Part52. Sendu
Pov Akrom
"Rom, sedang sibuk tidak? aku mau bicara sesuatu."
Pesan dari Akira kuterima. Gadis yang sedang coba untuk kucintai. Iya, saat ini aku sedang belajar untuk mencintainya. Tinggal hitungan hari dan kami akan segera menikah. Tetapi saat mendengar penuturannya ditelpon. Aku sungguh merasa menjadi lelaki yang tak dihargai.
Hari itu Akira menelpon untuk memintaku membatalkan pernikahan kami. Ada- ada saja permintaan gadis itu. Aku jelas merasa heran mendengarnya, apalagi saat ia menjelaskan alasannya sungguh membuatku sakit hati.
"Sebenarnya ... aku mencintai orang lain, Rom. Maaf, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini. Bisakah kamu menyampaikan kepada orangtuamu bahwa aku menolak untuk menikah denganmu?" tutur gadis itu.
Part53. Sadar Setelah menerima telpon dari mamak. Aku masuk ke ruangan Ramdan, kulihat kondisinya masih sama. Tidak ada perubahan. Padahal kata dokter Yusuf, ia akan sadar setelah 1 jam pasca operasi. Ini sudah hampir 2 jam belum tampak perubahannya. Ada apa ini? Aku mulai panik, begitu juga dengan Tante Mufidah dan om Fatih. "Kok belum sadar ya, Om?" Om Fatih hanya menggeleng tak mengerti. Sementara Tante Mufidah terus menggenggam tangan putranya. Sambil mengucapkan kalimat-kalimat memotivasi untuk bangun. "Coba kita hubungi dokter Yusuf," ucapnya sembari meraih ponsel dari sakunya. Aku memilih duduk di sisi lain ranjang pasien meraih mushaf yang kuletakkan di atas nakas, lalu membacanya dengan lirih. Kubaca terus hingga membuatku tenang. Tak lama ti
Part54. Amnesia "Nggak usah sok baik, aku bisa jalan sendiri, Kok!" ketus Ramdan saat aku mencoba membantu bangkit dari posisinya yang kini terduduk di rumput taman. "Astaga orang ini, nggak bersyukur banget ada yang mau bantu! Coba kalau bukan bos ku sudah kutinggalkan dari tadi orang ini!" omelku kesal. "Apa kamu bilang?" sentaknya. "Eh ng--nggak ada bilang apa-apa kok, ayo jalan lagi! atau bapak mau istirahat dulu sambil makan? sahutku asal. "Tidak usah! saya jalan lagi saja!" ucapnya sambil berusaha bangkit dari duduknya dengan tangan bertopang pada tiang lampu taman. Jatuh bangun lelaki ini belajar berjalan, hingga terlihat bulir keringat menetes di dahinya. Wajah tampannya yang terlihat sedikit tirus
Part 55. Berpisah "Saya pamit pulang ya, Pak." Lelaki itu tak menyahut, padahal posisi kami tidak jauh, hanya berjarak 1 meter pasti dia bisa mendengar ucapanku. Tapi kenapa tak merespon, apa dia melamun? "Pak ! saya pamit mau pulang," kataku lagi mengeraskan suara. Ia menoleh dan menatapku intens dari atas hingga ke bawah, seperti sedang menilai penampilanku. "Kenapa pulang? Apa kamu lelah membantuku?" ucapnya pelan namun cukup membuatku tersindir. Ah lagi-lagi aku merasa serba salah. Aku pulang ini karena ingin menemui mamak dan keluarga, tapi meninggalkan lelaki yang telah mengalami kecelakaan karena berniat menjemputku ini rasanya sangat membuatku putus asa. "Tidak, Pak. Saya akan kembal
Part56. SepiPoV Ramdan "Bi ...! tolong ambilkan ponsel saya di kamar!" teriakku pada Bi Ijum. Wanita itu segera berjalan tergesa menuju kamarku. Tak lama kemudian datang dengan ponsel di tangannya. "Ini, Den," ucapnya sopan. "Ada lagi yang perlu Bibi bantu?" tanyanya sebelum berlalu. "Tidak ada. Trima kasih, Bi," sahutku. "Oh ya, Mama biasa pulang jam berapa dari restonya?" tanyaku. "Biasanya sore kalau normal, Den. Tapi kalau sedang sibuk Nyonya bisa sampai malam," jelasnya. "Kalau butuh apa-apa, panggil Bibi saja, Den," katanya tersenyum. Wanita paruh baya itupun berlalu dari hadapan
Part57. Ketika Ulat Bulu Datang Pagi itu Mufidah berencana untuk menemani putranya di rumah. Setelah beberapa hari sebelumnya ia selalu pergi meninggalkan demi restorannya yang sedang berkembang pesat. Meskipun ada Yanti orang kepercayannya yang bisa menghandel, tetap saja ia harus memantau secara langsung agar tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan di setiap cabang resto miliknya. "Sayang, bagaimana kakinya? apa masih sering terasa sakit?" tanyanya pada Ramdan yang sedang berjalan mengelilingi kolam renang yang ada di sayap kanan rumah mereka. "Baik," jawabnya cuek. Lelaki itu bahkan tak menoleh saat Mufidah berjalan menghampirinya. "Obat nya sudah diminum, Nak?" katanya sambil berdiri tak jauh dari putranya yang kini duduk di tepi kolam. Lelaki itu membiarkan kakinya tenggelam dal
"Tek tok" terdengar suara pesan masuk di gawai Qifah Akira. Gadis cantik asal Sulawesi Selatan tak terlalu memperhatikannya, karena masih berusaha menahan kantuknya di sepertiga malam. Ia paksa kaki beranjak menuju kamar mandi. Usai menuntaskan hajat, gadis berkulit putih itu mengambil wudhu untuk menunaikan salat tahajjud. Kondisi kos putri yang terlihat sepi, karena para penghuninya masih terlelap tak menghalanginya 'curhat' kepada Sang Pencipta. Kebiasaan ini, kata ibunya mesti tetap dipertahankan di manapun ia berada. Mata bulat Akira tak sanggup lagi menahan kantuk. Setelah menunaikan empat rakaat tahajjud dan witir satu rakaat, ia tak kuasa menahan bobot tubuhnya dan langsung tertidur di atas sajadah. "Dar, der, dor, suara senapan Sugali anggap petasan.
Sinar matahari menelisik melalui celah di jendela kamar Akira. Matanya mengerjap dan menguap sambil meregangkan otot. Sinar matahari pagi itu terasa hangat ke sekujur tubuhnya. Meraih ponsel, satu pesan masuk di grup redaksi. "Ah ... pasti disuruh lanjutkan kemarin" gumam gadis itu tersenyum bangga. Adrenalinnya berpacu kuat saat berada di lokasi insiden.Ia bergidik ngeri saat mengingat peristiwa tempo hari. Darah berceceran di lantai toko yang dirampok. Rupanya itu darah pemilik toko yang berusaha mempertahankan hartanya dari para perampok. Dengan tangan kosong, korban menghalau 5 orang pria dewasa yang memaksa masuk untuk mengambil semua emas dan uang yang ada di brangkas. Bahkan tak
Akira menatap jam di pergelangan tangan menunjukan pukul delapan. Namun, Ramdan tak kunjung keluar dari ruang kerjanya. Padahal rencananya, pria tampan itu akan menemani Akira melanjutkan liputan terkait kasus perampokan toko emas. "Waduh, kalau begini ... bisa siang selesai liputannya. Mana sih, bos besar ini? Bisa mati berdiri saya, karena menunggu," gumamnya sambil melanjutkan melihat gawainya. Sedang asik jari-jemari lentik Akira memainkan gawai, tak sadar jika pria yang dinanti sudah berdiri di belakang kursinya. "Hmm ...." "Ayo berangkat!" ajak Ramdan yang kemudian pergi keluar menuju arah parkir kendaraannya.