Dark White Chapter 09
Suara hujan deras mengguyur di luar sana. Sementara dalam sebuah ruangan berukuaran 7×8 meter, seorang pria masih sibuk mengganti kain kompres. Masih tergambar dengan jelas bagaimana Bella bercerita sambil menangis tadi. Gadis itu sedang terluka, bukan fisiknya tapi batin dan mentalnya.
Saat ini semua orang seolah menodongkan senjata ke arahnya. Artikel dan unggahan di media sosial penuh dengan berita tentang kejadian tadi sore. Mereka yang sebelumnya tidak peduli, kini bersikap seolah mereka menjadi pihak yang paling dirugikan. Tidak sedikit pula berita yang sengaja dilebih-lebihkan untuk membuat nama gadis itu semakin buruk.
Allen meletakkan baskom kecil berisi air dingin di nakas. Matanya terhenti pada obat-obatan yang berjajar rapi di atas lemari kecil itu. Ia melirik Bella sebentar lalu memutuskan untuk memeriksa obat apakah itu.
“Ini gila ...” gumamnya sambil mengamati dua obat yang hanya tinggal beberapa buti
Suasana hening menyelimuti ruangan yang didominasi warna putih. Aroma obat dan desinfektan tercium pekat membuat hidung terasa sakit. Berulang kali Allen membuka ponselnya kalau-kalau Bella bangun dan mengabarinya. Tadi dia pergi saat gadis itu masih tertidur dan hanya meninggalkan pesan singkat.“Tn. Allen …” panggil seoang gadis dengan seragam putih dan topi perawat dari ruangan dokter.Pria itu beranjak berdiri, menghembuskan nafas berat dan melangkah malas memasuki ruangan kecil itu. Tepat saat ia memasuki ruangan, seorang pria dengan rambut yang hampir sempurna beruban melemparkan senyum kepadanya. Kaca mata tebal bertengger di atas hidungnya yang mancung.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi.Kulitnya yang eksotis sangat berbanding terbalik dengan warna rambutnya yang sempurna putih. Kerutan menggelantung di wajahnya menampakkan sudah berapa lama ia berhadapan dengan dunia ini.“Apakah masih perlu kujaw
Sinar matahari menyelusup memasuki jendela kamar. Bella mengerjapkan matanya berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah sekian lama akhirnya gadis itu bisa tertidur sedikit lebih nyenyak. Matanya menyisir seisi ruangan namun tidak menemukan seseorang yang ia cari. “Sudah bangun?” Seorang wanita dengan pakaian kusut dan rambut di cepol seadanya datang dengan membawa segelas susu dan roti. “Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya sambil berusaha mengumpulkan kesadaran. “Pukul tiga tadi aku datang,” ucapnya lalu duduk di ujung ranjang Bella. “What!?” Bella yang sedang berusaha melemaskan ototnya langsung menghentikan aktivitasnya. “Aku yakin kau tidak tidur.” Gadis itu memperhatikan lingkaran hitam dan wajah sayu Karina. “Kau bisa resign menjadi manajerku,” ucapnya lirih. Ia tahu Karina selalu terlibat masalah karena dirinya. Sebagian besar manajer pasti akan sangat frustrasi mengurusnya. Tapi Karina, entah karena dia yang terlalu
Pukul sepuluh malam, Bella masih terjaga. Pikirannya tebang entah ke mana. Matanya menerawang bintang yang tertutup awan hitam di atas sana. Belasan kaleng minuman soda berserakan di sekitarnya. Gadis itu hampir mabuk karena terlalu banyak minum soda.“Ma, apa yang sedang terjadi sekarang? Bagaimana aku harus menghadapinya? Kehidupan gila ini semakin membuatku gila,” gumamnya. Mata birunya berkaca-kaca.Jika boleh jujur, Bella sangat merindukan mamanya. Ingin sekali ia datang menemui dan memeluknya seerat mungkin. Namun entah mengapa ia merasa ada tembok tinggi yang menghalangi setiap niatnya. Ada perasaan bersalah sekaligus takut memenuhi hatinya setiap kali ia ingin bertemu.“Ma ... kau tahu hidupku sekarang? Sangat menyenangkan ... begitu menyenangkan sampai aku lupa bagaimana caraku tertawa. Aku harap kau tidak bisa menonton TV di sana. Aku tidak ingin kau melihat wanita gila ini di layar TV.”Mamanya saat ini berada di sebuah
Udara pedesaan menyeruak menusuk hidung seolah membawa Bella ke sekian tahun yang lalu. Tempat ini pernah menjadi tempat paling menyeramkan bagi gadis itu, begitu pula dengan sekarang. Entah kekuatan dari mana yang membawanya kemari sendiri, tanpa ada teman baik itu manajernya ataupun Allen.Gadis itu menginjak pedal gas mobilnya melewati jalanan sepi. Jalanan di mana ia hampir saja mengalami kecelakaan. Sekarang ia datang sendiri dengan hati yang semakin ragu. Pakaiannya serba tertutup ditambah masker hitamnya semakin membuatnya tampak misterius.Bella menghentikan mobilnya di halaman parkir sebuah rumah sakit jiwa. Sepi, sunyi, seperti tempat tanpa penghuni. Ia merasakan dingin merambat melalui jemari tangannya. Degup jantungnya semakin cepat. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengatur nafasnya.Gadis itu berjalan memasuki rumah sakit jiwa tua yang dindingnya sudah dipenuhi lumut itu. Beberapa orang perawat terlihat berkeliaran di dalamnya.“Ada
Sudah satu minggu sejak Bella datang menemui mamanya, saat ini ia merasa sedikit lebih lega, seperti satu beban yang selama ini mengganggunya sudah terangkat. Sudah lama sejak ia hiatus dari dunia pertelevisian, rumor tentangnya sudah mereda. Orang-orang kini fokus mencari kesalahan dari aktris-aktris lain.Bella terdiam duduk di hadapan dua orang yang kini menunggu jawabannya. Dua orang itu memintanya untuk melakukan comeback setelah sekian lama hiatus. Sejujurnya Bella masih merasa sangat sakit hati dengan perlakuan CEO-nya itu tapi dengan bujukan Karina akhirnya gadis itu bersedia menemui laki-laki mata duitan itu.“Jadi bagaimana keputusanmu?” tanya CEO-nya dengan tatapan masih sama dinginnya seperti sebelumnya.Bella meraih selembar kertas yang ada di hadapannya, membacanya lalu tersenyum miring. “Bukankah kau sudah tidak membutuhkanku lagi?” tanyanya.“Apakah aktris barumu tidak menghasilkan banyak uang, sampai-sampai k
Allen meraih tangan Bella dan membawanya naik sepeda, setelah mendengar jawaban Bella yang seolah hilang harapan. Gadis itu tidak membantah dan mengikuti arahan pria itu. Ke manakah dia akan dibawa? Ke mana pun itu yang pasti tidak akan membahayakannya.Bella berpegangan pada baju hitam Allen. Sudah lama sekali Bella tidak naik sepeda seperti ini. semua kegiatannya mengharuskan dirinya menaiki mobil, mencium aroma pendingin yang memuakkan itu. Jujur ia sangat senang sat ini, terlepas dari beratnya beban pikiran yang sedang ia rasakan.Semilir angin menyapu wajahnya yang tertutup masker. Anak-anak rambut yang keluar dari kupluknya bergoyang-goyang tertiup angin. Menyenangkan, terakhir kali ia naik sepeda adalah saat ia SMP, sebelum ia menjadi trainee agensi yang menaunginya sata ini. ia bahkan sudah lupa bagaimana cara menyeimbangkan diri saat mengendarai sepeda.“Kita akan ke mana?” tanya Bella di tengah perjalanan.“Menemui seseorang,&r
Bella menghembuskan nafas lega saat pria tua itu keluar dari ruangan. Rasanya menyebalkan hidup dengan bersembunyi seperti ini. Allen menatapnya hangat, mengatakan semuanya akan baik-baik saja.“Ke mana kau akan pergi setelah sembuh?” tanya Allen.Lucy tersenyum lebar lalu meraih sebuah buku gambar dan pensil warna yang ada di dekatnya. Agaknya gadis kecil itu berusaha menjawab pertanyaan Allen dengan sebuah gambar. Wajahnya tampak sangat senang, senyum manis tidak luntur dari wajah mungilnya itu.“Aku ingin ke taman bermain, selama ini aku hanya melihatnya di TV.”Gadis itu memperlihatkan hasil gambarnya yang memperlihatkan tiga orang tertawa lebar di depan sebuah taman bermain. Seorang anak kecil berada di tengah dan sudah pastiitu Lucy. Bella mengira dua orang yang bersama Lucy adalah orang tuanya. Namun saat ia perhatikan lagi, dua orang yang ada di gambar itu adalah dirinya dengan Allen.Bella dan Allen berpandangan, ke
Sebulan berlalu setelah kejadian di rumah sakit. Bella sudah bisa mengendalikan dirinya untuk tidak terlalu merasa takut. Gadis itu duduk di sebuah kafe yang sepi. Masih dengan kostum penyamaran seperti biasanya. Matanya menatap lekat kertas putih yang ada di tangannya. Itu adalah surat dari CEO nya tentang comeback yang akan ia lakukan bulan depan.Bella menyandarkan punggungnya lalu menghembuskan nafas berat, apakah ini jalan yang benar? Matanya menerawang keluar dinding kaca kafe yang jernih. Ia bisa melihat dengan jelas keramaian jalan di luar sana. Segerombolan anak sekolah menengah berjalan di trotoar sambil bercanda membuatnya merasa sedikit iri. Ia belum pernah merasakan hal yang demikian.Melodi yang mendayu-dayu berputar memenuhi seisi kafe membuat pikiran Bella melayang ke mana-mana. Matanya masih menatap kosong jalanan di luar sana. Sejenak sampai akhirnya kedua bola matanya menangkap objek yang tidak asing baginya. Seorang anak kecil dengan seragam rumah s