Pak. Tapi bapak tidak usah khawatir, kami akan segera menemukannya,""Oke, kabari saya kalau terjadi apa-apa," Bian menutup s
Mentari sudah diperiksa oleh seorang dokter. Kini wanita itu tengah terlelap. Wajahnya pucat dan matanya sembab. Bian yang sejak tadi tidak henti menatapnya menghela napas.Satu kesialan sudah ia lenyapkan. Kini tinggal satu lagi. Kania."Bi,"Ikhsan menepuk pelan pundak calon menantunya. Bian menoleh dengan pandangan bertanya."Saya butuh bicara berdua sama kamu," kata Ikhsan.Bian beranjak dan mengikuti langkah Ikhsan yang lebih dulu keluar dari ruang rawat Mentari. Tunangannya itu ditemani oleh ibunya. Bahkan beberapa kali Bian menangkap ibu Mentari tengah mengusap air matanya.Bian gagal menjaga Mentari."Apa yang terjadi?"Bian mendudukkan diri di kursi tunggu, sedangkan Ikhsan memilih berdiri sambil menyandarkan punggungnya di dinding."Saya benar-benar minta maaf, Om, saya tidak becus menjaga Mentari, saya...""Saya tidak butuh maaf kamu, Bian. Saya tanya, apa yang terjadi?"Bian menelan air ludahnya
Hasna mengusap pipinya yang basah. Matanya menatap Genta dengan pandangan memohon. Wanita tua itu jelas sangat ketakutan saat ini. Hasna tidak tahu takdir mempermainkan hidup putra keduanya sedemikian rupa."Cari cara, Genta... Cari cara supaya Mentari kembali... Bian butuh Mentari..."Genta tidak tahu harus mengatakan apa. Suami Senja itu hanya diam dengan pandangan lurus kepada tubuh Bian yang tak sadarkan