Home / Romansa / Dead&Queen / Bab 1 : Pertemuan Deadline king x Copy Queen

Share

Dead&Queen
Dead&Queen
Author: Ucyl_16

Bab 1 : Pertemuan Deadline king x Copy Queen

Author: Ucyl_16
last update Last Updated: 2025-06-27 11:48:52

Gadis itu bangun lima belas menit sebelum alarmnya berbunyi. Bukan karena gelisah, tapi karena terbiasa. Hidupnya diatur dalam blok waktu yang rapi, seperti spreadsheet yang tak pernah dibiarkan kosong. Namanya Alma Raisa, dua puluh tujuh tahun, copywriter andalan di agensi iklan Paper&Pixel. Perfeksionis. Tidak suka kejutan-apalagi yang datang dari orang asing.

Pukul tujuh lewat lima, dia sudah berdiri di depan cermin. Rambut dicepol rapi, alis disikat halus, blazer warna beige disetrika licin dari semalam. Di meja kecil dekat jendela, gelas teh hijau mengepul pelan-tak tersentuh. Pagi-paginya bukan tentang slow living, yoga, atau journaling. Tapi mengecek kalender G****e, me-review draft presentasi, dan menyusun ulang urutan narasi storyboard.

Alma membuka laptop, menggigit roti gandum seadanya, lalu mengecek ulang catatan di ponsel. Brief klien? Beres, Storyboard? Revisi fix, Meeting jam 9? HARUS MENANG. Dia bekerja di divisi kreatif Paper&Pixel agensi iklan yang kece dari luar, tapi keras dari dalam. Satu kali gagal, bisa ganti tim. Dua kali? Ganti kantor. Alma bukan tipe yang bisa tenang menghadapi kekacauan. Dia lebih suka pegang kendali dan hari ini, dia siap untuk itu.

Pukul sembilan tepat, Alma sudah berdiri di depan whiteboard digital saat sebagian besar tim baru menyelesaikan suapan roti atau kopi sisa sarapan. Tangan kanannya memegang remote pointer seperti sedang memegang komando tempur.

"Kita nggak jual hasil instan. Kita tawarkan keberanian," suaranya tenang tapi lantang. "Ini bukan tentang kulit putih glowing. Tapi tentang berani tampil bare face, real. Kampanye ini ngajak orang berdamai sama kaca."

Sebagian tim masih menyesap kopi. Anya mencatat seadanya, Wina sibuk membuka laptop yang belum di-restart seminggu, sementara Bu Henny-manajer kreatif-duduk di ujung ruangan, diam, mengamati, menilai. Lalu...

"Sorry, ini meeting 'Bare You'?"

Seorang pria muncul di ambang pintu tanpa ketuk. Kemeja putih digulung asal, sneakers abu-abu, rambut setengah acak. Tangannya langsung menggapai spidol, seolah sudah tahu tempatnya di ruangan ini.

"Lo siapa?" tanya Alma, tajam.

"Gio. Art director baru. ID card aja belum jadi," jawabnya santai.

Tanpa izin, Gio menghapus satu adegan di storyboard Alma dan menggambar ulang. "Ini bagus. Tapi harusnya ekspresinya bukan datar. Kasih momen emosional-air mata yang belum kering, tapi dia tetap senyum. Relate-nya lebih dapet."

Alma mengangkat alis. "Lo pikir segampang itu nyentuh kerjaan orang?"

"Gue bukan nyentuh. Gue bantu."

"Tanpa diminta."

"Kadang insight terbaik datang dari yang nggak diminta."

Dialog mereka seperti rally bulu tangkis: cepat, tajam, dan bikin orang di sekitar diam menonton. Bu Henny tersenyum kecil. "Aku suka energi pagi ini."

Alma protes, "Bu, dia baru dateng, langsung ubah presentasi saya."

"Justru karena itu. Kadang, ide segar datang dari tabrakan."

Gio menyeringai. "Copy Queen?"

Julukan itu menggantung di udara-nada menggoda, menantang. Alma menyipit. "Hati-hati, gelar itu bisa berubah jadi 'Copy Bakar'."

"Tenang, gue cuma bawa korek. Nggak bawa bensin."

Tawa kecil pecah, lalu cepat dibungkam. Bu Henny memutuskan. "Deadline minggu depan. Alma dan Gio akan handle proyek ini bareng."

Alma menoleh cepat. "Bu, saya biasanya kerja sama Dira atau Yuda."

"Yuda cuti. Dira ditarik ke klien fashion. Jadi... silakan beradaptasi."

Sebelum keluar, Gio berbisik ke Alma, "Tenang aja, Queen. Gue bukan tipe yang ngerebut tahta. Cuma suka bikin papan caturnya lebih seru."

Alma tidak menjawab. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena suka. Tapi karena waspada. Atau mungkin... keduanya.

---

Pantry kantor jam sebelas siang adalah tempat paling bising yang terasa sepi. Alma duduk di pojok, sendirian, mengaduk-aduk tahu isi yang tak disentuh. Rian-sahabatnya-datang membawa nasi goreng.

"Lo ngebunuh tahu isi itu atau cuma terapi visual?" godanya.

Alma mendesah. "Pagi-pagi gue udah digas sama cowok baru yang sok koreksi presentasi gue. Sekarang lo nambahin bahan roasting?"

Rian tertawa. "Gio? Si artis pensiun dari Singapura itu? Berani banget ya nimpalin ide lo."

"Gue tahan karena masih jam kerja."

"Lo pernah ngerasa nggak sih... kayak ada orang asing yang tiba-tiba bisa nebak pola pikir lo?" tanya Alma.

Rian diam sejenak. "Biasanya lo butuh tiga tahun buat percaya ke orang."

"Nah itu yang bikin gue kesel. Kok bisa dia tahu celahnya dari awal?"

Rian tersenyum. "Kadang, yang bikin kita terganggu... justru yang bikin kita sadar kita hidup. Bukan cuma jalanin rutinitas."

Di lorong, Cici dan Wina berbisik sambil melihat foto blur Gio di grup W******p kantor. Caption-nya: "Copy Queen vs Cowok Singapura: ROUND ONE."

"Drama pertama hari ini resmi dibuka," bisik Cici.

"Aku dengar Bu Henny sengaja pasangin mereka," tambah Wina.

"Bukan buat cinta-cintaan, Win. Proyek. Tapi... you know Bu Henny."

Wina membuka Notes di HP-nya. "Fix. Fanart perdana mereka harus dirilis hari ini. Namanya 'GiAl'-Gio dan Alma. Atau 'DeadQueen'-Deadline x Copy Queen."

Rian yang kebetulan lewat menggeleng. "Astaga... kantor ini udah kayak fandom aktif."

Di sudut pantry, Alma masih termenung. Rian mendekat. "Welcome to Paper&Pixel, di mana naskah bisa mati, tapi gosip hidup selamanya."

Alma memijat pelipis. "Baru juga ngasih satu presentasi, udah kayak seleb skandal."

Dia menarik napas. Hari baru awal. Dan Gio-dengan segala kejutan dan sikapnya yang nyebelin-telah mengacaukan rutinitas sempurnanya. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang membuatnya penasaran... sesuatu yang mungkin, justru dia butuhkan.

---

Alma menghela napas panjang saat tangannya menekan tombol lift. Layar digital di atas pintu menunjukkan angka yang turun perlahan— 7... 6... 5 —seolah mencerminkan pikirannya yang berputar-putar. "Apa benar Bu Henny sengaja memasangku dengan si Gio ini?" gumamnya dalam hati.

Lift terbuka. Di dalamnya sudah berdiri seorang pria dengan kemeja putih yang sedikit kusut—Gio. Mata mereka bertemu.

"Kebetulan," ujar Gio sambil menyeringai, jarinya menekan tombol lobby.

"Atau kesialan," balas Alma, masuk dan berdiri di sudut paling jauh.

Udara di dalam lift terasa tegang. Gio memecah keheningan. "Lo masih kesel soal tadi pagi?"

"Gue profesional. Nggak ada kesel yang bertahan lebih dari satu meeting."

"Tapi lo masih aja ngasih jarak tiga meter kayak lagi jaga social distancing."

Alma memicingkan mata. "Lo tuh jenis orang yang selalu dapat respon, ya? Mau itu senyum, kesel, atau—"

"Atensi?" Gio menyela. "Iya. Karena hidup terlalu pendek buat nunggu orang lain nyamperin."

Lift terbuka. Gio melangkah keluar lebih dulu, tapi berhenti saat Alma tidak mengikutinya. "Kopi?" tawarnya tiba-tiba, menunjuk ke arah kafe di seberang jalan. "Gue traktir. Buat gantiin spidol yang gue hapus tadi."

Alma hampir menolak, tapi sesuatu—mungkin rasa penasaran, atau kelelahan—membuatnya mengangguk singkat

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dead&Queen   Bab 141 : Kabar Gio

    Pagi datang, tapi tanpa Gio. Matahari di Jakarta tidak pernah sehangat pelukan yang Alma harapkan. Cahaya masuk dari jendela, menempel di lantai, tapi tidak mampu menembus rasa hampa di dada. Tidak ada suara pesan masuk, tidak ada dering telepon, tidak ada notifikasi yang membawa sedikit kehangatan. Alma duduk di tepi ranjang, rambut masih berantakan, jaket masih tersampir di kursi, dan koper kecil yang tadi dibawa dari Tegal masih di pojok kamar. Tangannya gemetar saat mengambil ponsel.Ia mencoba menelepon. Sekali. Dua kali.Tidak aktif.Hatinya mulai berdetak lebih cepat. Napasnya sedikit tersengal. Ia mencoba menenangkan diri, menyuruh otak dan hatinya untuk tidak panik. Ia mengetik pesan, perlahan. Setiap huruf terasa seperti menaruh kepingan hatinya di atas layar.Alma: Sayang, kamu di mana?Satu centang.Lalu dua.Dibaca.Tapi… tidak ada jawaban.Alma menatap layar ponsel beberapa saat, mencoba mencari alasan. Mungkin… benar-benar sibuk? Mungkin ada urusan yang mendesak?Ia men

  • Dead&Queen   Bab 140 : Perubahan

    Kereta terus melaju, membawa mereka semakin jauh dari Tegal dan semakin dekat pada kota yang tak pernah benar-benar tidur. Stasiun-stasiun kecil berganti nama, berganti wajah, lalu menghilang begitu saja. Waktu seperti dipotong-potong, tapi pikiran Alma tetap utuh di satu titik yang sama. Ia membuka ponsel. Pesan dari Ibunya masuk beberapa menit lalu.Sudah berangkat, Nak?Alma membalas singkat.Sudah, Bu. Di kereta. Nanti sampai aku kabari.Ia menatap layar sebentar lebih lama dari yang diperlukan, lalu mematikannya. Rasanya seperti menutup pintu kecil yang aman, lalu memilih berdiri di lorong yang belum sepenuhnya terang. Gio masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini lebih lama. Jempolnya bergerak cepat, lalu berhenti. Mengetik, menghapus. Menghela napas pelan. Alma tidak bertanya. Ia hanya mengamati dari sudut matanya. Dulu, ia selalu percaya diam adalah bentuk pengertian. Tapi kini, diam terasa seperti ruang kosong yang makin melebar. "Kamu laper?” tanya Gio tiba-tiba, tanpa menoleh

  • Dead&Queen   Bab 139 : Overthinking Alma

    Ruangan langsung hening. Bapak Alma mengangkat alis, jelas terkejut. “Kau… anak mereka?” Gio mengangguk. “Aku nggak pernah mau nyambungin hidup ku dengan masa lalu keluarga ku. Tapi ternyata… mereka punya dendam ke keluarga Alma karena peristiwa Aurora dulu. Dan sekarang, mereka nggak setuju aku melamar Alma.” Alma terduduk, suaranya hampir hilang. “Jadi… keluarga kamu nggak mau aku… cuma karena aku.... pihak yang ngerusak Aurora?” Gio memegang tangannya. “Sayang… akunggak peduli masa lalu itu. Aku nggak pernah lihat lo sebagai bagian dari masalah itu. Buat ku… kamu itu rumah.” Air mata Alma perlahan mengalir. “Tapi kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa aku baru tau sekarang?” “Karena aku takut kamu bakal mikir cintanya bakal jadi ribet. Aku takut kamu ninggalin aku duluan.” Suaranya pecah. Bapak Alma akhirnya bicara, suaranya tegas namun terkendali. “Gio, pernikahan itu bukan cuma tentang hati. Ini soal dua keluarga. Kalau keluargamu sudah menolak sejak awal… bagai

  • Dead&Queen   Bab 138 : Kenyataan

    Lampu ruang tamu hangat, menyinari wajah-wajah lelah tapi lega. Aroma teh hangat dan kue tradisional masih tersisa di udara. Alma duduk di samping Gio, tangannya tetap menggenggam tangan Gio. Ibunya tersenyum lembut, menyiapkan cangkir teh. “Gio, anak Ibu… duduklah. Minum dulu, biar hangat badanmu.”Gio tersenyum sopan, menerima cangkir itu. “Terima kasih, Bu. Maaf ganggu ketenangan malam Ibu dan Bapak.”Ibunya hanya tersenyum, lalu menatap Alma sebentar. “Alma, anak Ibu… kamu pasti lega sekarang, kan? Semua sudah jelas.”Alma mengangguk, mata masih basah. “Ya, Bu… akhirnya semua jelas. Gue takut aja tadi… takut dia gak datang.”Ibunya menepuk lembut pundak Alma. “Kalau sudah niat baik, insya Allah jalan akan di buka. Sekarang… nikmati malam ini. Semua masih awal, tapi hati tenang itu penting.”Bapak Alma berdiri, menatap Gio dengan tatapan tajam tapi tak sekeras tadi. “Gio… kamu datang terlambat, tapi yang penting kamu datang. Aku ingin kamu tau, pernikahan itu bukan hanya soal cinta

  • Dead&Queen   Bab 137 : Aku Datang

    Siang mulai memanas, Alma duduk gelisah di ruang tamu. Setiap suara motor terdengar, ia berdiri, lalu duduk lagi. Ibunya duduk di samping, mengelus punggung Alma. “Ma, kamu makan dulu. Jangan cuma nunggu.” “Tunggu aja… Bu. Perutku kayak diikat tali.” Hening sejenak. Lalu ibunya berkata pelan, “Kalau dia datang… itu bukti dia sungguh-sungguh. Kalau tidak… mungkin Allah sedang lindungi kamu dari sesuatu yang kamu belum lihat.” Alma menunduk dan menangis lagi—kali ini tanpa suara. Satu pesan masuk. Dari unknown number. Dengan foto profil kosong. Tangan Alma gemetar saat membuka. Gio (Nomor Baru): Aku ganti kartu di terminal. HP masih rusak. Sayang, aku sudah turun dari bus. Aku lagi lari ke arah rumah kamu. Tolong… tunggu aku. Alma terisak keras, membuat ibunya terkejut. “Ada apa, Ma?” Alma menunjukkan layar sambil menutup mulut, tubuhnya lemas. "Dia lari ke sini, Bu… dia lari." Ibunya langsung memeluk Alma sekuat tenaga. Gio muncul dari ujung gang, baju kotor bercampur debu

  • Dead&Queen   Bab 136 : Titik terang

    Keesokkan pagi, ayam berkokok. Matahari baru naik setengah, tapi rumah itu sudah seperti menahan napas. Ibunya sudah di dapur membuat teh hangat. Bapaknya duduk di teras dengan tangan bersedekap, wajah serius. Surat kabar terlipat rapi di meja, tapi jelas ia tidak benar-benar membaca. Alma keluar dengan rambut diikat seadanya, mata sembap. Ia berusaha tersenyum ke ibunya, tapi gagal. “Pagi, Ma,” ucap ibunya lembut. “Kamu tidur?” Sedikit jeda. “Ngga, Bu… cuma merem.” Ibunya meraih tangan Alma, menepuknya pelan. “Kamu kuat, Ma. Ibu ada di sini.” Alma menunduk, menahan air mata yang nyaris jatuh lagi. Bapak Alma menutup surat kabar. “Kemari sebentar.” Alma duduk pelan, jantungnya seperti diperas. “Bapak tanya baik-baik,” suara Bapaknya rendah tapi sangat tegas, “sampai jam berapa kamu akan menunggu laki-laki itu?” “Bapak…” suara Alma pecah. “Jawab.” Alma menatap jalanan depan rumah, kosong. “Gio bilang… dia bakal nyusul. Mungkin dia ada masalah… mungkin—” Bapaknya memotong taja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status