LOGINKafe itu bernama "Kopi Titik Koma", tempat favorit para kreatif yang butuh kafein dan privasi. Gio memesan dua americano tanpa gula, plus croissant hangat.
"Jadi, lo pindah dari Singapura?" tanya Alma, mencoba memulai percakapan netral. "Bukan pindah. Kabur," jawab Gio sambil menyobek croissant. "Dua tahun di sana bikin gue sadar: kreativitas nggak bisa dikurung dalam meeting room ber-AC." "Dan lo pikir Paper&Pixel lebih 'bebas'?" Alma terkekeh. "Wait till you see our burnout rate." Gio menatapnya. "Lo tuh kayak benteng, tau? Lengkap dengan parit dan panah api." "Benteng bertahan karena desainnya sempurna." "Tapi nggak ada yang bisa masuk. Termasuk ide baru." Alma meminum kopinya, rasa pahitnya sepadan dengan nada bicara Gio. "Gue nggak butuh ide baru. Gue butuh ide yang menang." "Ah, si Copy Queen dan tahtanya," Gio menggeleng. "Ever thought that maybe... you're lonely up there?" Pertanyaan itu menggantung. Alma tiba-tiba teringat malam-malam di mana satu-satunya suara adalah ketikan keyboard dan dinginnya kopi yang terlupakan. "Deadline minggu depan," ujarnya tiba-tiba, mengubah topik. "Konsep harus fix besok." Gio mengangguk. "Kantor jam 8 malem. Gue bawa sketchbook dan semangat." "Gue bawa laptop dan toleransi terakhir." Mereka tertawa—singkat, tapi cukup untuk mencairkan suasana. --- Sementara itu, di lantai 7 Paper&Pixel, Wina dan Anya sedang memandangi layar komputer dengan mata berbinar. "Lihat nih!" bisik Wina, menunjukkan foto Alma dan Gio yang duduk berhadapan di kafe. "Kevin ngirim dari jendela divisi akunting!" Anya langsung membuka grup W******p rahasia mereka— "Kantor Demi Drama". Dengan cepat, dia mengetik: [BREAKING NEWS] GiAl Lunch Date! Lokasi: Kopi Titik Koma Status: Masih musuhan atau sudah bikin chemistry? Balasan berdatangan: "Plot twist: besok mereka meeting pake couple outfit." "Aku taruhan 50rb mereka bakal ribut lagi pas revisi storyboard." "Yang jelas, Bu Henny menang lotre chemistry hari ini." Rian, yang kebetulan lewat, mengintip layar Anya. "Demi apa sih lo pada heboh banget?" "Demi hiburan, Ri," jawab Wina. "Kantor ini kan basically sinetron tanpa iklan." --- Malam itu, Alma pulang lebih lambat dari biasanya. Langit Jakarta sudah gelap, tapi pikirannya masih terang oleh pertanyaan Gio, "Ever thought that maybe you're lonely up there?" Dia membuka pintu apartemennya, melepas sepatu, dan menjatuhkan diri ke sofa. Matanya menatap langit-langit. "Apa iya selama ini gue terlalu fokus pada kesempurnaan sampai lupa pada... sesuatu?" HP-nya bergetar. Pesan dari Gio: "Btw, tadi gue lupa kasih tau. Judul konsep kita: 'Bare You, Flawed & Free'. Kalo lo nggak suka, kita bisa ribut lagi besok. 😉" Alma membaca pesan itu tiga kali. Jarinya mengetik balasan: "Boleh. Tapi typo di 'flawed'. Harusnya pake 'a'. Jadi besok lo bisa sekalian belajar spelling." Dia menyimpan HP-nya, lalu tersenyum sendiri. Entah mengapa, untuk pertama kalinya dalam lama, hari ini terasa... berbeda. Pukul 8:17 malam, ruang kerja Paper&Pixel sudah sepi kecuali dua titik cahaya dari meja kerja Alma dan Gio. Laptop Alma terbuka lebar dengan spreadsheet timeline proyek berwarna-warni, sementara Gio asyik mencoret-coret di buku sketsanya. "Jadi, gue udah breakdown semua deliverables," Alma memecah kesunyian, memutar layarnya ke arah Gio. "Besok pagi kita presentasi moodboard, lalu—" "Tunggu," Gio menyela, mendorong buku sketsanya ke depan Alma. "Gue ubah sedikit approach-nya. Daripada pakai model profesional, kenapa nggak pakai wajah-wajah nyata? Tukang teh tarik langganan lo, satpam kantor, atau bahkan..." — jarinya menunjuk ke arah Alma — "lo sendiri." Alma mengernyit. "Gue? Nggak mungkin. Itu melanggar aturan dasar branding." "Aturan itu dibuat buat dilanggar—dengan strategi," balas Gio, mata berbinar. "Bayangin: Copy Queen yang selalu perfect, ternyata juga punya jerawat saat deadline. Itu namanya relatable." Alma terdiam. Di sudut hatinya, ide itu masuk akal—tapi itu berarti membuka bagian dirinya yang selalu dia sembunyikan. "Gue nggak mau jadi bahan kampanye," akhirnya dia berkata, suara rendah. Gio memandangnya lama. "Atau... lo takut orang tau lo nggak sempurna?" Ruangan menjadi sunyi. Di luar, hujan mulai turun, mengetuk jendela dengan rintik-rintiknya. Tiba-tiba, lampu padam. "Typical," desis Alma dalam gelap. "Tenang, gue punya..." suara Gio disertai bunyi ritsleting tas. "LED portable. Buat emergency kayak gini." Cahaya kecil menyala, menerangi wajah mereka yang tiba-tiba berjarak sangat dekat. Alma bisa melihat bayangan bulu mata Gio jatuh di pipinya, dan— "Baterai low," Gio menghela napas saat lampu mulai redup. "Jadi... gimana? Lo mau ambil risiko, atau kita main aman aja?" Alma menarik napas. Dalam kegelapan yang nyaris sempurna itu, dia mendengar suara hujan, detak jam dinding, dan... suara hatinya sendiri. "Oke," bisiknya. "Tapi gue nggak mau muka gue full frame." "Deal," jawab Gio. "Gue kasih efek silhouette dikit. Biar misterius." Lampu menyala tiba-tiba, menyoroti senyum kecil mereka. Di lantai bawah, Anya yang sedang lembur mendadak melihat notifikasi di grup W******p: [FOTO]— dari Kevin di divisi IT: "GiAl masih meeting jam segini. Sendirian. Gelap-gelapan. 👀" Balasan langsung membanjiri grup: "Plot twist: mereka sebenernya rival di kantor, tapi lovers di GoodNovel." "Besok kita siapin popcorn aja dah." "Bu Henny pasti bangga—chemistry mereka udah bisa nyalain listrik kantor." Pukul 11:23 malam, Alma mengunci pintu kantor. Hujan sudah reda, meninggalkan udara segar. "Jadi, besok jam 8 pagi di ruang meeting?"tanyanya pada Gio yang berdiri di sampingnya. "Atau..." Gio mengambil dua gelas teh tarik dari kantong plastik yang sengaja dia beli lewat gojek. "Kita rayakan konsep yang udah fix dulu? 15 menit aja. Di taman dekat sini." Alma seharusnya menolak. Dia punya rutinitas malam: skincare, baca draft, tidur tepat waktu. Tapi malam ini— "15 menit," katanya, mengambil satu botol. Di bangku taman yang masih basah, mereka bersulang untuk ide gila yang mungkin akan gagal total... atau mengubah segalanya. Gio mengangkat botolnya. "Untuk ketidaksempurnaan." Alma tersenyum. "Dan deadline yang nggak mungkin kita tepati." Mereka tertawa, dan untuk pertama kalinya, Alma merasa... cukup. Bukan sebagai Copy Queen yang sempurna. Tapi sebagai Alma—yang kadang takut, tapi tetap maju.Alma masih bangun pagi seperti biasa. Alarm jam enam berbunyi. Ia meraih ponsel setengah sadar, refleks membuka chat Gio. Tidak ada pesan baru. Ia menutup layar, bangkit, dan tetap mandi. Tetap pakai kemeja kerja. Tetap mengikat rambut dengan rapi. Semuanya berjalan… normal.Normal versi Alma adalah bergerak tanpa berpikir terlalu jauh. Air hangat mengalir di kulitnya, kopi menetes pelan di mesin, sepatu dipakai sambil berdiri. Tidak ada yang berubah—kecuali dadanya yang terasa sedikit lebih kosong dari biasanya, seperti ada ruang kecil yang lupa diisi. Di jalan menuju kantor, ia hampir mengetik, Udah sampe? Tapi jarinya berhenti di atas layar. Kata-kata itu terasa terlalu biasa untuk sesuatu yang tidak biasa. Terlalu ringan untuk situasi yang sejak semalam menggantung tanpa penjelasan. Alma mengunci ponselnya, menaruhnya kembali ke tas, dan menatap jalanan yang bergerak mundur di balik kaca mobil. Lampu merah. Klakson. Orang-orang menyebrang dengan wajah setengah mengantuk. Kota t
Alma menatap layar laptopnya, jari-jari menggantung di atas keyboard, tapi tidak bergerak. Beberapa kali ia mulai mengetik email, lalu menghapusnya. Kata-kata yang ingin ia tulis terasa tidak cukup, tidak pantas, atau terlalu lemah untuk menjangkau Gio. Ia menarik napas panjang. Mata berkeliling ruang kantor yang riuh—keyboard diketik cepat, percakapan bisik-bisik di sisi meja, aroma kopi dari mesin di pojok—namun semuanya terdengar jauh. Kosong. Seperti dunianya sendiri tiba-tiba tertahan di udara, dan tidak ada yang bisa ia pegang. Akhirnya, ia mengetik hanya satu kalimat, seolah itu cukup untuk mengekspresikan seluruh kegelisahan yang menumpuk. To: gio@skala.co.id Subject: Sayang, kamu baik-baik saja? Hatinya berdegup keras ketika menekan tombol send. Ia menunggu, berharap ponselnya akan bergetar, suara notifikasi muncul, apapun—tanda bahwa Gio masih ada di dunia yang sama dengannya. Tapi tidak sampai lima menit, balasan otomatis muncul di layar: Out of Office Terima kasih at
Pagi datang, tapi tanpa Gio. Matahari di Jakarta tidak pernah sehangat pelukan yang Alma harapkan. Cahaya masuk dari jendela, menempel di lantai, tapi tidak mampu menembus rasa hampa di dada. Tidak ada suara pesan masuk, tidak ada dering telepon, tidak ada notifikasi yang membawa sedikit kehangatan. Alma duduk di tepi ranjang, rambut masih berantakan, jaket masih tersampir di kursi, dan koper kecil yang tadi dibawa dari Tegal masih di pojok kamar. Tangannya gemetar saat mengambil ponsel.Ia mencoba menelepon. Sekali. Dua kali.Tidak aktif.Hatinya mulai berdetak lebih cepat. Napasnya sedikit tersengal. Ia mencoba menenangkan diri, menyuruh otak dan hatinya untuk tidak panik. Ia mengetik pesan, perlahan. Setiap huruf terasa seperti menaruh kepingan hatinya di atas layar.Alma: Sayang, kamu di mana?Satu centang.Lalu dua.Dibaca.Tapi… tidak ada jawaban.Alma menatap layar ponsel beberapa saat, mencoba mencari alasan. Mungkin… benar-benar sibuk? Mungkin ada urusan yang mendesak?Ia men
Kereta terus melaju, membawa mereka semakin jauh dari Tegal dan semakin dekat pada kota yang tak pernah benar-benar tidur. Stasiun-stasiun kecil berganti nama, berganti wajah, lalu menghilang begitu saja. Waktu seperti dipotong-potong, tapi pikiran Alma tetap utuh di satu titik yang sama. Ia membuka ponsel. Pesan dari Ibunya masuk beberapa menit lalu.Sudah berangkat, Nak?Alma membalas singkat.Sudah, Bu. Di kereta. Nanti sampai aku kabari.Ia menatap layar sebentar lebih lama dari yang diperlukan, lalu mematikannya. Rasanya seperti menutup pintu kecil yang aman, lalu memilih berdiri di lorong yang belum sepenuhnya terang. Gio masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini lebih lama. Jempolnya bergerak cepat, lalu berhenti. Mengetik, menghapus. Menghela napas pelan. Alma tidak bertanya. Ia hanya mengamati dari sudut matanya. Dulu, ia selalu percaya diam adalah bentuk pengertian. Tapi kini, diam terasa seperti ruang kosong yang makin melebar. "Kamu laper?” tanya Gio tiba-tiba, tanpa menoleh
Ruangan langsung hening. Bapak Alma mengangkat alis, jelas terkejut. “Kau… anak mereka?” Gio mengangguk. “Aku nggak pernah mau nyambungin hidup ku dengan masa lalu keluarga ku. Tapi ternyata… mereka punya dendam ke keluarga Alma karena peristiwa Aurora dulu. Dan sekarang, mereka nggak setuju aku melamar Alma.” Alma terduduk, suaranya hampir hilang. “Jadi… keluarga kamu nggak mau aku… cuma karena aku.... pihak yang ngerusak Aurora?” Gio memegang tangannya. “Sayang… akunggak peduli masa lalu itu. Aku nggak pernah lihat lo sebagai bagian dari masalah itu. Buat ku… kamu itu rumah.” Air mata Alma perlahan mengalir. “Tapi kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa aku baru tau sekarang?” “Karena aku takut kamu bakal mikir cintanya bakal jadi ribet. Aku takut kamu ninggalin aku duluan.” Suaranya pecah. Bapak Alma akhirnya bicara, suaranya tegas namun terkendali. “Gio, pernikahan itu bukan cuma tentang hati. Ini soal dua keluarga. Kalau keluargamu sudah menolak sejak awal… bagai
Lampu ruang tamu hangat, menyinari wajah-wajah lelah tapi lega. Aroma teh hangat dan kue tradisional masih tersisa di udara. Alma duduk di samping Gio, tangannya tetap menggenggam tangan Gio. Ibunya tersenyum lembut, menyiapkan cangkir teh. “Gio, anak Ibu… duduklah. Minum dulu, biar hangat badanmu.”Gio tersenyum sopan, menerima cangkir itu. “Terima kasih, Bu. Maaf ganggu ketenangan malam Ibu dan Bapak.”Ibunya hanya tersenyum, lalu menatap Alma sebentar. “Alma, anak Ibu… kamu pasti lega sekarang, kan? Semua sudah jelas.”Alma mengangguk, mata masih basah. “Ya, Bu… akhirnya semua jelas. Gue takut aja tadi… takut dia gak datang.”Ibunya menepuk lembut pundak Alma. “Kalau sudah niat baik, insya Allah jalan akan di buka. Sekarang… nikmati malam ini. Semua masih awal, tapi hati tenang itu penting.”Bapak Alma berdiri, menatap Gio dengan tatapan tajam tapi tak sekeras tadi. “Gio… kamu datang terlambat, tapi yang penting kamu datang. Aku ingin kamu tau, pernikahan itu bukan hanya soal cinta







