Bahkan saat Ilham mendekat pun, Indira masih tetap diam menatap pria yang terus berjalan mendekatinya. Entahh kenapa pada saat itu tubuhnya terasa kaku. Apa dia merindukan pria itu sampai membiarkannya mendekat? Atau perempuan itu merasa penasaran dengan kabar pria yang saat ini telah berdiri tepat di hadapannya?
“Ikut saya ke parkiran!”Ya bukan menanyakan kabar, Ilham malah memerintah yang lain.Namun, Indira tetap diam di tempatnya berdiri.“Kenapa diam saja? Ayo ikut saya ke parkiran. Saya mau bicara sama kamu.”Indira hanya menatap Ilham.Karena Indira tidak kunjung bergerak, Ilham pun mendekat dan meraih tangan Indira lalu menarik lengan perempuan itu agar mengikutinya menuju parkiran.Kedua kaki Indira bergerak mengikuti langkah Ilham. Pada saat itu banyak pasang mata yaTiba di rumah Ilham, Indira turun dari mobil. Menunggu Ilham membuka bagasi untuk mengambil tasnya. Perempuan itu menuju bagian belakang mobil Ilham. “Tuan, berapa lama saya harus bekerja jadi pengasuh tuan Kenzi?” “Sampai Kenzi bosan sama kamu.” Ilham menjawab dengan asal karena dia tidak suka dengan pertanyaan itu. “Tapi, saya kan harus ngurus bisnis catering saya, Tuan? Nanti gimana dengan catering saya kalau saya kelamaan di sini.” Ilham menghela napas lalu menatap tajam pada Indira. “Dengar ya, Dira, Kenzi itu anak kamu, memangnya kamu sebagai ibunya tidak mau tinggal bersamanya? Ibu macam apa kamu?” Indira membalas tatapan tajam Ilham tidak kalah sengitnya. “Tuan, Kenzi memang anak saya. Dia lahir dari rahim saya, tapi apa selama ini Tuan anggap saya sebagai ibunya? Dulu saya minta tinggal di sini sebagai pengasuhnya pun Tuan tidak setuju dengan alasan melanggar perjanjian. Terus kenapa sekarang Tuan berubah?” Indira sebenarnya masih belum pas untuk mencecar Ilham. “Kita b
“Ke kantor saya sekarang! Kita bicara di ruangan saya, “ perintah Ilham pada Indira. “Baik, Tuan. Saya segera ke sana sekarang.”Indira mengambil tasnya lalu menyimpan ponsel ke dalam tas. “Lin, aku keluar dulu sebentar. Ada urusan di luar. Titip ya, Lin. Maaf karena harus ninggalin kamu dalam keadaan kacau begini.”Linda menepuk pundak Indira. “Ya, semua akan baik-baik saja kok, Dira.” Linda menatap Indira dengan perasaan kasihan. Perempuan muda itu baru mulai usahanya, tetapi sudah mendapat masalah besar. Indira pun tiba di kantor Ilham. Perempuan itu menemui pengawai di lobi kantor lalu diantar ke ruangan Ilham. Perempuan itu masuk setelah mengetuk pintu. “Duduk, Dira! Dulu kamu belum pernah ke kantor saya, sekarang baru ada kesempatan kamu datang ke ruangan saya.” Ilham bangkit dari kursinya lalu duduk di sofa berhadapan dengan Indira. “Maaf, Tuan, saya tidak bisa lama-lama berada di sini. Ada urusan yang lebih penting. Jadi, saya langsung saja ke masalahnya. Apa maksud Tuan
Belum sempat Indira menjawab pertanyaan Kenzi, Ilham sudah bicara lebih dulu. “Ajak tante Dira main ke kamar kamu sebentar, nanti Papa mau antar tante Dira pulang ke rumahnya. Ayo! Sebelum Papa berubah pikiran. “Iya, Pa.” Dengan wajah lesu, Kenzi mengajak Indira ke kamarnya. Tiba di depan kamar, Kenzi membuka pintu dan mengajak Indira masuk ke kamarnya. Kamar itu besar dengan banyak mainan dan buku bacaan di sana. Kenzi mengambil dua mobil remote di rak mainan. “Main ini dulu ya, Tante.” Kenzi berikan satu mobil remote pada Indira.“Ya,” jawab Indira singkat. Dia takjub melihat kamar itu. Memang anak orang kaya sudah pasti berbeda dengannya. Indira tidak bisa membayangkan seperti apa nasib Kenzi jika putranya itu tinggal bersamanya. Kenzi menyalakan mobil remotenya. “Kita balapan ya, Tante.” “Ok. Pokonya, Tante enggak akan kalah.” Kenzi dan
Bahkan saat Ilham mendekat pun, Indira masih tetap diam menatap pria yang terus berjalan mendekatinya. Entahh kenapa pada saat itu tubuhnya terasa kaku. Apa dia merindukan pria itu sampai membiarkannya mendekat? Atau perempuan itu merasa penasaran dengan kabar pria yang saat ini telah berdiri tepat di hadapannya?“Ikut saya ke parkiran!” Ya bukan menanyakan kabar, Ilham malah memerintah yang lain. Namun, Indira tetap diam di tempatnya berdiri. “Kenapa diam saja? Ayo ikut saya ke parkiran. Saya mau bicara sama kamu.” Indira hanya menatap Ilham. Karena Indira tidak kunjung bergerak, Ilham pun mendekat dan meraih tangan Indira lalu menarik lengan perempuan itu agar mengikutinya menuju parkiran. Kedua kaki Indira bergerak mengikuti langkah Ilham. Pada saat itu banyak pasang mata ya
“Kapan saya bisa pergi dari rumah Tuan Ilham?” tanya Indira sambil menaha rasa sesak di dada.Ternyata, setelah melahirkan seorang bayi walaupun bukan dengan melahirkan normal, perasaan keibuan dalam Indira hadir juga. Dia tidak ingin berpisah dengan bayi itu.“Kapan saja kamu mau pergi. Saya tidak akan menahan kamu untuk bertahan di rumah saya.” Ilham tampak begitu dingin di mata Indira. Dia ingin mencoba bertahan di rumah Ilham demi anaknya. “Tuan … apa saya tidak diizinkan untuk tinggal di rumah Tuan?” “Tidak, Dira. Kita sudah menandatangani surat perjanjian. Kamu harus pergi dari rumah saya setelah bayi itu lahir. Kenapa kamu jadi berubah dan tidak mau pergi dari rumah saya? Padahal kamu punya kesempatan buat hidup lebih baik di luar sana.” Ilham tampak heran pada Indira yang enggan pergi dari rumahnya. “Saya harus menepati janji say
Indira sudah dibawa ke rumah sakit dengan ambulans sedangkan Ilham langsung menuju rumah sakit tanpa pulang dulu ke rumah agar Indira segera ditangani. Di UGD, Indira sudah diperiksa dan ditangani oleh dokter. Kemudian, dokter menjelaskan keadaan Indira pada Ilham. “Syukurlah, janin dalam kandungan istri Bapak baik-baik saja. Kandungan istri Bapak cukup kuat sehingga tidak terjadi keguguran. Saya sudah periksa janin dalam kandungannya, kondisinya bagus dan saya harap tidak ada masalah di kemudian hari. Hanya saja istri Bapak harus bed rest selama satu minggu agar tidak terjadi sesuatu pada kandungannya.” Dokter menjelaskan semuanya pada Ilham. “Baik, Dok. Apa istri saya boleh beraktivitas seperti biasa?” “Sementara ini, jangan dulu banyak aktivitas. Lebih baik banyak berbaring saja dulu selama satu minggulah. Setelah itu boleh mulai beraktivitas sedikit. Yang penting tidak mengangkat beban yang berat-berat.” “Tapi, istri saya baik-baik aja kan, Dok?” “Iya, istri Bapak baik-baik s