Home / Romansa / Dead&Queen / Bab 3 : Skandal kantor

Share

Bab 3 : Skandal kantor

Author: Ucyl_16
last update Huling Na-update: 2025-06-27 15:16:32

"Nggak nyangka gue bisa bertahan meeting 12 jam sama si manusia energizer itu," gumamnya sambil membuka kunci.

Di dalam, lampu menyala. Rian—sahabat sekaligus tetangga apartemennya—sudah duduk di sofa sambil memegang mangkuk mie instan.

"Gue kira lo udah jadi korban pertama pembunuhan art director baru." sambutnya, mata menyipit melihat keadaan Alma.

Alma melemparkan tasnya ke karpet. "Masih belum. Tapi besok mungkin."

Rian mengangkat alis saat melihat senyum kecil di wajah Alma. "Wait. Lo... nggak benci dia?"

"Gue benci caranya nyerobot ide orang. Tapi..." Alma menghela napas. "Konsepnya bagus. Lebih bagus dari yang gue susun seminggu."

"Damn, jadi julukan 'DeadQueen' di grup WA beneran terjadi? Deadline bikin lo lunak?"

Alma melemparkan bantal ke arahnya. "Diem lo. Besok kita presentasi ke Bu Henny."

Saat masuk kamar, HP-nya bergetar. Notifikasi dari Gio:

"Btw, gue baru inget. Lo punya alergi kacang kan? Jangan sentuh snack bowl di ruang meeting besok—gue liat ada kacangnya. Ntar lo bersin terus nggak bisa tunjukin ekspresi 'berani' buat kampanyenya sendiri. 😏"

Alma tertegun. "Bagaimana dia bisa tahu?" Bahkan Rian butuh tiga bulan untuk mengingat alerginya.

Jarinya mengetik balasan:

"Lo stalker? Tapi thanks."

Tiga titik muncul—lalu hilang—beberapa kali sebelum balasan datang:

"Observasi, Queen. Kunci kerja kreatif."

Lima belas menit kemudian, HP-nya berbunyi lagi. Foto dari Gio—sebuah sketsa cepat di buku gambarnya: Alma dengan rambut sedikit acak, memegang botol bir, dan tersenyum. Captionnya:

"Versi favorit gue dari Copy Queen. Jangan di-burn ya. 😉"

Alma menyimpan fotonya—tanpa membalas.

Tapi di suatu tempat di Jakarta, seorang tersenyum melihat notifikasi "Foto telah disimpan" muncul di layarnya.

Karena terkadang, karya terbaik lahir bukan dari kesempurnaan— Tapi dari keberanian mengacak semua rencana.

Alma menggeser bantalnya untuk kesekian kalinya, mencoba menemukan posisi yang nyaman. Matanya tak lepas dari layar ponsel yang memamerkan sketsa dirinya hasil coretan Gio. Dalam cahaya redup lampu tidur, garis-garis pensil itu terlihat hidup, menangkap ekspresinya yang jarang terlihat orang lain.

Jarinya membuka aplikasi pesan, mengetik dengan hati-hati:

"Gue punya 3 keberatan soal sketsa ini..."

Dia berhenti, menghapus, menulis ulang. Proses ini berulang tiga kali sebelum akhirnya mengirim. Tak sampai sepuluh detik, balasan sudah datang. Dinding apartemennya yang tipis meneruskan suara Rian: "Al, lo mau begadang silakan, tapi tolong vibrate hapenya dimatiin. Gue bisa dengar bunyi 'tik' itu dari tadi!"

---

Pagi itu, lobi Paper&Pixel terasa berbeda. Udara bergetar dengan antisipasi saat Wina berdiri di dekat lift, dua puluh menit lebih awal dari biasanya. Cici tiba-tiba muncul di samping mereka, napasnya pendek. "Katanya Kevin liat mereka pulang bareng kemarin," bisiknya, matanya berbinar seperti anak kecil yang tahu rahasia terlarang. "Dan—dan mereka berhenti di minimarket dekat kantor. Beli es krim. Satu cup. Dua sendok." Wina hampir menjatuhkan cangkirnya.

*Ding.*

Pintu lift terbuka.

Alma melangkah keluar dengan blazer beigenya yang—seperti biasa—sempurna tanpa cacat. Tapi ada sesuatu yang berbeda: rambutnya yang biasanya tertata rapi kini sedikit berantakan di bagian belakang, seolah-olah... terlalu sering bersandar pada sesuatu—atau seseorang—semalam.

Dan di belakangnya, Gio muncul dengan kemeja yang masih sama dari kemarin. Kemeja itu kini lebih kusut, dengan lipatan aneh di sekitar pinggang—seperti pernah direnggut erat oleh tangan seseorang.

"Demi semua yang suci..." Wina berbisik, suaranya serak. "Mereka pakai warna matching."

Cici menahan napas,. "Dan itu blazer favorit Alma. Dia nggak pernah pinjemin ke siapa pun."

Di kejauhan, Kevin berjalan mendekat dengan senyum paling menyebalkan seantero Paper&Pixel. "Oh, kalian belum dengar bagian terbaiknya. Tadi pagi, aku liat Gio masuk parkiran bareng Alma."

Cici menahan jeritan.

Flashback

Di minimarket, saat Gio mengulurkan tangan untuk membayar es krim. "Aku yang bayar." ucap Alma, Gio menyambar terlebih dulu. "Nggak perlu." sambil menyodorkan uang ke arah kasir. Jari mereka bersentuhan—terlalu lama untuk sekadar transaksi biasa. Setelahnya, mereka pulang ke arah mobil masing-masing dengan Gio menggunakan blazer Alma untuk menutupi badannya karena tumpahan teh tarik milik Alma.

Back to normal

Sunyi yang tebal menyelimuti ruangan ketika Bu Henny mengamati presentasi mereka. Hanya suara jari Bu Henny yang terdengar, dan mata yang tajam menyapu setiap detail storyboard. Berhenti di slide kelima dimana foto silhouette Alma terpampang besar.

"Ini..." Suaranya pecah setelah tujuh detik hening yang menegangkan. "Berbeda." Bibirnya yang tipis meregang perlahan, membentuk senyum yang selama ini hanya muncul saat melihat konsep-konsep brilian.

*Klak.* Bunyi pensil terjatuh dari tangan Wina memecah konsentrasi ruangan. Gadis magang itu membeku, pipinya memerah ketika semua mata beralih ke arahnya. Tapi tak satu pun pandangan yang bisa menandingi intensitas tatapan yang kini tertuju ke arah slide presentasi - dimana foto profil Alma dalam silhouette hitam putih terpampang, dengan tagline tebal di bawahnya: "PERFECTLY IMPERFECT - Because Real Beauty Has No Filter"

Gio menggeser kursinya mundur, membuat kaki kursi berderit pelan. "Kami ingin..." Suaranya sengaja dibuat rendah, justru membuat setiap kata terdengar lebih menggema. "...kampanye ini bernapas. Berdetak." Tangannya terbuka ke arah gambar Alma. "Dan siapa yang lebih paham makna 'berani tampil apa adanya' daripada seseorang yang selalu bersembunyi di balik kesempurnaan?"

Alma merasakan telapak tangannya berkeringat. Lima tahun karirnya di Paper&Pixel, baru kali ini ia merasa begitu terbuka. Blazer beigenya tiba-tiba terasa terlalu ketat, kerah kemejanya menggaruk leher. Di sudut matanya, ia melihat Wina membekukan suapan sandwich di tengah jalan, mulut sedikit terbuka.

Di sudut kantor yang sepi, bau kopi dan popcorn microwave bercampur saat Alma menyendok nasi goreng dari kotak makanan daur ulang. Rian duduk di hadapannya, mengamati ekspresinya yang tak biasa.

"Lo..." Suaranya pecah, lebih lembut dari biasanya. "...nggak heran gue setuju jadi model kampanye ini?"

Rian menyelesaikan kunyahannya dengan saksama. Sendok plastiknya berhenti bergerak, menancap di antara nasi goreng. "Heran?" Dia mengambil teguk teh manisnya - dua kantong teh, tiga sendok gula, persis seperti kebiasaannya. "Tapi..." Sebuah jeda sengaja dibuat sembari matanya mengamati lingkaran hitam tipis di bawah mata Alma. "Mungkin lo akhirnya nemu seseorang yang bisa lihat celah di benteng lo. Bukan cuma yang berhenti ngeliat tembok luarnya doang."

"Tapi ini bukan karena rumor tentang lo sama Gio?" tanya Rian tiba-tiba, menyendok nasi gorengnya.

Alma menahan suapannya, "Rumor apa?"

"Katanya, lo akhirnya nemu orang yang bisa tembus pertahanan. Bukan cuma berhenti di depan."goda Rian

"Hah!?" pekik Alma.

Di seberang ruangan, Wina dan Cici berpura-pura tidak mendengar sambil jari-jari mereka menari cepat di grup chat: [Grup Chat P&P FBI MELEDAK.]

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dead&Queen   Bab 8 : Sketsa Gio

    Lembur di Paper&Pixel selalu memiliki ritme khusus. Jam menunjukkan pukul 23.57, tiga menit menuju tengah malam. Tapi bagi Alma, waktu hanyalah angka yang terus bergerak tanpa arti khusus. Proyek terakhir mereka sudah diselesaikan seminggu lalu, namun kantor tetap menjadi tempat persinggahan favoritnya - mungkin karena di sini dia merasa paling hidup.Dia berjalan pelan menyusuri koridor yang sepi, kedua tangannya memegang dua kaleng teh tarik dingin. Ritual ini tanpa sadar terbentuk sejak proyek "Bare You" selesai - satu kaleng untuknya, satu untuk Gio. Dinginnya kaleng membuat telapak tangannya berkeringat, tapi tidak cukup untuk meredakan rasa penasaran yang menggelitiknya sejak melihat notifikasi grup bahwa Gio masih berada di kantor."Apa yang lagi dia kerjain sampai larut?"Pintu ruang kerja Gio terbuka setengah. Dari celah itu, Alma bisa melihat posturnya yang membungkuk di atas meja, wajahnya diterangi cahaya lampu meja yang memancarkan warna kuning keemasan. Pensil di tangann

  • Dead&Queen   Bab 7 : Kilas masa lalu & Observasi terakhir

    Dua tahun yang lalu - Singapura, 3:42 PMGio memilih tangga darurat. Setiap lompatan tiga anak tangga membuat otot betisnya terbakar, tetapi teriakan minta tolong yang samar-samar terdengar di atasnya memacu langkahnya. Ketika mencapai lantai 12, asap sudah begitu pekat hingga ia harus merangkak. Kaca jendela di koridor pecah oleh panas, serpihannya berhamburan seperti hujan beling. "Tolong... ada yang..." Suara lemah itu berasal dari ruang arsip. Gio mendobrak pintu yang sudah setengah hangus. Di balik tumpukan rak yang roboh, Lina—asisten proyek mereka—terjebak dengan kaki tertimpa besi penyangga. Darah mengalir dari luka di dahinya. "Gio... dokumennya..." Lina menggapai-gapai ke arah tas laptop yang terjepit di bawah reruntuhan. "Lupakan itu! Ayo keluar!" Gio menarik besi penyangga dengan sekuat tenaga. Otot lengannya bergetar, urat lehernya menegang. Dengan satu hentakan terakhir, besi itu bergeser cukup untuk membebaskan kaki Lina. Dia mengangkat tubuh Lina yang lemas

  • Dead&Queen   Bab 6 : Di balik hujan

    Hujan mengguyur deras membasahi aspal parkiran Paper&Pixel, menciptakan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan. Alma berdiri di bawah atap pendopo kecil, menatap jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.37. Taksi online-nya masih 15 menit lagi, jika dia beruntung. Tanpa kendaran pribadi, dia hanya bisa menunggu penuh harap ada taksi yang siap mengangkutnya. "Nyari taksi jam segini emang susah, lo mau nunggu sampe keriput. Belum tentu ada," Gio muncul tiba-tiba di sampingnya, tangan menggenggam kunci mobil BMW seri 3 hitam. Rambut dia yang biasanya rapi kini basah kuyup, menempel di dahi. "Mau numpang nggak? Mumpung gue lagi baik dan berhubung kita searah." Alma mengerutkan kening. "Bentar, lo tau rumah gue?" "Bintaro, kan? Gue tinggal dekat Situ Pondok Aren."Alma hanya menatap horor Gio yang mengetahui banyak tentang dirinya, "Nggak perlu sok kuat. Hujan begini lo bisa sakit, Queen." goda Gio tak lupa senyuman jenakanya. Petir menggelegar di kejauhan

  • Dead&Queen   Bab 5 : Presentasi yang meledak

    Setelah kejadian Anya kemarin yang bisa Alma dan Gio atasi, gosip tentang mereka yang saling melindungi juga menjaga makin menyebar. Sesekali, banyak yang mendoakan mereka untuk segera jadian. Alma menatap layar laptopnya dengan mata berkaca-kaca. Presentasi untuk klien utama mereka, Surya Kencana Cosmetics, harusnya sudah final semalam. Tapi sekarang, di depan matanya, tagline andalannya yang berbunyi "Bare You: Real is Beautiful" telah berubah menjadi "Flawed is the New Perfect"—disertai foto close-up seorang model dengan bekas jerawat yang sengaja tidak di-retouch. "GIO ARDIAN!" teriaknya, suaranya menggelegar di seantero lantai 12. Beberapa rekan kerja langsung menoleh, termasuk Wina yang sedang mengantarkan dokumen. "Wah, perang dunia ketiga lagi nih," bisiknya pada Rian yang sedang asyik menggambar doodle di notepad. Gio mengangkat kepala dari sketsanya, kacamata aviator-nya melorot di hidung. "Hm?" ujarnya santai, seolah tidak menyadari amarah yang sedang meledak di d

  • Dead&Queen   Bab 4 : Tipe Gio

    Kantor kreatif Paper&Pixel di lantai 12 Gedung Sudirman Tower tampak lengang di sore hari. Hanya tersisa beberapa karyawan yang masih bertahan menghadapi deadline, termasuk Alma Raisa. Gadis berambut bob pendek itu duduk di meja kerjanya yang dipenuhi sticky notes warna-warni, sambil sesekali menyeruput teh tarik dingin yang mulai berkeringat di gelas kertas. Kucingnya, Wifi, mengintip dari foto screensaver laptop MacBook Pro-nya yang menampilkan dokumen presentasi setengah jadi. "Alma, lo masih hidup?" Rian, teman sekubikelnya, menyodorkan sebungkus martabak mini. "Makan dulu, ntar lo pingsan lagi kayak minggu lalu." Alma menggeleng, jarinya terus menari di atas keyboard. "Gue harus selesaiin presentasi buat Larasati Wijaya besok. Ini klien gede, Rian." Suara notifikasi email mengganggu konsentrasinya. Subject: Revisi Anggaran Project "Surya Kencana" – URGENT! From: Anya Listiana (Finance Dept) To: Tim Kreatif (CC: All Department) "Gio, maaf yaa~ budget cetak moodboar

  • Dead&Queen   Bab 3 : Skandal kantor

    "Nggak nyangka gue bisa bertahan meeting 12 jam sama si manusia energizer itu," gumamnya sambil membuka kunci. Di dalam, lampu menyala. Rian—sahabat sekaligus tetangga apartemennya—sudah duduk di sofa sambil memegang mangkuk mie instan. "Gue kira lo udah jadi korban pertama pembunuhan art director baru." sambutnya, mata menyipit melihat keadaan Alma. Alma melemparkan tasnya ke karpet. "Masih belum. Tapi besok mungkin." Rian mengangkat alis saat melihat senyum kecil di wajah Alma. "Wait. Lo... nggak benci dia?" "Gue benci caranya nyerobot ide orang. Tapi..." Alma menghela napas. "Konsepnya bagus. Lebih bagus dari yang gue susun seminggu." "Damn, jadi julukan 'DeadQueen' di grup WA beneran terjadi? Deadline bikin lo lunak?" Alma melemparkan bantal ke arahnya. "Diem lo. Besok kita presentasi ke Bu Henny."Saat masuk kamar, HP-nya bergetar. Notifikasi dari Gio: "Btw, gue baru inget. Lo punya alergi kacang kan? Jangan sentuh snack bowl di ruang meeting besok—gue liat ada ka

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status