Part 55. Berpisah
"Saya pamit pulang ya, Pak."
Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun?
"Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara.
Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku.
"Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir.
Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa.
"Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
"Tek tok" terdengar suara pesan masuk di gawai Qifah Akira. Gadis cantik asal Sulawesi Selatan tak terlalu memperhatikannya, karena masih berusaha menahan kantuknya di sepertiga malam. Ia paksa kaki beranjak menuju kamar mandi. Usai menuntaskan hajat, gadis berkulit putih itu mengambil wudhu untuk menunaikan salat tahajjud. Kondisi kos putri yang terlihat sepi, karena para penghuninya masih terlelap tak menghalanginya 'curhat' kepada Sang Pencipta. Kebiasaan ini, kata ibunya mesti tetap dipertahankan di manapun ia berada. Mata bulat Akira tak sanggup lagi menahan kantuk. Setelah menunaikan empat rakaat tahajjud dan witir satu rakaat, ia tak kuasa menahan bobot tubuhnya dan langsung tertidur di atas sajadah. "Dar, der, dor, suara senapan Sugali anggap petasan.
Sinar matahari menelisik melalui celah di jendela kamar Akira. Matanya mengerjap dan menguap sambil meregangkan otot. Sinar matahari pagi itu terasa hangat ke sekujur tubuhnya. Meraih ponsel, satu pesan masuk di grup redaksi. "Ah ... pasti disuruh lanjutkan kemarin" gumam gadis itu tersenyum bangga. Adrenalinnya berpacu kuat saat berada di lokasi insiden.Ia bergidik ngeri saat mengingat peristiwa tempo hari. Darah berceceran di lantai toko yang dirampok. Rupanya itu darah pemilik toko yang berusaha mempertahankan hartanya dari para perampok. Dengan tangan kosong, korban menghalau 5 orang pria dewasa yang memaksa masuk untuk mengambil semua emas dan uang yang ada di brangkas. Bahkan tak
Akira menatap jam di pergelangan tangan menunjukan pukul delapan. Namun, Ramdan tak kunjung keluar dari ruang kerjanya. Padahal rencananya, pria tampan itu akan menemani Akira melanjutkan liputan terkait kasus perampokan toko emas. "Waduh, kalau begini ... bisa siang selesai liputannya. Mana sih, bos besar ini? Bisa mati berdiri saya, karena menunggu," gumamnya sambil melanjutkan melihat gawainya. Sedang asik jari-jemari lentik Akira memainkan gawai, tak sadar jika pria yang dinanti sudah berdiri di belakang kursinya. "Hmm ...." "Ayo berangkat!" ajak Ramdan yang kemudian pergi keluar menuju arah parkir kendaraannya.
"Heh bangun, Ra, udah sampai!" perintah Ramdan sambil memukulkan botol kemasan air mineral miliknya ke arah gadis yang hobi tidur itu. "Hah!" Wanita itu bangun, matanya sedikit memerah, sembari mengucek mata dengan kasar—ia pandangi sekitar dan melihat bosnya sudah berjalan menuju sebuah warung makan yang ada di pinggir jalan. Ia pun turun dari mobil dan mengekor di belakang pria itu. Setelah memesan makanan, mereka menanti pesanan datang di sebuah kursi yang menghadap ke jendela. "Pak, saya ke sana sebentar ya!" ujar Akira, sambil menunjuk sebuah masjid besar yang letaknya tak jauh dari warung tersebut. Memasuki halaman parkir masjid,
Usai membekuk dua pelaku penyerangan terhadap Ramdan dan Akira, polisi terus melakukan penyelidikan. Hasilnya sesuai dugaan, kedua pelaku penyerangan ternyata pelaku perampokan yang melarikan diri. Bahkan, polisi kini menemukan bukti baru, bahwa salah satu dari mereka merupakan orang terdekat korban. "Ra, coba kamu hubungi polisi! Saya dapat info dari pak Ramdan, kalau pelaku penyerangan tadi siang ternyata juga bagian dari pelaku perampokan," kata Edi yang merupakan Redaktur Pelaksana (Redpel) Surat Kabar Harian Local Post. "Siap, Mas," ucap Akira yang tengah sibuk menulis berita. Akira menghentikan sejenak aktivitas menulisnya. Ia kemudian mengambil ponsel untuk menghubungi Agus Suseno. Tiga kali ia menghubungi nomor tersebut, tetapi tak kunj
Tiba di kamar kos. Akira yang merasa perutnya begitu penuh langsung bersiap untuk tidur. Setelah membersihkan diri dengan cepat dan menunaikan kewajiban salat isya yang tertinggal cukup larut. Ia pun beranjak ke pembaringannya. Tiba-tiba dering telepon yang terdengar kencang, membuatnya terpaksa harus bangkit saat ia baru saja merebahkan tubuh di atas kasur. "Assalamualaikum, Iraaaa!" teriak ibunya di ujung telepon, sehingga reflek ia menjauhkan gawai dari telinganya. "Waalaikumsalam, Mama ... jangan kenceng-kenceng suaranya, Mak. Nanti kedengaran ibu kos loh, di sini nggak boleh bertamu kalau udah malam?" jawabnya sambil terkekeh. Rasa rindunya sedikit terobati mendengar suara ibu. Orang yang selalu bersikap sama padanya. Sejak kecil hingga dewasa seperti saat ini. Suara cempreng dan cerewet ibunya selalu m