Wina duduk di pojok sofa, sambil melipat kaki. Rian berdiri dekat jendela, menatap lampu kota. Alma membuka laptopnya, dan klik folder khusus bertulis "Plan C - Eksternal", ia membuka tiga tab:1. Forum jurnalisme independen yang menerima pengaduan anonim.2. Platform whistleblower yang terenkripsi dan diakui komunitas etika profesi.3. Media daring yang pernah mengangkat kasus serupa tentang pencurian intelektual."Kalau HR tetap bungkam... kita lempar ini ke luar," kata Alma.Wina menatap layar. "Kalau lo bener-bener kirim ini, bisa aja nama lo diseret. Kita semua."Rian menjawab, "Nama kita udah diseret dari awal. Bedanya, waktu itu diem. Sekarang kita yang pegang kendali."Alma menoleh ke Rian. "Tapi lo pasti sadar, ini bisa nyeret lo lebih jauh. Lo anak IT. Bisa dituduh bocorin sistem."Rian mengangkat bahu. "Gue udah backup identitas. Kalau perlu, gue ngilang dari sistem internal. Tapi cerita ini harus hidup."Mereka bertiga diam. Hanya suara jam yang terdengar.“Kalau jujur, gu
Alma menarik napas panjang. Dalam ruang kecil itu, tiga suara yang dulunya terpisah mulai menyatu. Bukan dalam bentuk orasi. Tapi dalam bentuk:Bukti.Loyalitas yang tak bisa dibeli.Dan luka yang tak ingin diwariskan lagi.Ia buka map biru—yang kini berisi bukan hanya narasi, tapi semua yang ingin mereka pertahankan. Ia keluarkan tiga salinan dokumen. Satu diletakkan di depan masing-masing.“Kalau mereka main pakai sistem,” kata Alma, “kita lawan dengan sistem juga. Tapi versi kita: lengkap. Jelas. Dan gak bisa dibantah.”“Tapi jangan frontal,” Wina menambahkan. “Kita masuk pelan-pelan. Bikin HR, supervisor, dan IT Internal liat data kita secara legal.”“Gue udah punya pintu masuknya,” kata Rian pelan. “Tinggal lo berdua siap atau nggak.”Mereka saling menatap.Tak perlu sumpah.Tak perlu genggaman tangan penuh drama.Cukup satu anggukan dari masing-masing. Dan satu keputusan tak tertulis:Kalau mereka goyahkan kita, kita genggam yang tersisa.---Senin pagi, ruang co-working lantai
Alma masuk tanpa jaket, hanya dengan map biru yang selalu dibawanya sekarang.Gio berdiri, memberi isyarat duduk. Tapi Alma hanya berdiri di dekat dinding kaca. Tak ingin terlalu dekat. Tak ingin pura-pura akrab.“Lo udah tau kenapa gue minta ketemu,”“Mungkin. Tapi gue pengen denger langsung,” jawab Alma, nadanya tenang.Gio menarik napas. “Gue salah. Gue tahu itu.”Alma menatapnya. Menunggu.“Waktu revisi itu dikasih ke gue, gue sadar narasi lo berubah. Tapi gue pikir itu bagian dari penyuntingan biasa. Gue takut nyetop. Takut nabrak keputusan tim—dan ya... gue diem.”“Dan pas lo lihat hasilnya dipresentasiin atas nama orang lain, lo tetap diem,” ucap Alma pelan. “Karena takut posisi lo tergeser, kan?”Gio menunduk. Tak menyangkal.“Gue gak punya alasan bagus. Tapi gue juga gak punya niat buat ngambil apapun dari lo. Lo tahu itu, kan?”Alma memejamkan mata sejenak. “Gue tahu. Tapi tahu lo gak jahat, nggak cukup untuk menutup fakta bahwa lo tetap... membiarkan semua ini terjadi.”Gio
Ia duduk di sisi berlawanan, map biru dan flashdisk kecil ada di atas meja. Tatapannya tajam, tapi tenang. Menunggu. Bukan dengan gelisah, tapi dengan sabar yang menghitung detik.Dan ketika Reina berpindah ke slide keempat—yang berjudul “Makna Kosong: Representasi Visual dari Duka Tak Bernama”, Alma menekan tombol di laptopnya.Klik.Sebuah proyektor kedua menyala. Semua orang menoleh.Di layar baru, muncul file PDF berjudul:“Versi_Manipulasi_2025 – Perbandingan Revisi Narasi”Semua berhenti.Termasuk Reina.Alma berdiri tidak menatap siapa pun secara langsung. Suaranya tidak keras, tapi cukup untuk membuat seluruh ruangan mendengarkan:“Slide yang barusan dipresentasikan adalah hasil dari revisi yang dilakukan tanpa persetujuan saya sebagai penulis asli narasi tersebut.”Hening.“Versi asli, berjudul Tentang yang Tak Tersisa, ditulis dua tahun lalu. File-nya ada di server internal, bisa dicek tanggal buat dan edit-nya. Beberapa bagian di versi yang sekarang bahkan menyimpan struktu
Folder bernama “RasDraft_2022” terbuka. Di dalamnya ada tiga puluh satu dokumen. Sebagian hanya draf kasar, sebagian lain narasi utuh dengan catatan kaki dan sketsa visual. Dan di antara semua itu, Alma mencari satu file:“Tentang yang Tak Tersisa.docx”Klik. Terbuka. File itu adalah naskah orisinal yang dulu ia tulis saat magang, bagian dari proyek internal yang tak pernah diterbitkan. Tapi dari sinilah lahir konsep utama presentasi yang sekarang diganti nama menjadi proyek Reina.Alma membaca ulang paragraf pembuka:“Kehilangan bukan tentang pergi. Tapi tentang hal-hal yang perlahan menghilang tanpa pernah kita sadari. Dan ketika sadar, kita pun terlalu biasa tanpanya.”Tangannya sedikit bergetar. Bukan karena takut. Tapi karena marah yang selama ini ia tekan mulai menemukan bentuk: bukti.Ia membuka file salinan dari Rian—versi revisi presentasi. Ia bandingkan kalimat demi kalimat. Copy–paste. Parafrase. Penyesuaian visual. Tapi pola dan struktur naratifnya tetap miliknya.Ia klik
Alma menarik napas panjang. “Gue pengen nanya: salah gue di mana? Tapi kayaknya itu bukan pertanyaan yang bisa dijawab. Karena kadang lo gak salah, lo cuma gak cocok buat struktur yang udah mereka pilih.”“Gue tau jawabannya,” kata Wina.Alma menoleh.“Salah lo cuma satu: lo gak takut. Dan itu bahaya buat orang yang kebiasa ngontrol orang lewat ketakutan.”Mereka diam. Kantin makin sepi. Yang tersisa hanya suara kulkas yang bekerja terlalu keras, dan langkah seorang OB yang menyapu remah-remah dari lantai.Wina lalu menyandarkan punggung. “Lo punya dua pilihan sekarang, Ma. Diam dan ‘ikut’ biar gak makin dikucilkan. Atau lo tetap lantang dan siap dibikin kelihatan rusak. Karena percaya deh, abis ini bakal ada rumor aneh.”“Kayak?”“Lo susah diajak kerja sama. Lo emosional. Lo gak bisa adaptasi. Lo terlalu keras kepala. Gampang.”Alma tertawa. Tawa yang lebih mirip kelelahan. “Bisa ditebak ya.”“Reina gak frontal. Tapi dia punya lidah buat merambat ke telinga siapa pun yang dia butuh.