Dark White chapter 03
Sunyi memenuhi ruangan berukuran tiga kali empat yang cukup rapi untuk ukuran kamar laki-laki. Yang terdengar hanya suara papan tombol laptop yang diketik dengan tempo cepat. Hari sudah hampir larut, namun seorang pria masih sibuk dengan tumpukan berkas di dekatnya. Matanya yang sudah minus, memerah karena terlalu lama menatap layar laptop.
“Kau habiskan minumanku?” tanya pria bertubuh tinggi dan rambut keriting yang kini berdiri di depan pintu kamar.
“Anggap saja itu upahku,” jawab Allen tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
“Kau tidak boleh minum itu.”
Allen mengabaikannya, tangannya bergerak membuka sebuah map tipis yang berisi hasil wawancaranya dengan Bella. Ingatan tentang bagaimana David memperlakukan gadis itu membuatnya ngeri. Diamatinya terus kertas berwarna putih itu penuh tanya. Ada banyak pertanyaan yang dilewati begitu saja oleh gadis pengidap kelainan unik itu. Alasannya sama, karena itu privasinya.
“Kau tertarik dengan kasus ini?” Hendry mengambil kertas yang ada di tangan Allen lalu mulai membacanya.
“Aku hanya penasaran,” ucapnya lalu beralih mengetikkan sesuatu di papan tombol laptopnya.
“Dia sangat cantik, kenapa harus masuk agensi itu.” Pria berambut keriting itu menghela nafas berat.
Agensi yang menaungi Bella terkenal sebagai julukan “Agensi Psikopat.” Peraturan yang ketat dan sangat membatasi aktrisnya sudah menjadi rahasia umum. Banyak aktris yang memilih membatalkan kontraknya dan pindah ke agensi lain. Tidak sedikit pula yang memilih mengakhiri hidupnya.
“Bagaimana wawancara tadi?” Matanya tertuju pada layar laptop Allen yang menampakkan biodata singkat tentang Bella.
“Dia hampir mati di tangan CEO-nya sendiri.”
“Nah! Akan lebih baik jika dia sekolah hukum dan menjadi pengacara,” gumam pria itu sambil memperlihatkan wajah sedih yang sangat dibuat-buat.
“Tidak semua orang mau berurusan dengan politik. Aku bahkan sudah muak dengan pasal-pasal itu.”
Allen menghela nafas berat. Kepribadian dua laki-laki ini sangat berbeda, namun entah apa yang membuat keduanya bersahabat hingga tinggal di rumah yang sama. Hubungan antar keduanya bukan lagi sebatas sahabat saja, melainkan sudah seperti saudara kandung.
“Aku lapar.” Pria itu melepaskan kacamatanya.
“Tidak ada makanan.” Hendry merebahkan diri di tempat tidur kawannya itu.
“Mi instan?”
“Sekarang pergi belanja saja sana!” perintahnya sambil tersenyum menyebalkan.
Allen mendengus kesal lalu menyambar jaket hitam dan dompetnya. Mereka selalu bergantian mengisi kulkas. Namun rasa-rasanya itu merugikan karena selalu Hendry yang menghabiskannya. Terutama jika diisi minuman bersoda, dia bisa minum sampai mabuk.
“Jangan lupa beli cola!” perintahnya lalu kembali merebahkan diri.
Tentu saja cola itu untuk Hendry sendiri bukan untuknya. Laki-laki berkulit putih dan rambut rapi itu memasuki mobil hitamnya. Jarak minimarket sampai ke rumahnya cukup jauh dan sekarang hujan membuatnya memilih pakai mobil.
Lima belas menit membelah jalanan penuh dengan guyuran air, akhirnya ia sampai di sebuah minimarket terdekat. Cepat-cepat ia memilih semua bahan dapur yang kira-kira dibutuhkan. Ia bisa dibilang cukup pandai memasak dibanding Hendry.
“Tuan, boleh saya minta bantuan?” tanya petugas kasir setelah Allen membayar belanjaannya.
“Bantuan?”
“Gadis itu sudah dua jam duduk di sana, boleh tolong usir dia?” pinta wanita dengan rompi khas petugas minimarket.
Allen mengangguk lalu keluar mendekati gadis yang dimaksud. Ia terkejut melihat betapa banyak kaleng bir yang tergeletak di sekitar gadis itu. Kepalanya dibungkus kupluk rajut dan tudung jaket yang cukup tebal. Perlahan pria itu menepuk pundaknya untuk memastikan gadis itu masih sadar.
“Nona ...” panggilnya pelan.
Gadis itu mengangkat wajahnya, membuat Allen memundurkan wajahnya seketika. Hidungnya memerah dan tampak jelas dari matanya kalau gadis itu sedang mabuk. Ada satu hal yang membuat Allen merasa mengenal gadis di hadapannya itu. Diamatinya wajah putih bersih itu sejenak.
“Haha ... kau mau juga?” gadis itu mengulurkan kaleng bir di tangannya.
Matanya menyipit seperti orang mengantuk. Allen menarik salah satu kursi yang ada lalu duduk persis di depan gadis itu. Hujan turun semakin deras membuat udara semakin dingin. Ia mengenal siapa gadis itu, memang jika tanpa riasan akan tampak sangat berbeda, tapi Allen mengenalnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya sambil meletakkan belanjaannya di salah satu kursi di dekatnya.
Gadis itu mengangkat satu kaleng bir yang masih berisi setengahnya. Menggoyangnya sebentar lalu meminumnya tanpa ragu. Matanya menyipit saat minuman itu melewati kerongkongannya.
“Kenapa air banyak sekali?” Bella memperhatikan tetesan air yang semakin deras.
“Kau mabuk,” ucap Allen tidak tahu harus ia apakan gadis di hadapannya itu.
“Tidak ... aku sadar.” Bella mendekatkan wajahnya ke wajah Allen membuat pria itu spontan mundur.
“Kau ....”
Gadis itu mengatup wajah pria di hadapannya dengan kedua tangannya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis kemudian berubah menjadi tawa mencurigakan. Ia mengenali siapa pria yang ada di hadapannya ini. Allen menepis kedua tangan pucat itu dari wajahnya. Ia bisa merasakan tangan Bella kedinginan.
“Dingin ... aku benci.” Bella menundukkan kepala lalu menyandarkan punggungnya lemas.
“Aku benci musim hujan!” teriaknya, lalu tertawa kecil.
Jemari pucatnya bergerak memegangi wajahnya yang berwarna serupa. Ia menggerakkan telunjuknya seperti membuat goresan di wajahnya. Tatapan matanya seketika berubah sedih, lalu tertawa kecut.
“Menakutkan,” gumamnya hampir tidak terdengar.
“Pulanglah kupanggilkan taksi.” Laki-laki itu mengemasi beberapa kaleng bir yang berantakan di meja.
“Benda itu berbahaya.” Jari telunjuknya mengarah ke tempat sampah yang berisi pecahan botol kaca.
Teringat tentang bagaimana dulu mamanya menyerang ayahnya dengan pecahan teko. Bella menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan ingatan itu. Tapi semua yang ada di tempat ini tiba-tiba saja membuatnya mengingat segalanya.
Bella melepas kupluk rajutnya dan memperlihatkan rambut putihnya yang lembut. Tangannya bergerak menyisir setiap helai rambutnya. Mata birunya tidak bisa menutupi seperti apa perasaannya saat ini.
“Menakutkan?” tanya Allen.
Bella mengangguk, ia selalu merasa apa pun yang ada pada dirinya terlihat menakutkan. Terutama rambutnya sendiri. Dan yang lebih menakutkan baginya adalah, karena ia harus menutupinya. Akan ada saat di mana penyamarannya akhirnya terbongkar.
Suara notifikasi panggilan mengalihkan perhatian keduanya. Suara itu berasal dari ponsel Bella yang dibiarkan tergeletak di meja. Diambilnya benda berbentuk persegi panjang itu.
“Lihat! Sudah kuduga dia akan menghubungiku.”
Bella memperlihatkan layar ponselnya dan tampak nama David di layar ponselnya. Gadis itu tertawa kecil lalu menggeser tombol berwarna merah di layar ponselnya. Tanpa rasa bersalah Bella kembali meraih kaleng bir yang belum dibuka. Namun sebelumnya, Allen sudah lebih dahulu mencegahnya.
“Berikan!” ucap gadis itu kesal.
“Kamu sudah terlalu banyak minum! Sekarang pulang biar kupanggilkan taksi.”
Pria itu berdiri dari duduknya bersiap mengajak Bella pergi. Namun gadis itu masih belum bergerak, ia justru meletakkan kepalanya di meja. Allen menghembuskan nafas berat, susah sekali hanya menyuruhnya pulang saja.
“Lihat ... dia menelepon lagi.”
Jari telunjuknya mengarah pada layar ponselnya yang lagi-lagi menampakkan telepon masuk dari kepala agensinya. Bella kembali menggeser tombol berwarna merah di layar ponselnya.
“Angkatlah siapa tahu penting.”
“Sama sekali tidak penting.” Bibir pucatnya menyunggingkan senyum sinis.
“Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?” Agaknya pria itu sudah mulai bingung bagaimana cara mengajaknya pulang.
“Duarr!!” Kilatan petir menyambar begitu keras hingga membuat dinding kaca minimarket bergetar. Bella menutup kepalanya dan refleks menutup matanya karena terkejut. Hujan sudah mereda, namun justru petir yang semakin kencang menyambar.
“Lihat ... sudah waktunya kamu pulang,” ucapnya sambil memperhatikan Bella yang masih menutup kepalanya.
Gadis itu masih membenamkan kepalanya dibalik kedua tangannya. Ia bisa melihat telapak tangan Bella yang pucat terlihat semakin memucat. Disentuhnya telapak tangan kurus itu dan dapat ia rasakan kulitnya terasa sangat dingin.
“Hei! Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil mengguncang-guncang punggung gadis itu.
Tidak ada jawaban, Allen semakin khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu. Apa mungkin dia pingsan karena terlalu mabuk? Diperhatikannya punggung gadis itu bergetar hebat.
“Apa yang terjadi?”
Kedua tangannya bergerak mengangkat kepala Bella. Namun ia bisa merasakan gadis itu masih sadar dan sengaja menutupi wajahnya. Semabuk itukah gadis ini?
“Pulanglah sendiri, jangan pedulikan aku.” Gadis itu akhirnya mengangkat kepalanya.
Allen mengambil kupluk rajut yang tergeletak di meja lalu memasangkannya kembali di kepala gadis itu. Bella tersenyum sinis melihat perlakuan pria itu kepadanya. Siapa pun pasti akan merasa senang jika diperlakukan dengan hangat oleh seorang pria, sekalipun mereka baru mengenal. Tapi tidak dengan Bella, entah mengap ia justru benci diperlakukan baik.
“Ya benar, rambutku yang buruk ini harus benar-benar di sembunyikan,” ucapnya setelah Allen memasangkan kupluk dikepalanya.
“Kau kedinginan,” tegas pria itu singkat.
Bella mengambil ponselnya dan mulai membuka sosial medianya. Berulang kali ia tertawa kecil melihat komentar-komentar buruk yang memenuhi unggahannya. Ia ingat bagaimana orang-orang ini menyanjungnya dulu. Apakah mereka lupa akan hal itu?
“Kau bilang aku harus berhenti jika terlalu menyakitkan bukan?” Gadis itu menatap layar ponselnya kosong.
“Aku tidak merasa sakit. Hatiku sudah mati rasa, aku sama sekali tidak bisa merasakan apa-apa. Apa aku harus berhenti?”
Allen merebut ponsel dari tangan Bella. Ia tidak ingin gadis itu terus membaca komentar jahat yang ditujukan kepadanya.
“Aku hanya merasa takut. Aku takut tapi aku tidak tahu apa yang kutakutkan.”
Terlalu banyak hal yang ia tutupi membuatnya bingung mana yang sebenarnya ia takutkan. Ia takut penyamarannya terbongkar lagi, ia takut akan dirinya sendiri. Bella menghembuskan nafasnya berat.
“Aku selalu merasa lelah, tidak peduli seberapa lama aku tidur, aku tetap merasa lelah.”
“Kenapa?”
Ditatapnya mata Allen dengan penuh tanya. Ia tidak yakin pria itu bisa menjawab pertanyaannya. Ia juga tidak yakin ia akan mengingat pembicaraan malam ini karena ia sedang mabuk.
“Karena yang lelah bukan ragamu, tapi hatimu,” jawabnya.
“Kenapa hatiku lelah? Bukankah aku tidak berperasaan?” Bibir pucatnya menyunggingkan senyum sinis.
Allen berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya untuk Bella. Hari sudah sangat larut dan gerimis sudah mereda. Tidak baik bagi seorang wanita terlalu lama berada di luar selarut ini. Ia bahkan tidak berani memesankan taksi karena akan sangat berbahaya.
“Jangan dipendam, carilah orang baik dan luapkan semuanya.”
Tangan pucat itu akhirnya menerima uluran tangannya. Ia tahu sangat sulit bagi seseorang seperti Bella untuk mendapatkan teman. Namun sangat mudah baginya untuk mendapatkan orang yang membencinya.
Sepuluh menit berlalu mereka sampai di depan sebuah rumah besar di lingkungan perumahan elite. Allen menoleh ke arah Bella dan mendapati gadis itu sudah terlelap tidur. Dipandanginya wajah pucat itu dari dekat. Ia tidak berniat membangunkannya dan memilih menunggunya bangun.
Kelopak mata gadis itu mengerjap-ngerjap sampai akhirnya terbuka lebar. Cukup lama bagi Allen menunggu sampai gadis itu bangun.
“Astaga sudah sampai.” Sepertinya ia masih bingung dan panik tidak tahu harus apa.
“Terima kasih,” ucapnya sambil berusaha membuka pintu mobil.
“Jangan dipendam, hatimu juga punya kapasitasnya sendiri.”
Gadis itu tertawa kecil. “Lantas, kau mau menerima sebagian isinya?”
Allen terdiam, ia tidak menyangka responsnya akan seperti itu. Namun jika boleh jujur, ia bisa melakukannya. Ia merasa semakin penasaran dengan gadis ini. Tentang siapa dia dan apa saja yang ia sembunyikan. Tapi ia sendiri tidak merasa bisa menjadi pendengar yang baik.
“Tenang saja, aku masih bisa mengatasinya. Ini mudah.”
Bella membuka pintu mobil dan langsung masuk ke rumahnya. Sementara Allen masih berada di tempatnya. Dipandanginya rumah bercat abu-abu itu dari kejauhan. Pria itu melajukan mobilnya saat melihat lampu sebuah ruangan di lantai dua mati.
Tepat pukul satu malam Allen sampai di rumahnya kembali. Ia yakin Hendry akan mengomel karena ia terlalu lama. Terlebih lagi ia tidak mengaktifkan data selulernya tadi, sehingga tidak ada yang bisa menghubunginya.
“Hei! Kenapa lama sekali ....” Pria itu mendekati Allen dan mulai mengendus-endus.
“Astaga kau mabuk? Kenapa kau sulit sekali diperingatkan? Astaga.”
Allen berjalan santai dan mengabaikan Hendry yang sejak tadi mengoceh. Ia meletakkan belanjaannya di meja dapur kemudian langsung menuju kamarnya. Dan selama itu Hendry masih terus membuntutinya sambil terus mengoceh, memarahinya karena mengira ia mabuk.
“Boleh aku ambil alih kasus ini?” tanyanya sambil mengangkat sebuah map berwarna putih.
“Hah? Bukankah kau malas berhubungan dengan aktris?” Hendry menyipitkan matanya curiga.
“Boleh kuambil alih?” tanyanya meyakinkan.
“Apa kau masih mabuk?”
“Aku tidak mabuk, hanya saja aku berurusan dengan orang mabuk tadi. Aku masih menyayangi nyawaku, asal kau tahu saja.” Pria itu menarik kursi kerjanya dan mulai mengetikkan sesuatu di keyboard laptopnya.
“Tapi apa yang membuatmu melanggar prinsipmu sendiri?”
Bagi Hendry melihat Allen mengambil kasus selebritas lebih sulit daripada mempercayai mitos horor. Ia tahu persis Allen tidak pernah suka berurusan dengan agensi di dunia entertaiment.
“Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku,” ucapnya sambil terus menatap layar laptopnya.
“Padahal aku ingin bertemu dengan bidadariku itu, tapi aku malas dengan agensinya. Oke kau ambil saja, tapi kau harus konfirmasi dengan mereka dulu,” ucapnya masih tidak percaya dengan sikap Allen yang tiba-tiba.
“Bidadariku?” Pria itu tertawa kecil.
“Bukankah dia sangat cantik, persis bidadari.” Hendry menunjuk sebuah foto yang terpampang jelas di layar laptop Allen.
Bella memang cantik dan Allen sendiri mengakui itu. Namun bukan itu alasan kenapa ia mengambil alih kasusnya. Ada rasa penasaran tentang siapa Bella yang membuatnya mau mengambil kasus ini. Bahkan menghianati prinsipnya sendiri untuk tidak mengambil kasus selebritas.
Matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat dan menciptakan nuansa senja yang hangat dan menenangkan. Ketiga orang dewasa itu berjalan santai di belakang seorang gadis kecil yang tampak sangat kegirangan di depan sana. Bella tersenyum melihat gadis itu tampak sangat Bahagia. Sudah terlalu banyak penderitaan di pundak gadis itu, ini saatnya dia berbahagia. Ia tidak tahu apakah ini akan menjadi pertama dan terakhir kalinya Lucy dapat bermain di tempat ini. “Aku ingin menaikinya!” Tangan mungilnya menunjuk sebuah komidi putar dengan kuda-kuda lucu yang bergerak berputar-putar. “Sungguh? Ayo kita naik!” Bella langsung menyambar tubuh kecil Lucy dan menggendongnya menuju komidi putar yang dimaksud. Ledakan tawa khas gadis kecil itu seketika pecah saat Bella menggendongnya. Sejak tadi mulutnya belum sempat tertutup karena sibuk tertawa dan ternganga melihat megahnya setiap permainan yang ada di taman bermain. Semua ini adalah mainan yang selama ini hanya bisa ia lihat lewat layer televi
Hari ini merupakan hari terakhir perekaman drama yang Bella dan Mark bintangi. Semua pemeran dan juga staf melakukan foto bersama. Drama ini akan segera di rilis bulan depan. Bella tidak tahu akan seheboh apa nanti saat drama ini rilis karena bahkan saat ini pun sudah ada ratusan artikel dan kehebohan yang bahkan melebihi beberapa drama yang saat ini sedang tayang. “Kamu sudah bekerja keras ... sangat keras.” Karina memberikan sebuah buket bunga sebagai ucapan selamat.Gadis itu tersenyum menerimanya. Akhirnya ia bisa terbebas dari masalah shooting dan partner kerja yang sangat tidak kompeten seperti Mark. Rasanya ada satu beban berat terangkat dari pundaknya saat ini. Terlebih lagi beberapa waktu lalu Anggun memberi kabar kalau keadaan Lucy semakin hari semakin membaik. Dr. John menjelaskan kalau dia terus mempertahankan progresnya seperti ini kemungkinan untuk bertahan hidup lebih lama akan semakin besar. Dr. John tidak bisa menjamin gadis kecil itu akan sembuh sepenuhnya. Yang b
Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat meski belum sepenuhnya menunjukkan waktu sore tetapi tidak juga bisa disebut sebagai siang. Berulang kali Bella memastikan kalau tali pengikat di pinggangnya terpasang dengan benar. Ini adalah adegan Bella terjatuh dari atas gedung. “Kalian tidak menggunakan CG?” tanyanya saat melihat lokasi shooting yang benar-benar berada di atas gedung. Angin berembus cukup kencang sedikit menyamarkan teriknya panas matahari yang menerpa. Kulitnya yang putih sedikit memerah karena terlalu panas. “Takut?” tanya Mark yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. “Berhenti memancing keributan,” timpal Bella pelan. Ia masih merasa sedikit gugup karena ini pertama kalinya ia melakukan adegan seperti ini. “Tali ini kuat bukan?” Gadis itu berulang kali mengecek tali yang melilit pinggangnya. Apakah ini kuat? Bagaimana jika putus saat ia melakukan shooting? Sebenci apa pun ia pada hidupnya yang kusut ini, ia masih belum ingin mati. Setidaknya kini i
Malam semakin larut dan Bella masih berkutat dengan peralatan gambarnya. Kali ini ia sedikit merasa kesulitan fokus pada gambarnya. Ada begitu banyak hal yang ia pikirkan. Hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Sejak tadi tidak henti-hentinya ia mengirim pesan kepada Anggun untuk menanyakan keadaan Lucy. Sudah seminggu sejak kejadian Lucy kritis, namun ia masih belum bisa tenang. Terlebih lagi anak itu semakin hari semakin terlihat memprihatinkan. Anggun bahkan sudah mengatakan kalau ia sudah siap dengan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Tapi tidak dengannya. Ia tetap tidak bisa tenang.“Aishhh!” Tangannya mencoret-coret asal buku sketsanya yang kini penuh dengan coretan tidak jelas. Ia tidak bisa fokus pada apa yang ingin ia gambar. Pikirannya terlalu penuh dan ia merasa sangat lelah.Bella menyandarkan punggungnya kasar di sandaran kursi. Rambut pucatnya yang diikat kucir kuda bergerak-gerak terkena angin malam. Malam ini ia masih berada di hotel karena rumahnya m
Bella duduk di balkon hotel. Rumahnya masih dalam proses renovasi sehingga dia menginap untuk sementara di hotel. Sebelumnya Karina sudah menyarankan untuk tinggal di dorm atau di rumahnya, tetapi Bella menolak. Ia butuh kesnedirian, oleh karena itu ia memilih untuk tinggal di hotel saja. Gadis itu menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah artikel berita tentang dirinya. Ia menutup kasus itu dan tidak ingin memperpanjangnya. Sebagian orang menganggapnya terlalu baik pada para haters, tapi sebagian justru mencurigainya. Ribuan komentar pedas kembali menyerang media sosialnya. --“Mungkin dia sengaja membuat keributan untuk mengalihkan isu kencannya dengan Mark.” --“Aku tidak tahu kenapa aktris penuh skandal sepertinya masih terus dipertahankan oleh perusahaannya.” --“Aktingnya bahkan tidak sebagus itu. Dia tidak pantas mendapat banyak cinta.”--“Apakah dia masih memiliki penggemar? Sungguh aku kasihan pada mereka karena berulang kali dikecewakan.” --“Aku curiga skandal bullyi
Di luar sana para penggemar dan media semakin ramai berkumpu. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam dan di atas sana mendung menggantung tebal, namun mereka semua seolah tidak peduli. Menjadi seorang reporter, menyiarkan berita pertama kali lebih penting daripada kesehatan dirinya.Bella dan Allen duduk di sofa panjang yang ada di ruang tamu. Gadis itu sudah sedikit lebih tenang. Ia sudah berhenti menangis tetapi jiwanya masih sangat terguncang. Jemarinya masih sedingin es, dan wajahnya terlihat semakin pucat.Allen memperhatikan lengan Bella dan mendapati luka yang cukup dalam dan darahnya sudah membeku. Begitu pula dengan kuku tangannya tang terdapat sisa-sisa darah. Sepertinya gadis ini tanpa sadar mencakar dan melukai lengannya sendiri hingga berdarah.Allen mengambil kotak obat yang ada di tasnya. Ia membersihkan luka Bella perlahan dengan alkohol. Gadis itu sama sekali tidak menjerit atau merintih kesakitan. Ia masih diam, pandangan matanya sembab dan kosong.“Semua akan ba