"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Cavia memperhatikan Davira yang duduk di sampingnya. Rasa penasaran yang menyeruak membuatnya jadi kepo dengan hal apa yang membuat Davira cengengesan begitu.
"Haha, kepo ya?" goda Davira, "hhh lagian orang kayak lo tahu apa Cav soal cinta."
"Cinta?" ulang Cavia mengerutkan dahinya bingung.
"Iya cinta, tahu apa kamu dengan satu kata penuh mantra dan makna itu?" tanya Davira.
Cavia sedikit tersentak saat mendapati pertanyaan seperti itu dari sepupunya ini. Sesekali bola mata Cavia bergerak melihat ke arah pak supir pribadi keluarga mereka. Takut-takut jika si pak supir mendengarkan percakapan mereka, dan syukurlah Cavia saat mendapati pak supir yang tampak hanya cuek saja.
"Jadi, maksud dari pertanyaanmu barusan itu adalah kamu yang sedang jatuh cinta?"
"Bingo!" seruan Davira membenarkan tebakan Cavia, "tumbenan lo pinter." sambungnya terkekeh.
"Ya habisnya kamu bilang cinta-cintaan sih." Cavia memutar bola matanya kesal. Davira hanya terkikik geli melihat sepupunya itu yang tampak kesal.
"Jatuh cinta sama siapa?" tanya Cavia yang kini tak lagi menatap ke arah Davira, gadis itu tengah menatap ke arah luar melihat jalanan dari dalam mobil yang melaju.
"Coba tebak!" tantang Davira menyuruh Cavia untuk menebak.
"Siapa? Manalah aku tahu Vir."
"Aissh, coba tebak saja dulu, siapa tahu kan bener."
Cavia tampak tengah memikirkan siapakah sosok lelaki yang kini tengah dekat dengan Davira dan mampu membuat sepupunya itu jatuh cinta. Meskipun Davira memang sangat terkenal playgirl, sama seperti papanya dulu, Dava Atmadja.
Davira mewarisi sifat playgirlnya dari sang papa dan mewarisi sifat suka berpenampilan seksi dari sang mama tercinta, Airaa.
Memang istilah pribahasa, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya memang sangat tepat untuk menggambarkan sosok Davira yang mirip dengan sosok sang papa dan mamanya.
Sungguh perpaduan yang komplit bukan?
"Reno?"
"What!!" kaget Davira saat Cavia menyebutkan satu nama lelaki yang sempat dekat dengannya.
"Sama dia cuma main-main aja kali." sungut Davira manyun, "coba tebak lagi deh."
Cavia kembali menyebutkan beberapa nama pria yang silih berganti sempat dekat dengan Davira. Tapi, lagi-lagi tebakan Cavia salah semua.
"Argh! Tidak tahu, aku menyerah." Cavia mengangkat kedua tangannya ke atas tanda menyerah.
"Ah, payah lo." ejek Davira.
"Bukan aku yang payah Vir, kamu sih banyak banget yang di pacari."
"Heh! Mereka semua itu bukan pacar aku ya, enak aja."
"Tapi, kan kamu dekat semua sama mereka Vir."
"Hanya dekat kan? Memang aku ada bilang atau buat pengumuman bahwasannya mereka pacarku? Enggak kan?" Cavia menggeleng.
"Nah, ya sudah. Jadi, lo jangan asal bicara."
"Sorry deh, habisnya ya aku pikir begitu." kata Cavia karena telah salah bicara. "Makanya Vir, jangan deketin banyak cowok gitu ah. Kesannya lu kayak cewek playgirl tahu gak sih."
"Memang iya gue playgirl." sahutnya bangga, "di sekolah kan juga gue terkenalnya gitu."
Cavia menepuk jidatnya melihat kelakuan sepupunya yang satu ini. Ampun dah!
"Lagian gue cuma manfaatin mereka doang kok, lo tenang aja deh. Cuma main-main aja, karena hati gue udah ke kunci sama dia."
"Dia?" Davira mengangguk semangat.
"Impian gue," kata Davira dengan mata berbinar bahagia.
Cavia menatap lekat Davira, berusaha mencoba mencari jawaban disana.
"Om Haikal," kata Davira akhirnya memberitahukan nama pria yang sangat di cintainya.
Cavia diam dengan raut wajah tanpa ekspresi, bibirnya terkatup rapat karena saking syoknya.
"Eh, udah sampai!" ucap Davira menyadarkan Cavia yang masih tenggelam dengan pikirannya.
Davira turun dari mobil tanpa menghiraukan sepupunya itu. Saat keluar dari mobil Davira sudah di sambut oleh papa tercintanya yang berdiri di teras rumah.

"P-papa," cicit Davira takut-takut.
"Haloo puteriku," sahut Dava menyapa sang anak dengan suara lembut. Ketakutan Davira sedikit berkurang setelah mendengar nada suara Dava.
"Haloo puteriku, Cavia." sapa Dava ketika melihat puteri bungsu Nando dan Kia yang turun dari mobil dan berjalan mendekati mereka.
"Haloo papa," balas Cavia yang memang sudah terbiasa memanggil Dava dengan sebutan yang sama seperti Davira dan Orlando, adik Davira.
"Ayo masuk!" titah Dava mengajak kedua gadis itu untuk masuk ke dalam rumah.
Cavia dan Davira berjalan mengekor di belakang Dava yang melangkah menuju ruang makan.
"Semuanya sudah berkumpul di ruang makan," kata Dava memberitahu.
"Semua?" pekik Davira mengulangi kata itu.
"Iya, seluruh keluarga sengaja berkumpul hari ini untuk sarapan bersama." beritahu Dava lagi menjelaskan secara detail.
"Kenapa?" tanya Davira, "mengapa semua orang berkumpul disini? Di rumah kita?"
Dava menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya, "memang salah jika seluruh keluarga ingin berkumpul, hmm?" Davira menggeleng.
"Tidak salah papa, hanya saja ini terlalu pagi sekali untuk berkumpul, bukan? Karena kita tidak sedang dalam acara besar maupun penting. Seluruh keluarga akan berkumpul jika ada hal penting yang ingin di bicarakan saja."
"Silahturahmi, benar kan Cavia?" ucap Dava meminta pembenaran pada Cavia yang sedari tadi hanya diam saja.
"Hah?" kaget Cavia melirik ke arah Dava dan Davira secara bergantian, tatapan anak dan bapak itu terlihat seperti ingin berduel meskipun suara Dava tetap lembut.
"I-iya papa," cicit Cavia membenarkan ucapan Dava.
"Memang seperti kamu yang tidak pulang karena terus kelayapan entah kemana. Bahkan kami orang tuamu saja tidak tahu dimana kamu tidur semalam." sindir Dava, "Davira, kamu tidak tahu apa jika mama kamu itu tadi malam marah-marah sama papa karena jadi orang tua yang gak becus. Gak mengetahui fakta bahwa anak gadisnya sering tidak pulang ke rumah."
"Apa?" kaget Davira.
"Bagaimana papa mau tahu kalau papa sendiri saja sibuk, lagian papa pikir kamu sudah besar dan beranjak dewasa. Tentu kamu sudah tahu mana hal yang baik dan hal yang gak baik. Ingat Davira! Papa berikan kamu kebebasan bukan berarti kamu terlalu bebas, sebebas-bebasnya yang kamu mau. Seharusnya kamu juga ingat pada batasanmu." tekan Dava berusaha memberi pengertian pada anaknya.
Davira hanya diam mendengarkan tanpa menjawab sepatah kata pun ucapan Dava. Karena ia sendiri pun sadar jika ia salah.
Davira menatap mata Dava yang memancarkan kekecewaan, kecewa atas tingkah yang di perbuatnya.
"Hhh, baiklah, lupakan saja, semua orang pasti sudah menunggu kita." kata Dava sebelum berbalik badan dan kembali melangkah.
Tbc....
Sebelum mulai baca cerita ini, ada baiknya untuk kalian baca terlebih dahulu cerita istri pilihan & Davra. Karena kedua cerita itu berkaitan dengan cerita ini. Oke 🤗________________________Davira menatap tidak suka pada sosok wanita muda yang duduk di samping bunda Kia. Mencibir dengan suara seperti jijik melihat orang itu yang selalu ada di tengah-tengah keluarga mereka. Duduk dengan wajah yang menunduk sendu sembari salah satu tangannya menopang di meja makan."Hei! Ngapain lo ada disini?" tanya Davira to the point tanpa tendeng alih.Sontak hal itu membuat semua orang yang berkumpul di ruang makan kaget, Davira melabrak Ayesha secara terang-terangan di depan kedua mata mereka. Tapi, itu bukan satu dua kali terjadi, hal ini memang kerap terjadi apabila seluruh keluarga berkumpul."Vir
Mendengkus kesal Davira menatap sengit pada dua orang yang barusan melewatinya. Rasanya jika tak memikirkan para orang tua, kemungkinan besar Davira sudah mencakar wajah wanita itu. Anak dari wanita gila jahat yang sangat ia benci, seperti itulah cerita yang pernah ia dengar lewat menguping pembicaraan antara mamanya dan bunda Kia. Meskipun Davira tidak begitu tahu cerita di masa lalu secara detailnya."Davira!" panggilan Dava membuyarkan segala lamunan Davira yang masih setia berdiri. "Duduk disini sayang." sambungnya menyuruh Davira agar duduk di kursi meja makan.Davira menurut sebab sudah tak ada lagi si dia yang sangat Davira benci. Davira memilih duduk di sebelah Orlando, adiknya.Orlando sendiri tampak cuek, tak ada sapaan jahil yang biasanya pemuda itu berikan setiap bertemu dengan Davira. Setelah insiden keributan kecil tadi cukup membuat semua orang yang ada di situ menjadi canggung dan tegang.Terut
Davira mendesah kecewa karena hari ini sepertinya ia tidak akan bisa menemui Om Haikal di apartemennya. Sebab, mulai hari ini di terapkan penjagaan ketat untuknya yang otomatis tak ada keringanan akses keluar untuknya. Sungguh hal ini sangat menyulitkan sekali untuknya, Davira tidak suka ini. Biasanya ia di beri sedikit kebebasan untuk keluar, tapi sepertinya tidak akan berlaku lagi mulai hari ini.Davira sendiri juga tak mengerti kenapa bisa seperti ini, padahal sedari awal semuanya berjalan baik-baik saja. Tak ada masalah, tak ada protesan, dan yang paling utama tak ada larangan. Davira berpikir keras, apa mungkin Om Haikal sendiri yang mengatakan sejujurnya pada mamanya? Atau mungkin, Cavia?Ah tidak, tidak, kalau Cavia rasanya tidak mungkin. Dugaan kuat Davira sangat yakin jika ini pasti ulah Om Haikal.Sial!!Jika memang begitu, apa mungkin maksudnya si Om Haikal ini udah bosan, udah muak dan gak kuat lag
Airaa menutup kedua matanya kembali, pura-pura tidur ketika mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ah, itu pasti suaminya yang baru pulang dari mengantar anak mereka yang nakal ke rumah Haikal.What? Airaa tau?Ya, wanita itu tau jika suaminya ternyata melakukan persengkokolan dengan anak sulung mereka. Jadi, sebenarnya tadi Airaa tidak benar-benar tertidur saat Dava masih di dalam kamar ikut berbaring bersamanya.Airaa mendengar suara langkah kaki Dava yang perlahan keluar dari kamar. Hatinya berseru untuk mengikuti suaminya untuk menangkap basah anak dan bapak itu yang ketahuan bersekongkol. Tapi, niat itu di urungkannya.Airaa bukan wanita bodoh yang akan dengan gampang mereka tipu. Selama ini Airaa sempat menaruh curiga pada sang suami yang menurutnya terlalulembeksikapnya pada Davira. Tak seperti sikap seorang ayah pada umumnya, yang biasanya akan selalu tegas pada anak-anaknya.
Kedua bola mata yang tertutup itu tampak bergerak kesana-kemari, perlahan kelopak mata itu terbuka. Davira tersentak bangun dari pingsannya, membiasakan cahaya lampu yang menyilaukan kedua matanya.Davira mengamati setiap sudut di sebuah kamar yang tengah di tempatinya, kamar yang sangat ia hafal hingga pikirannya kembali terlempar ke momen dimana ia menemukan perselingkuhan Haikal.Perselingkuhan? Ya, begitulah Davira mendefinisikannya.Dan karena itu juga sebabnya ia merasa syok luar biasa yang mengakibatkannya pingsan tak sadarkan diri."T-tapi, siapa yang menemukanku pingsan dan membawaku ke kamar ini?" ucap Davira tergugu dan bertanya-tanya pada diri sendiri.Apakah mungkin Om Haikal yang menemukannya pingsan dan membawanya ke kamar ini? Mungkinkah?Saat masih sibuk berperang melawan pemikirannya sendiri, pintu
"Vira!" jerit Cavia memanggil Davira ketika ia sudah sampai di lantai apartemen tempat Haikal tinggal.Terlihat Davira yang masih betah bersandar di belakang pintu apartemen Haikal dengan posisi berjongkok menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya. Setelah mendengar panggilan Cavia, Davira membuka telapak tangan dan mendongak menatap Cavia yang kini sudah berdiri di depannya."Cavia...." panggil Davira dengan suara merengek manja, Davira membuka lebar kedua tangannya sebagai isyarat untuk Cavia agar memeluknya.Cavia yang mengerti kode itu pun mengangguk seraya tersenyum, merundukkan tubuhnya berjongkok di depan Davira.Cavia memeluk erat tubuh Davira yang montok namun kini seakan rapuh, bahkan di dalam pelukannya pun Davira kembali menangis."Dia jahat Cavia," kata Davira mengadu pada sepupunya ini. "Dia berselingkuh bahkan bercinta denga
Benar saja apa yang Davira katakan, tak butuh waktu lama hanya dengan hitungan jam saja kabar mengenai dirinya yang tengah berada di kediaman keluarga Wicaksana sudah diketahui oleh sang papa. Dava Atmadja.Pria tampan yang dulunya mantan playboy itu kini sudah berada di kediaman rumah milik Arnando Wicaksana. Pagi-pagi sekali saat ia berpamitan pada Airaa untuk berangkat kerja ke kantor, Dava menyempatkan diri berkunjung ke rumah sahabatnya tersebut setelah mendapatkan kabar dari salah satu anggota keluarga itu.Meskipun sedikit dilanda kebingungan tentang keberadaan Davira yang ada di sana. Seingat Dava, bukankah tadi malam ia sengaja membantu putrinya itu untuk kabur dari rumah agar bisa menemui Haikal? Lalu kenapa sekarang anaknya bisa berada di rumah Nando? Seharusnya kan Davira masihberada di apartemennya Haikal. Aneh! pikir Dava merasa sepertinya sedang terjadi sesuatu hal yang tak beres.Kedatangan Dava di sambu
"Dasar bodoh!" umpat Dava memaki Haikal.Setelah pergi dari rumah Nando, Dava bukannya ke kantor malah singgah mendatangi apartemen Haikal. Syukurlah Haikal masih berada di apartemennya dan langsung membuka pintu begitu mendengar suara bunyi bel apartemen.Sedikit tercengang ketika melihat siapa tamu yang datang dan sungguh tak menyangka jika Dava akan berkunjung ke apartemennya pagi ini.Tak ada sapaan yang Dava berikan, justru pria itu langsung nyelonong masuk ke dalam tanpa sang tuan rumah menyuruh terlebih dahulu. Dan Dava tanpa tendeng alih-alih langsung mengeluarkan semua makian dan umpatan pada Haikal yang sama sekali tak mengerti."Berengsek, Haikal bodoh!" entah umpatan dan makian yang ke berapa kalinya Dava berikan untuk Haikal.Haikal yang tadinya berusaha tenang dan sabar menghadapi sikap Dava pada akhirnya pun meledak. "Sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau tiba-tiba datang ke ap