"Tek tok" terdengar suara pesan masuk di gawai Qifah Akira. Gadis cantik asal Sulawesi Selatan tak terlalu memperhatikannya, karena masih berusaha menahan kantuknya di sepertiga malam. Ia paksa kaki beranjak menuju kamar mandi. Usai menuntaskan hajat, gadis berkulit putih itu mengambil wudhu untuk menunaikan salat tahajjud.
Kondisi kos putri yang terlihat sepi, karena para penghuninya masih terlelap tak menghalanginya 'curhat' kepada Sang Pencipta. Kebiasaan ini, kata ibunya mesti tetap dipertahankan di manapun ia berada.
Mata bulat Akira tak sanggup lagi menahan kantuk. Setelah menunaikan empat rakaat tahajjud dan witir satu rakaat, ia tak kuasa menahan bobot tubuhnya dan langsung tertidur di atas sajadah.
"Dar, der, dor, suara senapan Sugali anggap petasan. Tiada rasa ketakutan punya ilmu kebal senapan .... "
Dering telepon terdengar nyaring memekakan telinga. Suara musisi Iwan Fals yang menjadi nada dering gadis lulusan Sastra Inggris itu, tak mampu membangunkannya. Cukup lama panggilan telepon masuk, hingga akhirnya ia terbangun.
Dengan mata yang masih sayu, perlahan Ira—sapaan akrab wanita perantauan itu memandang ke arah jam dinding di sudut ruangan. Tak terasa waktu ternyata sudah pukul 5 subuh. Sayup-sayup terdengar suara azan dari surau yang tak jauh dari kos-kosannya. Bergegas ia, kembali ke kamar mandi mengambil wudhu untuk menunaikan kewajibannya, kepada Rabb-nya.
Setelah menunaikan salat, Ira teringat panggilan telepon masuk di gawainya. Belasan panggilan tak terjawab dan satu pesan masuk. Ternyata itu kak Sari, saudara kandungnya yang tinggal bersama Ibu di kampung.
("Dek ... mama minta kamu berhenti bekerja. Karena mama mau kamu menikah dengan Akrom anak Om Wibi, kawan lama almarhum Bapak!") isi pesan singkat dari kakak Sari.
Akira menghela napas. Seketika udara segar di sekitar membuatnya sesak, saat membaca pesan Kak Sari. Ah, rupanya keinginan Ibu agar dirinya segera menikah tidak main-main. Sambil menarik napas panjang, gadis itu menekan nomor ponsel sang kakak. Nada dering sholawat terdengar merdu mengiringi detak jantungnya.
"Assalamualaikum, Nak," kata Ibu.
"Waalaikum salam, Mak," jawabnya.
"Bagaimana, kabarmu sehat saja 'kan? Oh ya, sudah mi berhenti ko kerja, Nak?" tanya ibu dengan logat bugis yang kental.
"Maaf lah, Mak. Tidak bisa ka, langsung berhenti kerja. Pa perlu kupikirkan dulu soal perjodohan ini. Tidak kukenal ji orangnya, Mak," ucapnya memelas.
Berharap ibu mau mengurungkan niatnya.
"Haiss ... jadi kapan ko menikah, Nak? Jangan terlalu lama kau pikir. Nanti habis jodohmu bagaimana?" tanya Ibunya konyol.
"Ya Allah, Mak! Masih banyak laki-laki di dunia ini. Tak mungkin akan habis," ucapnya geli menahan tawa.
"Ada ada saja mama ini," sambungnya.
"He, Ira mama ini sudah tua. Mau sekali ka melihat kau menikah dan beri mama cucu. Kalau kau kerja terus, kapan menikahnya!" omel ibunya di pagi buta.
"Ya sudah, mama kasih kau waktu 5 bulan. Kalau tidak bisa datangkan calonmu, nanti biar sama Akrom saja ko menikah!" tegas wanita paruh baya itu.
Perasaan khawatir sang ibu sebenarnya cukup beralasan. Mengingat, ia kerap sedih melihat putri bungsunya tinggal di perantauan sendiri. Apalagi diusia renta, membuat dirinya takut tak sempat lagi menimang cucu dari anak kesayangannya itu.
*******
Siang itu, udara di kota Bontang begitu gerah. Segerah kondisi tubuh Akira yang tengah sibuk mempersiapkan bahan berita terbitan esok. Media cetak Local Post tempatnya bekerja, memang menerbitkan berita setiap hari. Hal ini menuntut jurnalis bekerja keras dan cukup sulit mendapatkan libur.
Setelah menyelesaikan tugas liputan, gadis berparas ayu itu segera kembali ke kantor. Sambil mengendarai sepeda motor Jupiter MX kesayangan, ia memasuki areal parkir gedung biru berlantai empat.
Mata bulat, pipi yang sedikit gembil, hidung mancung dan bibir tipis, membuat paras wajah Ira kerap mendapat pujian. Dengan sedikit polesan make up, perlahan Ira memasuki teras depan kantor. Ismail petugas keamanan yang berjaga langsung menyambutnya dengan senyum khas.
"Selamat siang, Mbak Akira ada berita apa, nih?" tanyanya sopan.
"Dengar-dengar ada perampokan ya tadi malam?" terka Ismail.
"Iya, Pak. Berita lengkapnya saya ketik dahulu ya, Pak Mail," balas Ira ramah sambil berlalu.
"Ok, Mbak . Saya tunggu besok yo," lanjut pria bertubuh tegap itu.
Buru-buru ia memasuki kantor. Kesejukan suhu pendingin ruangan langsung menyentuh kulitnys. Wajah putih Akira yang sempat kemerahan mulai kembali seperti semula.
Hari yang melelahkan tak menyurutkan semangat gadis berhijab itu untuk segera mengetik berita. Lagi-lagi berita kriminal yang ia tulis. Bertemu keluarga korban, seringkali membuatnya iba bila harus mewawancarai mereka yang tengah berduka.
"Ra ... dipanggil Pak Ramdan!" teriak seorang wanita yang berperawakan tambun.
"Eh, Mbak Meta. Tumben pak bos memanggil ada apa, ya, Mbak?" tanyanya heran.
"Nggak tahu, tuh. Makanya cepetan ke sana kalau lambat bisa kena SP, loh!" lanjut Meta.
"Huh, padahal baru saja mulai mengetik. Eh, ada saja gangguan!" keluhnya.
Meski sedikit kesal, Akira tetap pergi ke ruangan sang direktur utama. Berukuran 5×5 meter dan berdinding kaca transparan. Dari luar, ia dapat melihat sebuah komputer masih menyala. Sementara di sisinya beberapa lembar file berserakan di meja. Sambil mengusap wajah dan menarik napas panjang, Ira kemudian masuk.
"Bapak mencari saya?" tanya Ira.
"Kamu yang meliput berita perampokan toko emas semalam?" kata pria bertubuh tegap di hadapannya.
"Iya, Pak. Saya yang liput ada apa?" tanyanya.
"Informasi terbaru yang saya terima, dua orang pelaku berhasil melarikan diri. Kini polisi masih melakukan pencarian. Sebaiknya kamu berhati-hati ya, Akira!" pesannya.
Akira terkejut dengan ucapan lelaki di hadapannya. Bukan karena peringatan yang disampaikan, tetapi dari sikapnya yang tak biasa. Apalagi, sosok di depannya adalah pria yang dikenal sombong. Selain itu, sosoknya yang tak pernah tersenyum membuat Akira dan rekan-rekannya menjaga jarak dengan Sang Bos.
"Saat ini, mungkin pelaku masih bersembunyi dan mengamati orang-orang yang berusaha mengungkap kasus ini, termasuk wartawan!" tambah pria berkaca mata itu.
"Apa ini sangat berbahaya, Pak?" tanya Akira.
"Tergantung kondisi. Ini hanya peringatan agar para wartawan tetap waspada," jawabnya.
"Siap, Pak. Terima kasih banyak!" ucapnya hormat.
Gadis itu merasa dihargai dengan perhatian pak Ramdan. Lelaki tampan dengan hidung mancung, dan warna kulit sawo matang itu memang jarang tersenyum. Sehingga terkesan kurang ramah bagi yang baru bertemu dengannya. Namun, karena kecerdasan dan sikap tegasnya membuat semua karyawan hormat dan segan padanya.
Melangkah keluar ruangan, Ira kembali ke ruang redaksi. Didapatinya Meta, rekan sekaligus sahabatnya tengah duduk sambil menikmati pisang goreng.
"Ada masalah apa, Ra?" tanyanya dengan mulut penuh.
"Biasa, Mbak Met, soal berita. Diminta waspada oleh si Bos, soalnya dua orang pelakunya masih buron," jawabnya.
"Ish ... kamu nggak takut, Ra menulis berita kriminal terus?" lanjut Meta.
"Ya, kadang was-was juga sih, Mbak. Tapi namanya tugas, ya, mesti dijalani . Urusan keamanan kita serahkan ke Allah saja, Mbak. Bukankah Dia Maha Menjaga?" ucapnya santai.
"He—eh betul juga sih, Ra."
"Tapi kalau aku, lebih nyaman bila menulis berita kontrak, Ra, aman dan berbayar," ucapnya terkekeh.
"Oya, gimana soal perjodohannya, katanya mau cerita?"
"Eh iya, Mbak, aku sampai lupa. Mama mau aku segera menikah, umurku 'kan sudah 27. Katanya anak gadis nggak baik kelamaan sendiri, takut fitnah!" jelasnya.
"Terus ... apa kamu sudah punya calonnya?"
"Belum ada, Mbak. Mana bisa dapat jodoh, kitanya sibuk kerja gini kok, kapan ketemunya?" jawabnya sambil tertawa.
"Jadi bagaimana?"
"Aku diberi waktu, Mbak. Jika dalam 5 bulan ke depan belum juga bisa mendatangkan calon ke hadapan mama, maka lamaran anak dari kawan bapakku diterima!"
"Ya sudah. Kalau begitu, nikah, gih!"
"Masalahnya, Mbak, aku tuh belum kenal orangnya. Lagipula masih asik wara-wiri liputan seperti ini rasanya sayang banget kalau harus berhenti," terangnya.
"Sekarang ini, aku mau mengumpulkan duit sebanyak- banyaknya dulu, Mbak, lalu berangkatkan mama naik haji," tambahnya.
"Loh, kalau untuk itu kenapa nggak minta duit sama suami aja, toh calonmu pasti orang kaya, 'kan?" tanya Meta.
"Yei ... beda, Mbak. Itu 'kan harta milik suami. Walaupun kaya, tetap saja lebih puas jika yang kuberikan itu hasil jerih payahku sendiri!"
"Oalah ... yoweslah, terserah kau saja. Semoga cepat bertemu jodoh seperti aku ini, loh. Gendut-gendut gini jodohku sudah ketemu!" ucapnya terkekeh.
"Astaga, Mbak! Kita belum selesai ngetik nih, ayo buruan bentar lagi deadline!" ucapnya tergesa sambil mulai menulis.
Hening, kedua gadis itu serius menulis berita. Nantinya berita dikirim ke server untuk proses editing dan desain halaman oleh tim lay out.
Tanpa disadari, beberapa pria sedang bercakap-cakap di bilik berdinding kaca yang berhadapan dengan ruang redaksi. Sesekali mereka mengamati kedua jurnalis wanita yang tengah tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
"Alhamdulillah ... selesai juga akhirnya," ucap Akira sambil menghela napas lega. Akhirnya 4 berita berhasil ia tulis sebelum deadline berakhir.
"Mbak, Met. Laper!"
"Ayok dah, kita cari makan dulu sebelum pulang!" ajak Meta.
"Lets go!" sahutnya.
Keduanya beranjak keluar ruangan sambil meregangkan otot. Sementara beberapa karyawan lain tengah sibuk di depan komputer, untuk menata halaman koran terbitan besok.
"Kami pulang duluan, ya!" teriak Akira ke arah rekan-rekannya.
"Iya, Ra!"
Perut kedua gadis itu terasa sesak, usai menyantap nasi goreng yang mangkal di depan kantor. Mereka kemudian pulang mengendarai sepeda motor masing-masing ke arah berbeda.
Sudah pukul 9 malam. Akira membawa motornya dengan cukup laju. Berharap segera sampai kos. Sesekali netranya mengerjap menahan kantuk. Tiba di simpang tiga lampu merah, diedarkan pandangan ke sekitarnya, sepasang muda- mudi nampak memeluk erat pasangan yang memboncengnya.
"Huh ... tak tahu malu, padahal di sekitarnya banyak orang," umpatnya dalam hati.
Sementara, di sisi kanannya seorang pria dengan motor ninja nampak berbicara melalui ponsel.
Saat lampu hijau menyala, segera ia pacu motornya tak sabar untuk mandi dan merebahkan diri di kasur empuk. Asik menghayal, gadis itu tidak menyadari kehadiran pengendara lain yang sengaja menyerempet motornya.
"Astagfirullah!"
"Woiii, hati-hati dong kalau jalan!" teriaknya keras pada seorang pria yang mengendarai sepeda motor ninja.
Nyaris saja ia menabrak median jalan, jika tidak gesit mengendalikan motor. Sementara, pengendara tadi terus melaju. Kondisi jalan raya masih tampak ramai dengan hilir-mudik kendaraan, membuatnya sulit melihat secara jelas ciri-ciri pengendara yang menyerempetnya.
"Ah, ada-ada saja. Siapa orang itu ya, dan mengapa ia menyerempet motorku?" gumamnya.
Gadis itu kembali memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Dalam hati kecilnya ia terus menerka-nerka kejadian barusan. Apa ada hubungan dengan liputan yang dilakukannya siang tadi terkait perampokan toko emas atau tidak?
Setibanya di kos, kawasan tempat tinggalnya itu masih terlihat ramai. Beberapa rumah makan dan pedagang kaki lima yang mangkal di sepanjang jalan masih buka hingga larut. Beberapa meter dari tempat itu juga terdapat pos polisi dan sebuah sekolah dasar negeri.
"Alhamdulillah sampai."
Akira buru-buru masuk mengunci pintu dan memastikan jendela terkunci rapat. Ia merasa was-was dengan kejadian tadi. Setelah membersihkan diri dan menunaikan salat isya, gadis itu langsung menghempaskan tubuh ke atas kasur. Kasur dengan kain penutup bercorak bunga itu terlihat bagai tumpukan awan.
"Bismika allahumma ahyaa wabismika amuut," ucapnya sesaat sebelum terlelap.
Pemandangan yang dramatis. Seorang gadis cantik tidur diantara tas ransel dan kamera kesayangannya yang ia letakkan di ujung ranjang. Nasib jurnalis wanita, kamarnya nampak tak pernah rapi bak kapal pecah. Kertas-kertas yang berserakan di atas nakas belum sempat ia rapikan.
Sementara itu, seorang pria berjaket kulit nampak menikmati wedang jahe di sebuah warung tenda. Sesekali netranya mengamati kos putri yang ada di seberang jalan. Nampak sepeda motor berjejer rapi di areal parkir. Ia mengenali salah satu kendaraan itu yang tak lain milik Akira.
to be continued ...
by Ana'na Bennu
Sinar matahari menelisik melalui celah di jendela kamar Akira. Matanya mengerjap dan menguap sambil meregangkan otot. Sinar matahari pagi itu terasa hangat ke sekujur tubuhnya. Meraih ponsel, satu pesan masuk di grup redaksi. "Ah ... pasti disuruh lanjutkan kemarin" gumam gadis itu tersenyum bangga. Adrenalinnya berpacu kuat saat berada di lokasi insiden.Ia bergidik ngeri saat mengingat peristiwa tempo hari. Darah berceceran di lantai toko yang dirampok. Rupanya itu darah pemilik toko yang berusaha mempertahankan hartanya dari para perampok. Dengan tangan kosong, korban menghalau 5 orang pria dewasa yang memaksa masuk untuk mengambil semua emas dan uang yang ada di brangkas. Bahkan tak
Akira menatap jam di pergelangan tangan menunjukan pukul delapan. Namun, Ramdan tak kunjung keluar dari ruang kerjanya. Padahal rencananya, pria tampan itu akan menemani Akira melanjutkan liputan terkait kasus perampokan toko emas. "Waduh, kalau begini ... bisa siang selesai liputannya. Mana sih, bos besar ini? Bisa mati berdiri saya, karena menunggu," gumamnya sambil melanjutkan melihat gawainya. Sedang asik jari-jemari lentik Akira memainkan gawai, tak sadar jika pria yang dinanti sudah berdiri di belakang kursinya. "Hmm ...." "Ayo berangkat!" ajak Ramdan yang kemudian pergi keluar menuju arah parkir kendaraannya.
"Heh bangun, Ra, udah sampai!" perintah Ramdan sambil memukulkan botol kemasan air mineral miliknya ke arah gadis yang hobi tidur itu. "Hah!" Wanita itu bangun, matanya sedikit memerah, sembari mengucek mata dengan kasar—ia pandangi sekitar dan melihat bosnya sudah berjalan menuju sebuah warung makan yang ada di pinggir jalan. Ia pun turun dari mobil dan mengekor di belakang pria itu. Setelah memesan makanan, mereka menanti pesanan datang di sebuah kursi yang menghadap ke jendela. "Pak, saya ke sana sebentar ya!" ujar Akira, sambil menunjuk sebuah masjid besar yang letaknya tak jauh dari warung tersebut. Memasuki halaman parkir masjid,
Usai membekuk dua pelaku penyerangan terhadap Ramdan dan Akira, polisi terus melakukan penyelidikan. Hasilnya sesuai dugaan, kedua pelaku penyerangan ternyata pelaku perampokan yang melarikan diri. Bahkan, polisi kini menemukan bukti baru, bahwa salah satu dari mereka merupakan orang terdekat korban. "Ra, coba kamu hubungi polisi! Saya dapat info dari pak Ramdan, kalau pelaku penyerangan tadi siang ternyata juga bagian dari pelaku perampokan," kata Edi yang merupakan Redaktur Pelaksana (Redpel) Surat Kabar Harian Local Post. "Siap, Mas," ucap Akira yang tengah sibuk menulis berita. Akira menghentikan sejenak aktivitas menulisnya. Ia kemudian mengambil ponsel untuk menghubungi Agus Suseno. Tiga kali ia menghubungi nomor tersebut, tetapi tak kunj
Tiba di kamar kos. Akira yang merasa perutnya begitu penuh langsung bersiap untuk tidur. Setelah membersihkan diri dengan cepat dan menunaikan kewajiban salat isya yang tertinggal cukup larut. Ia pun beranjak ke pembaringannya. Tiba-tiba dering telepon yang terdengar kencang, membuatnya terpaksa harus bangkit saat ia baru saja merebahkan tubuh di atas kasur. "Assalamualaikum, Iraaaa!" teriak ibunya di ujung telepon, sehingga reflek ia menjauhkan gawai dari telinganya. "Waalaikumsalam, Mama ... jangan kenceng-kenceng suaranya, Mak. Nanti kedengaran ibu kos loh, di sini nggak boleh bertamu kalau udah malam?" jawabnya sambil terkekeh. Rasa rindunya sedikit terobati mendengar suara ibu. Orang yang selalu bersikap sama padanya. Sejak kecil hingga dewasa seperti saat ini. Suara cempreng dan cerewet ibunya selalu m
"Astagfirullah! aduh, aku nggak tahajud lagi. Huhh ... dasar mata ini mengantuk terus sih bawaannya!" umpat Akira saat sayup terdengar suara azan subuh dari surau. Gadis itupun menyeret langkahnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu. Tubuh yang begitu lelah setelah aktifitas liputan, menghalangi Akira untuk bangun di sepertiga malam. Padahal sebelum tidur, ia berniat untuk mengadukan setiap masalah yang dihadapinya kepada Sang Pencipta. Begitu banyak yang ia inginkan, sehingga terkadang perasaan ragu menyelimuti hatinya. Apakah pantas mendapatkan semua yang ia pinta, bila kewajiban kepada Tuhan-Nya saja sering terlambat ia kerjakan. Setelah salat subuh Akira lalu meraih mushaf alquran dengan sampul hitam miliknya yang ada di atas nakas. Ia membaca dengan suara lirih. Hati yang semula gersang perlahan merasakan
Siang itu, suasana kantor surat kabar harian Local Post, tampak lengang. Sebagian besar karyawan banyak yang berada di lapangan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Hanya ada beberapa karyawan di bagian administrasi yang bertugas di kantor. Kedatangan Ramdan dan Akira pun tak banyak mendapat perhatian. "Selamat siang, Pak Ram. Eh ada Ira juga yah," sapa Gita, gadis cantik berpostur tinggi dengan rambut lurus sebahu. Ia salah satu karyawan administrasi marketing. "Lho tugas liputan sudah selesai, Ra. Kok tumben ngantornya cepat?" tanya gadis yang mengenakan jeans ketat dan kaos putih lengan pendek yang membentuk setiap lekukan tubuh itu. Sangat cantik, aroma tubuhnya yang wangi terbang hingga jarak lima meter dimana Akira berdiri. "Iya, Git. Tadi motorku kehabisan bensin. kebetu
Derttt ... Derttt ... Derttt ... Suara ponsel yang bergetar membangunkan Akira yang tengah terlelap. "Duhh siapa sih malam-malam masih nelpon? nggak tahu orang sedang istirahat!" gerutunya kesal sambil meraih handphone yang ia letakkan asal di sisi bantal. "Eh Pak Agus, iya Waalaikumsalam. Ada apa, Pak?" tanyanya pada orang di ujung telpon. "Ha! penemuan mayat! dimana lokasinya, Pak? oh iya saya tahu tempat itu. Baik, saya segera ke sana. Terimakasih infonya, Pak," ucap gadis itu tergesa. &