Share

Dark White Chapter 08

Tiga puluh menit yang lalu, Karina pergi dari rumah Bella. Hari sudah beranjak malam dan gadis itu sendirian di rumah. Ia tidak membuka media sosialnya, tidak ingin membaca ocehan para pengguna internet yang selalu merasa paling benar. Itu hanya akan menambah beban pikirannya.

Gadis itu mengganti bajunya dengan sweater tebal dan celana olah raga. Rambutnya tertutup kupluk berwarna hitam. Ia juga menggunakan masker hitam dan kacamata bulat yang sering ia gunakan saat pergi. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, memandangi dirinya yang dibalut pakaian serba hitam.

Mamanya dulu pernah berkata, fisik lelah bisa membantu meringankan beban otaknya. Gadis itu memasang earphone di telinganya, sebuah lagu dengan volume tinggi dan tempo cepat memenuhi pendengarannya.

“Mereka tidak akan menyadariku bukan?” tanyanya pada diri sendiri.

Gadis itu keluar dari rumahnya dan mulai berlari. Ia tidak memiliki tujuan yang pasti, ia hanya mengikuti ke mana kakinya akan membawanya pergi. Dahulu, setiap kali ia banyak pikiran ia akan melakukan ini. Saat ia pulang ia akan sangat kelelahan dan tertidur dengan mudah.

Meski akhir-akhir ini sepertinya sudah tidak lagi mempan. Apa karena ia sudah beranjak dewasa? Atau karena masalahnya yang terlalu banyak? Jujur saat ini ia sangat merindukan pelukan hangat mamanya.

Lima belas menit berlari tanpa henti membuat nafasnya seperti akan terputus. Detak jantungnya bahkan mengalahkan suara musik yang mengalun kencang di telinganya. Bella berhenti di sebuah trotoar sepi untuk mengatur  nafasnya. Ia membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya.

Bella kembali berlari secepat yang ia bisa. Harapannya semakin ia cepat berlari maka semakin cepat pula ia lupa tentang masalahnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Ia seperti bisa mendengar orang-orang sedang menghujatnya saat ini.

“Wanita tidak tahu diri!”

“Dasar bermuka dua!”

“Apa dia tidak malu? Aku curiga dia benar-benar melakukan bullying dan berakting seolah dia tidak melakukannya. Zaman sekarang semua bisa dibeli dengan uang.”

Omong kosong itu bergemuruh di telinganya, bahkan mengalahkan lagu rock yang saat ini ia dengarkan. Tanpa Bella sadari matanya mulai berair. Tetesan air matanya bercampur dengan keringat yang mengucur deras.

Semakin kencang Bella berlari, semakin kusut pikirannya dan juga semakin deras air matanya mengalir. Langkahnya semakin tidak beraturan, berulang kali ia hampir terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.

“Apa ini yang membuat mereka memilih mati?” batinnya.

“Apakah semua akan selesai jika aku tinggalkan neraka ini?”

Pikiran-pikiran buruk terus bermunculan di kepalanya. Bisikan-bisikan memenuhi telinganya. Gadis itu menaikkan volume musiknya, namun itu tidak membatu sama sekali.

“Brakk!”

Gadis itu jatuh tersungkur setelah tersandung kakinya sendiri. Tubuhnya berguling dan menabrak besi pembatas jembatan. Punggungnya terasa  nyeri saat menghantam besi yang dingin.

Telapak tangannya yang pucat tergores trotoar yang tidak rata. Cairan berwarna merah keluar dari kulitnya yang terluka. Ia bahkan sampai tidak bisa merasakan sakit fisik. Bella melepas maskernya, tempat ini cukup sepi sehingga ia tidak perlu khawatir akan ada yang memergokinya.

“Akhh ...” rintihnya sambil memegangi punggungnya yang terasa ngilu.

Ia memeriksa kedua lututnya yang juga terluka. Celana olah raganya robek cukup lebar. Ia duduk di tepi jembatan yang sepi, berusaha mengatur nafasnya yang tersengal.

“Bintang-bintang itu ... beraninya mereka bersinar seterang itu saat jalan hidupku segelap ini.”

Bella menyandarkan punggungnya yang terasa nyeri di besi pembatas. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya basah kuyup. Sebagian kecil rambut putihnya menyembul keluar dari balik kupluk hitamnya.

“Ayah ... apa kau bahagia di sana?”

Matanya mendongak menatap langit hitam yang penuh bintang.

“Kau bahkan belum membayar perbuatanmu padaku. Apa kau membayarnya di atas sana? Apakah mati itu menyakitkan?”

Gadis itu terus berbicara sendiri. Di bawah sana air sungai mengalir dengan sangat deras. Jalanan sangat sepi dan hanya satu dua kendaraan saja yang melintas. Bella melirik air sungai di bawah sana. Gelombang airnya seperti melambai-lambai ke arahnya untuk melompat ke bawah sana.

Fokusnya beralih ketika benda di kantong celananya bergetar. Ia mengambil ponselnya malas, siapa lagi yang berani mengganggunya. Saat ia membuka ponselnya, ia dikejutkan dengan delapan panggilan tidak terjawab dari Karina.

“Jangan tanyakan apa-apa dulu, aku ingin istirahat.”

Bella memilih menjawabnya dengan mengirim pesan singkat. Gadis itu kembali menyandarkan kepalanya di besi pembatas jalan yang dingin. Seolah dinginnya bisa membantu mendinginkan otaknya yang sedang mendidih. Semakin lama telapak tangannya terasa perih saat terkena angin malam.

“Apa aku sudah berakhir?”

Tangan pucatnya memukul-mukul kepalanya pelan. Ia meraih ponselnya kembali, lalu membuka kontak Allen. Pria yang akhir-akhir ini banyak membantunya.

“Apakah aku harus menghubunginya?”

Sepuluh menit berlalu hanya ia habiskan untuk memandangi profil Allen yang tidak diisi foto. Gadis itu memilih kembali menyimpan ponselnya, namun tanpa sengaja ia menyentuh tombol panggilan.

“Astaga!” teriak gadis itu panik dan langsung memutus sambungan.

Sialnya Allen sepertinya sudah hampir mengangkatnya. Pria itu menelepon Bella balik membuat gadis itu bingung. Ia tidak ingin menjawabnya dan memilih membiarkan ponselnya terus bergetar.

“Ping!” Sebuah pesan masuk setelah panggilan Allen terhenti.

“Kau baik-baik saja?” tanya Allen melalui pesan singkat.

Bella menghembuskan nafas berat, pertanyaan klasik itu. Jemarinya mengetikkan pesan cukup panjang, namun pada akhirnya ia kembali menghapusnya.

“Hmm,” jawabnya melalui pesan singkat.

Ponsel itu kembali bergetar dan nama Allen terpampang jelas di layar benda persegi panjang itu. Butuh waktu cukup lama untuk gadis itu mengangkat panggilan Allen.

“Ada apa,” ketusnya.

--“Harusnya aku yang bertanya, bagaimana keadaanmu?” Suara berat pria itu keluar dari speaker ponsel.

“Baik,” jawab gadis itu singkat.

--“Di mana kau?” Pria itu tahu benar, tidak mungkin Bella baik-baik saja hari ini.

“Rumah, jangan berpikir untuk datang kemari!” tegasnya hampir berteriak.

--“Baiklah.”

Sambungan telepon tertutup dan Bella dikejutkan dengan respons pria itu barusan. Ada sedikit rasa kecewa di benaknya karena Allen tidak memberikan respons yang ia inginkan.

“Apa ini? Dia mematikannya?!” gumam gadis itu geram.

“Yah, tidak semua orang bisa hadir saat kau membutuhkannya.”

Bella berdiri dan menyandarkan dirinya di tepian jembatan. Di atas sana awan hitam mulai menutupi. Ia merasakan kedua telapak tangannya nyeri setiap kali angin berembus. Keringat yang memenuhi wajahnya perlahan mulai mengering meski belum sepenuhnya.

Gadis itu menunduk menatap aliran air deras di bawah sana. Pikiran gilanya terus berbisik untuk melompat. Namun ia masih waras untuk melakukan hal bodoh itu.

“Astaga!”

Bella terlonjak kaget saat sesuatu yang dingin menempel di pipinya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya oknum yang mengejutkannya itu.

Pria itu memberikan minuman kaleng kepada Bella. Gadis itu menerimanya, ekspektasinya itu adalah bir atau paling tidak minuman bersoda. Tapi kenyataannya adalah sari buah yang dikemas dalam bentuk kaleng.

“Akhh! Aku heran dengan seleramu,” gumamnya sambil memandangi kaleng sari buahnya.

“Ini lebih baik daripada minuman yang menyakiti tenggorokan.”

Bella melirik sepeda yang terparkir di dekatnya. “Tahu dari mana aku di sini?”

“Insting.”

Allen menenggak air mineral botol yang ada di tangannya. Matanya melirik telapak tangan Bella yang terlihat kotor dan memerah. Itu bukan merah karena memar, tapi merah karena darah. Ia memperhatikan pakaian gadis itu, sweater hitam itu penuh dengan pasir jalanan.

“Berikan tanganmu,” ucapnya sambil menarik lengan Bella.

“Apa yang kau lakukan?”

Pria itu mengguyurkan air mineralnya untuk membersihkan telapak tangan Bella. Lukanya tidak parah tapi pasti terasa sangat perih. Pasir jalanan masih tertempel di lukanya dan pasti sangat tidak nyaman.

Ia membalutnya dengan sapu tangan abu-abunya. Gadis itu diam dan sesekali meringis kesakitan.

“Kau berpikir untuk melompat?” tanyanya saat selesai mengikat luka gadis itu.

Bella berbalik kembali bersandar pada besi pembatas. “Bisikan-bisikan di telingaku terus mengatakan itu.”

“Lalu kau akan melakukannya?”

“Aku tidak segila itu.”

Gadis itu menatap kosong langit yang sudah sempurna tertutup awan hitam. Gemuruh suara kilat berulang kali terdengar sejak beberapa saat lalu.

“Kau baik-baik saja?” Allen menatap gadis itu dalam.

Bella menggeleng pelan. “Aku tidak baik-baik saja. Aku hampir gila.”

Mata gadis itu menerawang jauh dan mulai berkaca-kaca. Penampilannya kotor oleh pasir dan bisa dilihat celananya robek di bagian lutut.

“Tatapan mereka, suara mereka dan cara mereka berbicara padaku ... kenapa semuanya terasa menyakitkan?”

Batinnya terasa sesak setiap kali melihat kejadian tadi. Sebelumnya ia berpikir akan kuat menjalaninya jika hari ini datang. Tapi kenyataannya ia tumbang, setiap hujatan yang mereka katakan menancap begitu dalam di hatinya.

Selama ini ia mencoba untuk mengabaikannya. Tapi lama kelamaan ia tidak sanggup. Ia pikir hatinya keras, namun kenyataannya bahkan lebih lemah dari kertas tisu.

“Ini terlalu berat untuk kupegang sendiri. Berulang kali aku mengatakan diriku kuat. Tapi berulang kali hatiku menyangkalnya. Berulang kali menegaskan pada diri sendiri kalau aku bisa sendiri. Namun nyatanya, aku tidak lebih dari seorang gadis cacat yang sudah membohongi jutaan orang.”

Bella melepas kupluk hitamnya, helaian rambut putihnya terurai. Allen masih berada di sampingnya, mendengarkan gadis itu berbicara. Tidak peduli di atas sana awan hitam sudah semakin menebal.

“Selama bertahun-tahun berlindung di balik benda ini, hingga aku lupa kalau aku sedang bersembunyi.”

“Aku harus bagaimana? Semua orang menatapku sebagai pembohong. Semua menghakimiku tanpa tahu bagaimana menjadi diriku. Aku bahkan takut untuk menatap wajahku sendiri di cermin!”

Dadanya semakin terasa sesak bersamaan dengan emosinya yang semakin tidak terkendali.

“Aku merasa sangat malu, kalau saja ada lubang yang bisa menelanku sebentar saja. Aku ingin menghilang dari dunia ini. Aku tahu aku sangat lemah, tapi ini benar-benar sangat berat.”

“Kau benar, hatiku memiliki kapasitasnya sendiri dan sepertinya saat ini sudah penuh. Maaf karena menjadikanmu sebagai tempat sampah untuk masalahku.”

“Aku hampir gila sampai-sampai berpikir untuk ....”

Belum sempat gadis itu menyelesaikan kata-katanya, Allen terlebih dahulu menariknya dalam pelukannya. Bella terdiam membiarkan pria itu mendekapnya hangat. Setelah sebelas tahun lamanya ia memeluk dirinya sendiri.

“Apa yang harus kulakukan?”

Jemarinya mencengkeram lengan baju Allen erat seolah tidak membiarkan pria itu pergi darinya. Air mata yang sudah menggantung di pelupuk matanya kini jatuh. Kehangatan Allen justru semakin membuatnya lemah. Ternyata selama ini ia juga hanya berpura-pura kuat.

“Kenapa kau memelukku?” gumamnya.

“Biarkan seperti ini,” ucap Allen dengan suara rendahnya dan semakin mengeratkan dekapannya.

Ia sangat memahami apa yang dirasakan gadis itu sekarang. Menjadi berbeda itu sangat sulit jika hidup di antara orang yang tidak bisa menghormati perbedaan.

“Semenjijikan itukah aku? Kenapa kau memeluk gadis cacat ini?” Gadis itu masih terisak.

“Kau yang terbaik,” ucap Allen sambil menepuk pucuk kepala gadis itu hangat.

Bella melepaskan pelukannya. “Memalukan sekali,” ucapnya lalu mengalihkan pandangannya.

Wajahnya sedikit memerah karena malu. Untuk pertama kalinya ia dipeluk oleh seorang pria sehangat ini. Sebelumnya ia belum pernah merasakannya bahkan dari ayahnya sendiri.

“Jangan berpikir aku menyukaimu hanya karena ini,” ucapnya sambil membuang muka.

“Sekarang mungkin tidak, bagaimana dengan nanti.”

Pria itu tersenyum berusaha menggoda gadis itu.

“Dulu, sekarang dan selamanya. Tidak akan!” tegas gadis itu kesal.

Rintik hujan mulai jatuh dan semakin deras. Bella mendongakkan kepalanya, membiarkan butiran air itu menghantam wajah pucatnya. Luka di lututnya terasa sedikit perih terkena air dingin.

“Jangan pernah menahannya lagi, menangislah ketika kau ingin menangis. Dan teriaklah sekencang mungkin jika itu membuatmu lega,” ucap Allen dengan suara beratnya.

“Aaaa!” Gadis itu berteriak kenang.

Suaranya bertarung dengan derasnya air hujan yang turun. Ada rasa sedikit lebih lega setelah menceritakan semuanya pada Allen. Tapi apakah dia melakukan hal yang benar? Apakah menceritakan semuanya pada Allen adalah pilihan yang tepat?

“AAaaa!” teriak kedua orang itu bersamaan.

“Pulang?” tanya pria itu sambil menatapnya hangat.

Lima belas menit mereka membelah jalanan yang basah dengan sepeda. Bella merentangkan tangannya lebar. Membiarkan tetesan air itu menimpa kulitnya yang pucat. Dinginnya air berpadu dengan udara malam seolah turut mendinginkan otaknya.

Mereka sampai di depan rumah Bella. Hujan masih mengguyur deras dan guntur menyambar semakin kencang. Ia merasakan tubuhnya semakin memanas sejak tadi. Telinganya tuli oleh gemuruh dan dengungan.

“Terima kasih,” ucapnya pada pria itu. “Dan maaf,” lanjutnya.

“Maaf?” Allen memperhatikan wajah gadis itu yang semakin memucat.

“Maaf karena telah membawamu ke dalam masalahku, aku berjanji ini akan menjadi ....”

Tubuhnya terkulai sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya. Allen menangkap gadis itu dan mencoba membangunkannya. Bisa dirasakan kulitnya sangat panas dan bibirnya membiru.

“Hei ... kau mendengarku?”

Pria itu menepuk-nepuk pipi Bella pelan mencoba menyadarkannya. Gadis itu masih tidak mau bangun.  

Allen lantas menggendong gadis itu masuk ke rumahnya. Dan saat sampai di teras rumah, ia dikejutkan dengan seorang wanita tengah menunggu di depan pintu rumah mewah itu. Itu adalah Karina yang sejak tadi khawatir pada keadaan Bella. Ia tidak bisa masuk karena tidak tahu kode kunci rumah gadis itu.

“Ada apa dengannya?” ucapnya panik sambil berlari mendekati Allen. 

“Buka pintunya,” ucap Allen.

Karina meraih jemari Bella untuk membuka pintunya yang hanya bisa diakses dengan sensor sidik jari dan kode kunci. Pria itu lantas merebahkan tubuh Bella di ranjang empuk yang ada di kamarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status