Demi membayar utang ayahnya sebesar satu miliar, Indira terpaksa menikah dengan Ilham, majikannya dengan bayaran dua miliar untuk melahirkan anak dalam waktu satu tahun. Satu tahun kemudian, anak itu lahir. Berdasarkan perjanjian Indira harus pergi dari rumah itu. Dia pun pergi tanpa membawa uang sepeser pun. Lima tahun kemudian, mereka bertemu kembali. Karena desakan sang anak yang terus menanyakan ibunya, Ilham harus membawa Indira kembali ke rumah dengan berbagai alasan. Akankah Indira mau kembali pada Ilham?
Lihat lebih banyak"Satu miliar? Sedikit sekali."
Indira mengangkat wajah, menahan napas sesaat, lalu menunduk kembali. Dia baru saja meminjam uang pada majikan tempat dia bekerja. Tuan Ilham. Baginya, jawaban yang baru diterimanya itu adalah perendahan harga dirinya. Hinaan. Sebenarnya, dia hanya coba-coba saja. Meski berharap dia bisa mendapatkannya, tetapi dia sadar, itu tak mungkin. Orang miskin sepertinya, tak pantas menghadap majikan besar seperti orang di depannya itu. Permasalahan besarnya, memaksanya untuk mencoba berbagai macam cara. "Itu pas, Tuan. Memang segitu kebutuhanku." Tuan Ilham tak mengangkat kepala, jemarinya tetap setia pada kerja. Suara ketikan jadi satu-satunya yang bicara. Beberapa detik terasa begitu lama. Lalu dia menoleh, menatap Indira dengan mata yang tak terbaca. "Kamu butuh sekali?" Indira mengangguk perlahan, lehernya kaku. "Tolong, Tuan." Meski tak yakin, dia tetap saja mencoba. Tuan Ilham menggerakkan kursinya sedikit. "Untuk apa?" "Bayar utang, Tuan." Indira menunduk. Ujung-ujung jarinya saling bertaut. Dia berusaha mengusir rasa takut dan kalut. "Bayar utang?" "Iya, Tuan. Ayahku meninggalkan ...." Ilham mengangkat tangan. "Cukup! Aku tak peduli alasanmu. Bukan urusanku. Tapi mungkin aku bisa mempertimbangkan sesuatu." Tuan Ilham memicingkan mata. Kadang dia mengangguk-angguk, kadang dia menggeleng. Indira berusaha untuk sabar. Tenggorokannya mengering. Akan tetapi lelaki itu tidak melepaskan tatapan. Semua yang dilakukan Indira karena perbuatan ayahnya. Arman, si penjudi tua yang dulu juga sempat bekerja di rumah ini sebagai tukang kebun, meninggal dengan mewariskan lubang bernama utang. Satu miliar. Jumlah yang tidak masuk akal untuk seorang buruh, tapi Indira berpikir mana ada penjudi bisa berhitung untung rugi. Ibunya meninggal saat dia masih SMP. Sejak itu, Indira bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Tuan Ilham. Di sini dia besar. Bertahan hidup dengan gaji yang kadang dicuri ayahnya. Tiga hari lalu, seorang pria datang ke rumah sempitnya. Menyebut dirinya Kartos, wakil rentenir kejam yang meminjamkan uang pada almarhum ayahnya, datang bersama dua orang bertubuh besar. Tanpa basa-basi, mereka mengobrak-abrik lemari dan laci, lalu menyodorkan surat perjanjian yang ditandatangani Arman. Utang pokok seratus juta, yang bunganya menumpuk sekian lama, hingga menjadi satu miliar. Arman selamat, Indira yang terjerat. "Utang ini harus lunas. Sekarang, atau kubuat kamu lunas juga." Indira hanya bisa berdiri di sudut ruang, tubuh gemetaran. "Beri waktu, aku akan bayar." Kartos menyeringai. "Sekalipun kamu berikan tubuhmu pada Santon, bos kami, satu miliar itu tetap utang. Tapi, kalau kamu mati, aku anggap lunas. Biasanya begitu. Bayar atau mati. Lumayan, organmu bisa dijual seperti para pengutang lain yang tak bisa membayar. Tapi baiklah, siapa tau kamu bisa. Aku beri waktu tiga hari." Indira mengerjap beberapa kali, lalu kembali pada kenyataan. Dibuangnya ingatan tentang sang debt collector kejam. Karena lama tak dijawab oleh Tuan Ilham, Indira berkata lagi. "Aku akan bekerja untuk Tuan sampai utang itu lunas. Asal Tuan mau bantu." Tuan Ilham tidak berkata apa-apa. Dia hanya terus menatap Indira. Lalu tangannya meraih ponsel, menekan satu tombol cepat. "Dedi, ke ruanganku sekarang." Tak sampai semenit, Dedi masuk. Tuan Ilham berdiri, merapikan jasnya. "Ajak dia ke rumah sakit. Lakukan pemeriksaan kesehatan yang lengkap termasuk rahimnya. Aku tunggu hasilnya." Dedi menatap lelaki itu. "Maaf, Tuan. Kenapa harus memeriksa pembantu ini?" Tuan Ilham hanya berjalan melewatinya, dan sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, dia berkata, "Ikuti saja!" Di dalam mobil, Dedi menyetir dengan pandangan lurus ke depan. Indira duduk di kursi penumpang, memeluk tas kecil usangnya. Jantungnya berdetak sangat cepat. "Om, Ded." "Iya?" "Kita mau ke rumah sakit buat apa?" Dedi menggeleng. "Aku hanya disuruh mengantar. Kamu dengar sendiri tadi." "Kenapa harus periksa rahim juga?" "Aku nggak tau, Dira! Kita ini kuli. Tak perlu banyak tanya!" "Tapi Om Ded asistennya." "Aku ini cuma asisten. Bukan ibunya." Indira diam. Dia keringatan. Padahal, suhu ruang mobil sangat dingin. * Satu setengah jam kemudian, Indira kembali ke rumah megah Tuan Ilham. Tangannya menggenggam amplop berisi hasil pemeriksaan. Dia mengetuk pelan pintu ruangan bosnya itu. Pintu terbuka otomatis. Tuan Ilham duduk di belakang meja, tampak tenang seperti biasa. Dia menyuruh Indira masuk dengan anggukan kecil. Indira melangkah pelan, lalu menyerahkan amplop itu dengan kedua tangan. Tuan Ilham membuka, membaca cepat, lalu mengangguk. Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. "Kesuburan kamu baik. Itu kabar bagus." Indira menelan ludah. "Aku bisa bantu kamu. Satu miliar akan aku berikan hari ini. Tapi tidak gratis." Hening sejenak. "Kamu harus menikah denganku. Hari ini. Tugasmu hanya melahirkan seorang anak laki-laki dalam waktu satu tahun." Indira membeku. Menikah dengan majikan? Dia pikir itu tak masuk akal. Dia sangat tahu, orang kaya tak semudah itu memberi harapan. Satu pertanyaan, terbersit di kepalanya. Ini jelas bukan karena cinta. "Kalau aku tak bisa hamil, atau melahirkan anak perempuan, Tuan?" "Tidak ada yang gratis, kan? Kalau kamu tidak berhasil. Aku akan ...." *“Kapan saya bisa pergi dari rumah Tuan Ilham?” tanya Indira sambil menaha rasa sesak di dada.Ternyata, setelah melahirkan seorang bayi walaupun bukan dengan melahirkan normal, perasaan keibuan dalam Indira hadir juga. Dia tidak ingin berpisah dengan bayi itu.“Kapan saja kamu mau pergi. Saya tidak akan menahan kamu untuk bertahan di rumah saya.” Ilham tampak begitu dingin di mata Indira. Dia ingin mencoba bertahan di rumah Ilham demi anaknya. “Tuan … apa saya tidak diizinkan untuk tinggal di rumah Tuan?” “Tidak, Dira. Kita sudah menandatangani surat perjanjian. Kamu harus pergi dari rumah saya setelah bayi itu lahir. Kenapa kamu jadi berubah dan tidak mau pergi dari rumah saya? Padahal kamu punya kesempatan buat hidup lebih baik di luar sana.” Ilham tampak heran pada Indira yang enggan pergi dari rumahnya. “Saya harus menepati janji say
Indira sudah dibawa ke rumah sakit dengan ambulans sedangkan Ilham langsung menuju rumah sakit tanpa pulang dulu ke rumah agar Indira segera ditangani. Di UGD, Indira sudah diperiksa dan ditangani oleh dokter. Kemudian, dokter menjelaskan keadaan Indira pada Ilham. “Syukurlah, janin dalam kandungan istri Bapak baik-baik saja. Kandungan istri Bapak cukup kuat sehingga tidak terjadi keguguran. Saya sudah periksa janin dalam kandungannya, kondisinya bagus dan saya harap tidak ada masalah di kemudian hari. Hanya saja istri Bapak harus bed rest selama satu minggu agar tidak terjadi sesuatu pada kandungannya.” Dokter menjelaskan semuanya pada Ilham. “Baik, Dok. Apa istri saya boleh beraktivitas seperti biasa?” “Sementara ini, jangan dulu banyak aktivitas. Lebih baik banyak berbaring saja dulu selama satu minggulah. Setelah itu boleh mulai beraktivitas sedikit. Yang penting tidak mengangkat beban yang berat-berat.” “Tapi, istri saya baik-baik aja kan, Dok?” “Iya, istri Bapak baik-baik s
“Kamu mau ke luar negeri?” tanya Ilham untuk memastikan.“Iya, Tuan. Bisa apa enggak?” “Bisa, Dira, bisa. Bisa banget malah. Kamu tunggu saja ya. Saya akan siapkan acara liburan kita ke luar negeri.” Dalam waktu dua minggu, Ilham sudah mengurus paspor Indira dan memesan tiket liburan selama satu minggu. Dia anggap kepergian mereka untuk memenuhi ngidamnya Indira. Padahal perempuan itu benar-benar ingin jalan ke luar negeri. Bukan karena ngidam. Negara tujuan pertama mereka adalah ke Malaysia. Mereka akan berada di sana selama dua hari. Ilham sudah menentukan jadwal mereka selama di sana. Pria itu mengajak Indira ke mal yang ada di Kuala Lumpur. Dia ingin Indira belanja di sana. “Kamu boleh beli apa saja di sini. Tas, sepatu, baju, semua yang kamu mau.” Ilham siap membelikan Indira apa saja di sana. Namun, yang terjadi adalah Indira hanya membeli beberapa kaos untuk oleh-oleh yang akan dia berikan pada pembantu yang bekerja di rumah Ilham. “Saya mau beli semua ini, Tuan.” Ilham
Ilham sangat memperhatikan kehamilan Indira sejak kepulangannya dari luar kota. Mulai dari sarapan, makan siang hingga makan malam. Dia juga mengatur jam istirahat Indira. Dia ingin anak dalam kandungan Indira tumbuh dengan sehat. “Kamu harus makan tiga kali sehari ya, Dira. Makanan kamu akan saya atur yang banyak gizinya. Camilan juga saya yang tentukan. Kamu tinggal minta sama Rania. Dia akan menyiapkan semuanya buat kamu.”“Baik, Tuan.”Indira tidak akan membantah karena dia tahu semua demi kesehatan bayi dalam perutnya. Perempuan itu rela mengandung yang penting setelah melahirkan dia bisa keluar dari rumah itu. “Tuan, apa saya boleh minum susu khusus ibu hamil?” Jika Ilham melarang, dia akan membuang semua susu itu dan akan diam karena sudah minum susu itu. “Sepertinya boleh saja. Susu itu bagus untuk ibu hamil. Jadi, tidak masalah.”“Oh ya, baik, Tuan.”“Kamu lagi pengen makan sesuatu enggak, Dira? Mangga muda atau rujak? Yang saya tahu ibu hamil suka makan makanan asam seper
“Dijaga kehamilan istrinya ya, Pak. Berikan makanan yang sehat dan bergizi. Jangan lupa vitamin juga. Terus istirahat yang cukup. Boleh beraktivitas seperti biasa saja, yang penting tidak terlalu capek.” Dokter menjelaskan pada Ilham.“Baik, Dokter. Saya enggak ngasih istri saya kerjaan yang berat-berat kok. Ada lagi yang lainnya, Dok?”“Sementara ini konsultasinya dua minggu sekali ya, Pak. Terus untuk masalah hubungan suami istri tidak ada larangan, cuma jangan berlebihan saja karena usia kandungannya juga masih muda ya, masih rawan terjadi apa-apa.” “Oh, ya, Dok. Terima kasih untuk penjelasannya.” “Anak pertama ya, Pak? Semoga istrinya sehat dan kehamilannya lancar.” “Aamiin.” Selesai konsultasi dengan dokter kandungan, Ilham mengajak Indira pulang ke rumah. Sebagai tanda rasa syukur, malam besoknya pria itu memesan makanan untuk semua pembantu dan pelayan yang ada di rumah itu yang berjumlah sekitar 10 orang. “Doakan kehamilan Dira lancar dan Dira selalu sehat.” Ilham meminta
Tiba di ruangan dokter kandungan, Ilham tidak melewatkan kesempatan untuk banyak bertanya pada dokter tersebut. Yang ada dalam pikirannya adalah Indira harus cepat hamil.“Dok, saya baru menikah dengan istri saya selama satu minggu, tapi kenapa dia belum juga hamil, ya?” “Setelah menikah apakah Bapak langsung berhubungan suami istri?” “Iya sudah pasti, Dok. Kan, saya mau istri saya cepat hamil, tapi kenapa dia belum juga hamil ya, Dok?” Dokter tersebut menahan senyum mendengar ketidak sabaran Ilham untuk segera memiliki anak. “Begini ya, Pak. Kalau Bapak mau istrinya cepat hamil, perbanyak berhubungan ketika istrinya sedang subur, yaitu seminggu setelah berakhirnya masa haid, waktunya hanya satu minggu saja. Sekarang saya tanya, kapan istri Bapak terakhir haid?” Dokter bertanya pada Indira juga.Indira terdiam. Dia takut Ilham akan marah jika dia mengatakan jika saat ini dia sedang haid.“Kenapa kamu diam saja, Dira? Dokter tanya kamu, kapan kamu dapet haid terakhir.” Indira masih
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen