Share

Bab 8 - Kamu Tahu Namaku?

Pelajaran kami selesai, istirahat pun tiba.

Saat sedang asik bermain game di benda ajaib yang disebut ponsel itu, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja datang dan langsung meletakkan benda besar yang disebut tas itu di mejaku. Tanpa peringatan, tanpa aba-aba dan tanpa sapaan.

"Titip ya!" ujarnya terburu-buru.

"Indra! Tasnya jangan ditaruh di situ dong! Iih!" tegurku sembari buru-buru menekan tombol pause dan menatapnya kesal.

"Apa? Kamu tadi panggil saya ya? Panggil saya apa?" kagetnya berbalik. Tiba-tiba menatapku dengan tatapan matanya yang serius. Membuatku jadi keheranan, kenapa dia ini? "Nana, kamu tadi panggil saya kan?" Dia kembali berucap.

"Ya, iya. Kamu lah, siapa lagi? Memangnya ada orang lain yang lagi berdiri di depan meja aku, 'kan cuma ada kamu, aneh banget iiih," jawabku panjang lebar.

"Ooh, jadi kamu memang panggil saya ya? Panggil aku nih?" Dia menundukkan badan dan menopangkan dagu di atas meja, membuat kepala kami simetris. “Yakin itu aku? Nggak salah orang ‘kan? Bukan orang lain 'kan?”

"Iya! Apa-apaan sih!" Aku mendorong kursi dengan kaki sampai menyentuh meja belakang.

"Oh ya? Soalnya ‘kan, biasanya kamu tuh selalu cuma manggil aku, hey kamu! Udah gitu aja, biasanya juga ngomongnya formal banget, saya-kamu-saya," jawabnya tertawa.

"Tahu ah ... pindahin tasnya!" seruku.

"Ini titip di sini sebentar aja ya, cantik, aku lagi buru-buru nih! Daaah! Aku pasti balik kok, jangan ditungguin ya," ucapnya berlari keluar kelas, mendadak bicara informal.

"Hey! Indra! Woy," panggilku berteriak, menatap penuh kebingungan ke arah tas anak laki-laki yang menggangguku tempo hari itu. "Apaan sih tuh anak! Cantik? Apaan!" omelku sendiri.

"Tas siapa nih kak?" tanya Tri yang tiba-tiba nongol.

"Astaga!" Aku terkejut dengan kedatangan Tri.

Jika manusia hidup memerlukan udara, maka berbeda dengan Tri. Sepertinya dia memang diciptakan dari udara dan sebangsanya, karena Tri bisa datang dan pergi kapan saja sesuka hatinya.

"Tas siapa sih kak?" paksanya, mengganggu ketenanganku.

"Geng Yani!" jawabku memperhatikan Tri yang menarik kursi dan mencoba duduk di sebelahku. Aku mengembalikan pandangan ke game yang ter-pause sedari tadi.

"Iya, maksud aku tasnya ini ya, punya siapa sih, Kak? Kok nggak asing ya?" Tri terdengar bukan sedang dipenuhi rasa penasaran, tapi seolah sedang curiga atas sesuatu.

Kalau udah tahu kenapa tanya lagi? Batinku mengomel.

"Indra,” jawabku sekenanya, sembari melawan fighter musuh di medan tempur.

"Ya Allah, Indra? Aduh Kak, hati-hati jangan dekat-dekat sama dia, nanti bisa jadi korban juga!" cerocosnya heboh sendiri.

Aku langsung mengerti tujuan dari perkataannya itu. Akhir-akhir ini, memang beberapa anak laki-laki kelas 10, ikutan tantangan kelas 12 untuk cari pacar sebelum naik kelas. Sebuah permainan bodoh yang selalu membuatku tertawa setiap mendengarnya.

“Iya, iya,” ucapku sembari memberi semangat pada fighter game.

“Percaya sama aku deh, Kak …,” lanjutnya usai berucap beberapa kalimat yang tak begitu kuperhatikan.

"Astaga! Jangan lebay deh, Tri! Lagian 'kan, dia udah punya pacar, mesra lagi. Coba aja tanya Riski!" jawabku cuek sambil main game di ponsel.

"Mereka 'kan kemarin udah putus?"

"Apa? Putus?” Aku kembali menekan pause dan mengalihkan pandangan kepada Tri. Tiba-tiba perbincangan ini terasa menyenangkan. “Kok bisa sih? Pacaran sampai segitunya, kok masih bisa putus ya? Aneh," tanyaku kaget melihat Tri yang bicara serius.

"Pacaran ama siapa? Memangnya kak Nana tahu? Kak Nana ‘kan bukan tukang gosip," sela Tri.

"Sama, anak kelas sebelah ‘kan? Kelas B?" terkaku.

"Iih ... itu sih yang lain lagi, Kak!" jawabnya pindah di dekatku, ah jadi dia tukang gosip juga.

"Hah? Maksud kamu yang dia putusin kemarin tuh, cewek yang lain lagi? Gitu? Beda orang?" tanyaku, Tri pun mengangguk penuh semangat 45. "Pacarnya ada berapa banyak sih?" lanjutku penasaran.

"Iya. Jadi, begini. Yang kemarin diputusin sama Indra itu, kata teman-temannya sih baru semingguan gitu jadiannya,” ceritanya kembali dengan semangat kemerdekaan. Membuatku merasa rancu. "Malah yang kemarin diputusin itu adalah kakak kelas kita loh!" lanjutnya.

"Kakak kelas?" Aku sedikit bergidik. Tri mengangkat pundak ringannya, seolah tak tahu.

"Aku ke tempat dudukku dulu, ya, Kak. Hati-hati looh ...," pamitnya begitu saja dengan nada seram, meninggalkanku yang terdiam menatap tas punggung berwarna hitam-abu.

Kakak kelas? Sepertinya sekolah ini mulai menggila, bukan hanya para lelaki yang ikutan tantangan cari pacar sebelum lulus atau naik kelas, tapi perempuan juga. Semoga Bu Lisa nggak ikutan.

Lucu, kenapa aku jadi mikirin dia sih?

Sebelum istirahat pertama berakhir, anak laki-laki itu masih tidak ada, beberapa temannya pun menghilang. Bukan sebuah pemandangan baru sih, hanya saja apa yang dilakukan ketua kelas saat melihat murid sekelas bolos? Kenapa tak ada reaksi? Apa dia sesantai itu? Kenapa dia yang terpilih?

Setidaknya Yani sebagai sekretaris kelas lebih aktif menangani para pasukan pembolos, dibandingkan wakil ketua kelas yang malah menjadi pelaku utama pembolosan. Tunggu dulu? Apa urusanku? Sudahlah!

***

Saat jam pelajaran siang berakhir. Aku pergi ke kantin bersama Ani, sejenak kami menghabiskan waktu saat istirahat  kedua.

Setelah berkeliling kantin, aku kembali ke kelas bersama Ani. Kami berdua bergandengan tangan sambil bercakap kecil. Tadi, setelah Tri pergi, sebenarnya Ani memaksa minta ditemani ke kantin. Sebenarnya aku tidak mau, tapi sesekali jalan ke kantin tidak ada salahnya. Aku pun menyarankan untuk pergi ke kantin saat jam istirahat kedua saja.

Setibanya di kelas, tas di mejaku ternyata sudah menghilang dan telah berada di yang tempat lain. Ya, syukurlah tas itu sudah kembali di meja pemiliknya. Sewaktu pelajaran sejarah tadi, tasnya sangat menganggu karena ada di atas mejaku.

Melihat tasnya yang sudah kembali ke mejanya, setidaknya Indra tahu diri lah. Sejenak terbesit, mungkin dia sudah selesai membolos dan tertangkap sehingga kembali ke kelas. Aku rasa itu karena Yani, tadi dia berkeliling memeriksa sekolah dengan izin wali kelas kami dan dia berhasil membuat para pembolos kembali ke kelas, entah bagaimana caranya? Kegigihan Yani terkadang cukup membantu.

Indra duduk hanya beberapa meter dari sisi kiriku, kami dibatasi oleh dua teman saja. Tak sengaja aku melihat secarik kertas kecil di atas meja, setelah membukanya aku hanya menemukan beberapa digit angka, yang sepertinya adalah nomor telepon.

Selain itu, ada huruf-huruf kecil yang berjejer rapih tepat di bawah tulisan angka. Mengganggu dan coba memikat pandanganku.

"Kamu tahu namaku ya? Terima kasih." Bermaksud membuangnya, aku malah memasukkan kertas ke kantong rok panjang, karena wali kelas sudah datang. Kali ini perhatian kuberikan sepenuhnya untuk Pak guru saja.

"Oh iya! Pak Jaya tidak bisa masuk hari ini. Dia meninggalkan bahan mengajarnya kepada saya, karena saya ada jam di kelas duabelas jadi kalian belajar sendiri aja dan jangan ribut! Dan yang tadi tertangkap bolos, setelah jam pelajaran terakhir langsung temui saya di ruangan. Mengerti?"

"Iya, Pak," jawab kami kompak.

“Horeeee …,” teriak anak-anak laki-laki kegirangan. Dasar! Mereka pasti mau bolos lagi tuh.

"Nana Rahayu?" panggil Pak guru mengejutkanku. Aku menyahut. "Ikut saya dulu ke ruangan sebelah!" lanjutnya berjalan ke luar kelas.

"Kenapa?" tanya Ani kepo.

"Nggak tahu!" jawabku menggeleng mengikuti di belakangnya, kini aku bisa merasakan debaran jantung di dekat leherku.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status