Share

Dark White Chapter 07

Pukul 14.00 Bella masih berada di depan cermin kamarnya. Hatinya terasa was-was, ia seperti belum siap kembali tampil di depan penggemar. Skandalnya baru saja selesai beberapa hari lalu, bukankah ini terlalu cepat untuk kembali ke depan umum?

“Jangan kecewakan mereka hanya karena beberapa orang tidak menyukaimu.” Kata-kata Allen terus berputar di ingatannya saat ini.

Gadis itu merapikan poni tipis dari rambut palsunya. Ia tidak pernah mau menggunakan penata rambut perusahaan untuk menata rambutnya. Demi keamanan rahasianya, ia memilih menata rambutnya sendiri dan hasilnya tidak pernah buruk.

“Ping!” suara notifikasi ponsel mengalihkan perhatiannya.

Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Jantungnya berdegup kencang seketika. Ini nomor yang sama dengan yang mengiriminya foto boneka berdarah beberapa waktu lalu. Rasa-rasanya ia sudah memblokir nomor itu, tapi kenapa ia masih bisa menerima pesan darinya?

“Sudah terima hadiahku?” Bella membaca pesan singkat itu.

Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Sebuah kotak kado berwarna hitam tergeletak di meja kecil dekat tempat tidurnya. Entah apa yang membuatnya tidak menyadari keberadaan benda itu sejak tadi.

Diambilnya kotak kado itu dengan tangan bergetar. Rasa penasaran dan takut bercampur menjadi satu di benaknya. Perlahan ia melepaskan pita merah yang mengikat kotak tersebut. Jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya.

“Astaga!” teriaknya.

Kotak itu terlempar dan mengeluarkan isinya. Bella melompat mundur terkejut. Keringat dingin mengucur keluar dari pori-porinya. Mulutnya terbuka tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Sebuah boneka beruang yang sudah dipotong-potong keluar dari kotak. Noda merah memenuhi bulu putihnya yang lembut. Ini persis foto boneka yang ia terima beberapa waktu lalu.

Bella melangkah mundur, keringat dingin keluar dari kulit putihnya. Gadis itu terduduk di kasur empuknya. Matanya masih menatap kotak kado itu ketakutan. Ia bahkan sampai tidak sadar kalau ponsel di tangannya bergetar.

“Jangan kunci pintumu, agar aku bisa datang lagi.” Sebuah pesan kembali masuk dari nomor yang sama.

Dilemparkannya benda berbentuk persegi panjang itu sembarangan. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang kamar. Ia takut ada yang mengawasi. Ia berlari memeriksa jendela dan ternyata sudah terkunci rapat.

Semua jendela dan pintu di rumahnya terkunci dan hanya dia yang memiliki kuncinya. Bahkan karina yang sering datang ke rumahnya pun hanya bisa masuk sampai teras rumahnya saja. Bella merasa ada yang menguntitnya akhir-akhir ini. Pesan teror dan boneka itu pasti dikirim oleh orang yang sama.

“Siapa kamu!” Ia mengirimkan pesan ke nomor yang menerornya.

“Akhirnya kau memperhatikanku, aku sangat ingin memberi kejutan untukmu. Apa kau suka?” Orang itu membalas pesannya.

“Apa maumu?!” ketiknya dengan jemari gemetar ketakutan.

“Menyenangkan sekali bisa berbicara dengan bintang ternama.”

“Apa yang kau inginkan?” tanya gadis itu.

Nomor misterius itu tidak membalas. Ia berusaha menelepon, tapi nomornya tidak aktif. Bella meremas ponselnya geram. Tangannya mulai basah karena keringat dingin.

Sebuah panggilan masuk, namun bukan dari nomor misterius itu melainkan dari manajernya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, sudah saatnya ia datang ke tempat shooting. Acara live akan dimulai pukul lima nanti, ia harus segera bersiap.

“Aku segera turun,” ucapnya singkat lalu menutup sambungan telepon.

Gadis itu beranjak mengemasi kado mengerikan itu dan langsung membuangnya ke tempat sampah. Ia berlari keluar karena sopir perusahaannya sudah menunggu. Meski pikirannya masih semrawut, ia mencoba untuk tetap profesional. Seperti yang dikatakan Allen, ia tidak ingin mengecewakan penggemarnya.

Gadis itu duduk di kursi penumpang. Ia menggerak-gerakkan jemarinya gelisah. Tatapannya kosong ke luar jendela dan pikirannya kacau. Semua pertanyaan yang ia hafalkan tadi malam seolah menguap begitu saja. Penampakan boneka berdarah itu menguasai pikirannya.

“Ping!” Lagi-lagi suara notifikasi pesan masuk ke ponselnya.

Cepat-cepat ia membukanya, ia pikir itu berasal dari penerornya. Namun ternyata bukan, pesan itu berasal dari Allen.

“Semoga berhasil!” pesan Allen.

Mata Bella menatap pesan itu lama. Rasanya ia ingin menceritakan semua yang ia alami barusan kepada pria itu. Tapi ia mengurungkan niatnya dan memilih memendam sendiri. Ia sudah terlalu banyak bercerita pada laki-laki itu.

Meskipun ingin, Bella tidak boleh terlalu dekat dengan Allen. Itu tidak baik untuk kelanjutan kariernya dan juga karier pria itu. Terlalu dekat dengannya hanya membuat masalah baru. Tidak ada teman baik untuk selebritas seperti dirinya jika ingin aman.

“Ada apa?” tanya Karina yang sejak tadi duduk di sampingnya.

Gadis itu menggeleng dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia mengabaikan pesan singkat yang baru saja ia terima.

“Tenang saja, semua akan berjalan lancar.”

Wanita itu menepuk pundak Bella pelan dan tersenyum mengayomi. Ia seolah tahu apa yang sedang dicemaskan gadis itu. Bella mengangguk sembari tersenyum tipis.   Bibir pucatnya yang tertutup lipstik tipis terangkat.

Sepuluh menit berlalu mereka sampai di sebuah gedung televisi. Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Gadis itu melangkah memasuki gedung bersama dengan manajernya.

Pukul 16.45 ia berdiam diri di ruang tunggu. Bisa ia dengar di luar sana pembawa acara sedang membuka acara hari ini. Jantungnya berdegup kencang bukan karena ia belum siap. Tapi pikirannya dipenuhi dengan penampakan boneka beruang yang telah dimutilasi. Berulang kali ia mencoba menelepon nomor misterius itu, tapi gagal.

Ia memperhatikan pesan dari Allen yang sejak tadi belum dibalas. Di sampingnya tergeletak biola berwarna putih yang akan ia gunakan untuk tampil nanti.

“Bisakah aku melakukannya?”  gumamnya pelan.

Bella beranjak saat MC acara memanggil namanya, disusul dengan suara tepuk tangan dari para penonton yang hadir. Gaun hitam dan langkahnya yang anggun berhasil membius para penonton yang menyaksikan. Bahkan dengan senyum tipis yang sangat terpaksa pun ia tampak sangat menawan.

Bella duduk di sebuah sofa empuk yang khusus disediakan untuk bintang tamu. Bola matanya berkilatan tertimpa cahaya lampu studio. Puluhan kamera mengarah kepadanya.

“Ya! Tanpa basa-basi lagi langsung saja kita mulai wawancara dengan violinis ternama kita Nona Arrabella,” ucap seorang wanita yang sedikit lebih tua darinya dengan nada semangat.

Setelah wawancara panjang yang membosankan akhirnya mereka tiba pada sesi tanya jawab langsung dengan para penggemar. Komentar-komentar bergerak cepat di layar.

“Apa kau sudah punya pacar?” MC acara membaca salah satu komentar.

“Wah kenapa pertanyaannya seperti ini ... tentu saja aku punya.” Bella tersenyum manis.

Jawabannya itu langsung diikuti teriakan putus asa para penonton yang berada di studio.

“Benarkah?” Agaknya pembawa acara juga terkejut dengan jawaban Bella.

“Bukankah kalian kekasihku,” ucapnya lalu tertawa kecil dan lagi-lagi diikuti teriakan semangat.

Ia merasa geli dengan jawabannya sendiri. Batinnya ingin sekali cepat-cepat pergi dari tempat ini. Ia lelah ditanya pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya sama sekali tidak penting dan membuang waktu.

Lima belas menit lamanya mereka menjawab pertanyaan langsung dari penggemar akhirnya acara selesai. Saatnya ia menampilkan penampilan terakhirnya untuk menutup acara. Bella berdiri di tengah panggung yang sangat gelap. Hanya satu lampu yang menyorot dirinya dan efek asap di bawahnya memberikan kesan anggun.

Gadis itu memejamkan mata dan mulai menggesekkan bownya. Irama musik klasik yang bertempo cepat dan lambat tidak beraturan menghasilkan melodi yang luar biasa indah. Suasana hening dan hanya terdengar suara biolanya saja. Semua mata menatapnya terpukau.

Bella sudah berada di ujung lagu ketika layar di belakangnya tiba-tiba menyala. Suasana hening berubah menjadi sedikit berisik, namun gadis itu berusaha tetap pada permainannya. Mungkin itu hanya kesalahan teknis, pikirnya.

“Astaga apa itu!” teriak para penonton saat layar di belakangnya menampilkan gambar seorang wanita dengan penampilan serba putih.

Bella masih fokus pada permainannya hingga akhirnya sebuah botol minum melayang menimpa kepalanya. Gadis itu menghentikan permainannya dan menyadari kekacauan terjadi. Matanya menatap tidak percaya fotonya terpampang lebar di layar studio. Itu adalah foto dirinya.

Gadis itu berjalan mundur, jantungnya berdegup kencang. Akhirnya hari itu tiba, hari di mana penyamarannya diketahui oleh semua orang. Ia beralih menatap semua orang yang kini menatapnya tidak percaya.

Puluhan botol minum melayang mengarah pada dirinya. Bukannya hujan bunga mawar, tapi hujan botol minum dan sampah menimpanya di penampilannya kali ini. Tangannya gemetar mencengkeram gagang biola putihnya.

“Dasar bermuka dua!” teriak salah satu penonton.

Suara teriakan dan kerusuhan memenuhi mata dan telinganya. Wajah mulusnya mulai basah terkena keringat dingin. Ia bahkan tidak sadar kalau senar biolanya melukai jemarinya. Noda merah bercampur dengan keringat memenuhi telapak tangannya.

“Dia terlihat sangat buruk!”

“Dasar penipu!”

Semua teriakan itu membuat telinganya panas. Bella melemparkan biola putihnya ke sembarang arah. Ia menatap tajam mata para penonton yang kini sibuk meneriakinya. Hujan sampah dan botol minum masih belum berakhir. Di belakang sana para staff sedang bingung kenapa foto itu bisa muncul di layar.

Tangan putih pucatnya bergerak melepaskan rambut hitam palsunya. Helaian rambut berwarna putih tergerai dan membuat para penonton bungkam. Bungkam bukan karena mereka terpesona, tapi karena sikap nekat gadis itu. Serentak mulut mereka menganga secara bersamaan.

“Wah dasar penipu! Lihat dia selama ini sudah menipu kita semua!” teriak salah satu penonton dan disahut dengan gemuruh jawaban dari yang lainnya.

Bella tersenyum tipis, jadi beginilah reaksi mereka ketika tahu dirinya yang sebenarnya. Hari yang selama ini hanya menghiasi angan-angannya terjadi secara nyata. Tidak ada air mata yang keluar dari kedua matanya. Sesuatu berhasil menghantam kepalanya dengan keras.

“Lihat apa dia sedang berakting?”

Pandangannya mengabur, riuh suara penonton yang meneriakinya kalah dengan suara berdengung di telinganya. Suara detak jantung merambat memenuhi telinganya. Bodyguardnya datang menghampiri dan berusaha mengajaknya bicara, namun gadis itu terlebih dahulu ambruk.

Para staff berusaha untuk menenangkan penonton yang semakin tidak terkendali. Entah bagaimana reaksi kepala agensinya saat ini.

Bella mengerjapkan matanya perlahan, sayup-sayup ia mendengar seseorang sedang berdebat di luar sana. Ia berada di salah satu ruang istirahat di gedung agensinya. Kepalanya terasa nyeri, teringat bagaimana para penonton menghakiminya tadi. Gadis itu meraih ponsel, dua buah pesan masuk dan salah satunya langsung menyita perhatiannya.

“Bagaimana? Kau menyukai kejutanku?” Sebuah pesan dari nomor yang terus menerornya.

Gadis itu beranjak duduk dan melepas infus yang tertancap rapi di punggung tangannya. Nomor itu lantas mengiriminya foto-foto kekacauan yang terjadi tadi. Bisa dipastikan dia berada di antara kerumunan para penonton saat itu.

“Bukankah wajahmu terlihat sangat ketakutan? Apa kau sedang memasang wajah itu sekarang?” Pesan itu terus menerus masuk membuat gadis itu geram.

“Katakan siapa kau!” ketiknya dengan penuh kemarahan.

“Kau akan segera mengetahuinya, pelan-pelan saja dan nikmati permainannya. Ini akan sangat menyenangkan.”

Bella mengerutkan keningnya. Ada kemungkinan orang ini akan membocorkan rahasianya yang lain.

“Berapa yang kau minta, akan kuberikan.”

“Hahaha ... aku tidak menginginkan uangmu sayang. Aku hanya ingin membuatmu menderita sepertiku.”

“Balas dendam?” gumamnya pelan.

Perasaannya campur aduk saat ini. Bella memeluk lututnya yang terbungkus selimut tipis. Ia harus mempersiapkan diri mendapatkan amukan kepala agensi dan menerima semua keputusan yang dibuat. Bahkan jika ia harus keluar dari agensi ini.

“Kau sudah sadar?” Karina datang membawa nampan yang berisi minuman.

“Aku menghancurkannya,” ucap gadis itu.

Matanya berkaca-kaca menatap Karina yang kini berdiri di sampingnya. Sebagai seorang manajer wanita itu harus kesulitan karena ulahnya. Karina memeluk Bella lembut layaknya seorang ibu memeluk anaknya.

Bella tidak bisa membendung air matanya agar tidak keluar. Ia merasa baik-baik saja tadi, tapi saat melihat Karina ia menyesali semuanya.

“Maafkan aku,” ucap gadis itu.

“Kau sama sekali tidak melakukan kesalahan. Kau sudah melakukan yang terbaik.” Tangannya menepuk-nepuk kepala Bella lembut.

“Semuanya sudah terbongkar,” gumam gadis itu.

“Tidak apa-apa, kau sendiri pasti sudah tahu kalau hari ini akan tiba bukan?”  

Beberapa saat kemudian gadis itu dihadapkan dengan kepala agensinya. Dilihat dari wajahnya saja sudah menjelaskan segalanya. Bella tahu ini kesalahannya, ia sudah membohongi semua orang. Mereka pantas marah padanya.

“Plak!!” Telapak tangan kekar pria itu kembali menghantam pipi Bella.

Karina menjerit melihat apa yang dilakukan David kepada gadis itu. Bella masih sangat terkejut saat ini, ini bukan waktu yang tepat untuk memarahinya. Gadis itu masih menunduk tanpa berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya gadis itu menunduk saat sedang dimarahi kepala agensinya.

“Sekarang apa yang akan kau lakukan?” tanya laki-laki dengan topi baret bertengger di kepalanya.

“Aku sudah sangat lelah denganmu, baru saja kasus kemarin selesai. Sekarang kau berulah lagi? Apa sebenarnya yang kau inginkan?” Pria itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

“Maafkan aku.” Gadis itu menunduk dalam.

“Warnai rambutmu,” ucap pria itu sambil menatapnya tajam.

“Percuma, mereka sudah mengetahui semuanya. Mewarnainya hanya akan menimbulkan masalah baru.” Gadis itu berusaha mengelak, ia tidak ingin mengubah warna rambutnya lagi.

“Lalu apa yang akan kau lakukan? Ah sudahlah aku sudah sangat pusing denganmu.”

Laki-laki dengan topi baret itu beranjak dari duduknya. Bella masih berada pada posisinya. Di sampingnya Karina berusaha menghibur. Beberapa staff yang menyaksikannya juga terlihat kesal padanya.

“Kau harus istirahat,” ucap manajernya lalu mengajak gadis itu pulang ke rumahnya.  

“Aku ingin keluar,” gumam gadis itu.

“Tidak-tidak, kau harus membayar denda jika berhenti sebelum kontrakmu berakhir.”

“Akan aku bayar!” tegasnya.

“Tidak-tidak, kau sedang emosi, jangan mengambil keputusan di saat seperti ini. Kau harus bertahan sebentar lagi.”

Karina mengatup kepala Bella lembut. Ditatapnya kedua mata biru gadis itu dalam kemudian mendekapnya erat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status