Share

Bab 4

 

 

"Bapak, manggil saya?" tanya Alya, begitu sampai di ruangan sang Direktur.

 

Sebagai jawaban Rei, mengangguk lantas menatapnya dengan sekilas.

 

"Ada hal penting, yang perlu saya bicarakan," sahut Rei, sambil mengendurkan dasi yang terasa mencekik semenjak kedatangan Alya di hadapannya.

 

Pandangan mereka kembali bersirobok, menyiratkan banyak cinta. Tapi sayangnya, cinta itu tak akan pernah bisa untuk disatukan  seiring dengan berjalannya takdir.

 

"Tolong, jauhi Davin!" pinta Rei, masih menatap Alya. 

 

Permintaan Rei, membuat Alya terperangah. Seolah tak paham mengapa dirinya harus menjauhi Davin?

 

"Memangnya kenapa Pak? Bukannya Davin, sudah pergi ke luar Negeri." 

 

"Kamu dan adik saya Davin, nggak cocok! Davin terlalu muda juga hampir sempurna, jika harus bersanding dengan perawan tua sepertimu!" seloroh Rei, tak sadar telah membuat orang yang dia cinta merasakan sakit untuk yang kesekian kali.

 

Alya berusaha untuk tetap tegar, di hadapan Rei yang seolah tak pernah puas untuk menyakitinya.

 

"Kamu tau, kenapa aku menjadi perawan tua? Dan enggan untuk menikah dengan pria mana pun!" Alya bertanya, dengan napas tersenggal.

 

Rei menatap sinis, sambil mengangkat bahu. Baginya Alya memang perawan tua, yang berharap untuk dinikahi oleh Pangeran seperti Davin.

 

"Semua karena ulah kamu Rei! Dan aku trauma, untuk menjalin cinta dengan pria lain termasuk Davin sekali pun. Apa kamu nggak sadar akan hal itu?"

 

Pertahanan Alya runtuh seketika, ternyata menjadi wanita tegar memang tak mudah. Terlebih di hadapan Rei, orang yang sangat dicinta sekaligus menikam hatinya selama dua tahun ke belakang.

 

Pria jangkung bertubuh tegap, merasa iba melihat tetesan air bening yang keluar dari kedua netra sang pujaan.

 

Ingin memeluk dan membuat Alya tenang, atas ucapan yang baru saja ia lontarkan.

 

"Lupakan semua yang pernah terjadi di antara kita Al! Kamu boleh menikah dengan siapa pun, asal tidak dengan Davin!"

 

Alya mendongak, menghapus air mata, "Baik, kalau itu yang kamu mau Rei. Semoga saja, kamu tidak akan pernah menyesal sebab telah membuat hatiku sakit bertubi-tubi!"

 

Wanita cantik bertubuh ramping, sekali lagi menghapus air mata dengan kasar. Pria seperti Rei, tak pantas lagi ia tangisi. Pikir Alya, sesaat pergi dari ruangan yang terasa seperti neraka!

 

"Andai kamu tau Al, bahwa aku masih sangat mencintai juga berharap keajaiban itu datang. Mempersatukan kembali cinta kita yang pernah putus," ucap Rei, ketika Alya sudah berlalu pergi.

 

"Al, kamu habis ngapain dari ruangan si Boss? Kok, tiap keluar dari sana. Matamu selalu sembab," tanya Dewi, wanita bertubuh gempal yang masih menyandang status jomblo.

 

"Biasa, kelilipan tadi," jawab Alya, yang tentu saja tak membuat Dewi puas dengan jawaban palsunya.

 

Sekali lagi Dewi, menatap heran pada Alya. Tiba-tiba rasa ingin tau begitu menjalar dalam diri, tentang hubungan sang Direktur juga Alya?

 

"Ada banyak hal, yang ternyata aku nggak tau tentang kamu Al. Aku kira kita bukan hanya sekadar teman, tapi, juga sahabat."

 

Santi berujar lirih, sikap Alya yang baru saja keluar dari ruangan Boss baru. Membuat rasa ingin taunya semakin membuncah.

 

"Ma-maksud kamu apa sih? 'Kan aku udah bilang tadi, cuma kelilipan aja."

 

"Hisss, aku ini bukan anak kecil Al! Yang bisa kamu bohongi, sedari awal aku udah lihat perubahan kamu ketika melihat Direktur baru kita."

 

Alya bengong, tak dinyana jika sikapnya selama ini mengundang kecurigaan orang lain.

 

"Aku dan Pak Rei, nggak ada hubungan apa-apa kok!" Alya menatap Santi, lantas menyentuh punggung tangan si teman.

 

"Loh, aku nggak ngomong kalau kamu dan Pak Rei ada hubungan. Atau jangan-jangan, kalian memang pernah terlibat suatu asmara yang begitu rumit lagi."

 

Alya menghembuskan napas secara perlahan, mencari jawaban yang tepat. Agar Santi berhenti menaruh curiga.

 

"Excuse Me, Pak Direktur ada 'kan di ruangannya?" tanya seorang wanita, dengan balutan pakaian seksi. Membuat belahan dada, terpampang begitu nyata.

 

Santi dan Alya mengangguk, agak kaget dengan kedatangan si wanita yang secara tiba-tiba.

 

Pikiran Alya melayang, tertuju pada wanita yang kini berhamburan masuk ke dalam ruangan sang mantan.

 

Dalam hati bertanya, siapakah dia sebenarnya? Mungkin, lain kali Alya akan mencari tau. Sebelum rasa penasaran menghantui diri.

 

"Bebb, aku datang." 

 

Mey tersenyum sumringah, mendapati sang tunangan yang semakin hari bertambah ketampanannya.

 

Ia langsung memeluk Rei, sengaja merapatkan tubuh. Ingin membuat prianya merasakan kehangatan di pagi hari yang begitu cerah.

 

Dipeluk lantas dicumbu oleh Mey, Rei hanya terdiam. Selalu begitu, tak ada penolakan atau bahkan pembalasan.

 

Mey merasa Rei terlalu kaku, bagaimana mungkin wanita secantik juga seksi seperti dia diabaikan begitu saja!

 

Dilepasnya pelukan juga cumbuan, yang tak pernah mendapat balasan, "Kamu nggak asyik, Bebb."

 

Mey menghempaskan diri di sofa, dalam hati mulai bertanya. Apakah Rei pria normal? Hingga tak pernah mendamba tubuh moleknya.

 

"Ini Kantor, Mey. Lain kali jangan pernah berpakaian seperti itu!" pinta Rei, berharap si tunangan mau mendengar nasehatnya kali ini.

 

"Sengaja, biar kamu tergoda. Tapi, kamu selalu saja kaku. Apa sih kurangnya aku Rei?" Mey menangis, lebih tepatnya pura-pura. Agar si pria merasa iba.

 

Rasa bersalah kian menjelma, dua kali dia telah membuat wanita menangis hanya karena dirinya.

 

Rei berjalan menuju pintu utama, lantas mengunci dan melakukan sebuah panggilan. Yang katanya, dia tak ingin diganggu selama ada kekasihnya.

 

Ia berjalan menghampiri Mey, yang masih menangis tersedu.

 

Diangkatnya wajah Mey, tatapan mereka saling bertemu satu sama lain. Bohong jika Rei tak pernah tergoda oleh tubuh seksinya selama ini, hanya saja cintanya memang bukan untuk Mey.

 

"Kamu mau apa dariku?" Rei bertanya, masih menatap Mey. Dengan tatapan kosong, pikirannya sendiri mengembara jauh.

 

Mey tak menjawab, ia kembali berhamburan memeluk si tunangan.

 

Dan kali ini Rei membalas pelukan darinya, wanita yang sudah dua tahun menjadi tunangan.

 

Ruangan sang Direktur, dipenuhi dengan cumbuan dari keduanya. Sesuatu yang selama ini sangat dinantikan oleh Mey, justru datang di pagi ini.

 

Alya menatap pintu Pak Direktur dengan wajah tegang, rasa ingin tau kian membuncah. Tatkala wanita seksi itu, tak kunjung keluar setelah satu jam kedatangannya.

 

Terlebih dengan pintu yang terdengar di kunci dari dalam, juga sebuah panggilan yang menyatakan si Boss tak ingin diganggu bersama wanitanya.

 

Membuat pikiran Alya, semakin berkecamuk. Api cemburu tengah membakar hatinya saat ini.

 

"Jadi kepengen ngintip deh," celoteh Santi, melirik pintu Pak Direktur yang belum terbuka jua.

 

Alya berusaha tetap tenang, di hadapan Santi, "Huss, sembarangan! Yang ada kamu langsung dipecat sama dia."

 

Santi terkekeh pelan, pikiran kotor terus memenuhi otaknya.

 

"Boss mah bebas ya, mau ngelakuin apa pun di Kantor. Termasuk anu," sahut Dewi, yang tak berada jauh dari kursi mereka.

 

Alya dan Santi saling berpandangan, rupanya Dewi memperhatikan juga.

 

Santi dan Dewi terlibat obrolan seru, sedang Alya masih sibuk dengan pikirannya. Ia mulai menebak, bahwa Rei meninggalkannya pasti karena wanita itu.

 

"Gimana, kamu puas Mey?" tanya Rei, lantas meneguk satu gelas air. Tenggorokannya terasa kering, setelah bercinta dengan si tunangan.

 

Mey mengulum senyum, lantas merapikan bajunya yang terlihat kusut. 

 

"Aku nggak sabar, Bebb. Pengen segera nikah sama kamu, biar mainnya lebih puas."

 

Mey mengerling nakal, masih tak percaya dengan percintaannya dengan Rei.

 

"Itu bisa diatur," ucapnya, menatap Mey dengan balutan pakaian seksi.

 

"Antar aku pulang, Bebb. Kamu bisa 'kan?"

 

Rei mengangguk, lantas mengambil kunci mobil.

 

Saat ruangan Direktur terbuka, para staff yang tadinya kepo. Lantas bergegas menuju kursi masing-masing.

 

Mey bergelayut manja pada Rei, membuat Alya iri. Perlakuan keduanya sangat menghujam batin, terasa ditusuk ribuan jarum!

 

"Mereka pacaran ya?" tanya Santi, dengan mata masih menatap kedua pasangan yang begitu sempurna.

 

Alya mengangkat bahu, seolah tak perduli dengan hubungan mereka. Padahal, Alyalah orang yang paling terluka saat ini.

 

***

 

"Bagaimana dengan lamaranku tempo lalu Al?" Pria muda yang sudah melepas jabatannya, kini menatap wanita yang tak berada jauh.

 

"Jawabannya masih sama Pak, saya belum siap untuk menikah. Dan lagi, saya tidak pernah mencintai Bapak." Alya menunduk lebih dalam, merutuki diri yang terlalu jujur dengan perasaannya.

 

Pria muda itu tampak menghela napas dengan berat, gurat kekecewaan begitu jelas di wajah tampannya.

 

"Apa kamu nggak bisa, belajar untuk mencintai aku?" Davin bertanya, sambil meraih tangan Alya.

 

Alya menelan saliva, merasa kasihan terhadap mantan Boss. Ia sendiri tak pernah tau, bisakah dirinya untuk belajar mencintai Davin.

 

"Saya nggak bisa Pak! Apalagi, Pak Rei menyuruh saya untuk menjauhi Bapak!"

 

Mendengar hal itu, tentu saja Davin dibuat kaget. Untuk apa sang Kakak, ikut campur dengan urusan cintanya?

 

"Apa katanya?" tanya Davin, ingin tau lebih jelas.

 

"Kata Pak Rei, saya hanya perawan tua. Yang nggak pantas bersanding dengan Bapak, terlebih level kita juga bedalah!"

 

Alya tersenyum getir, masih mengingat betul tentang percakapannya bersama Rei.

 

Davin terlihat marah, bisa-bisanya Kak Rei melakukan hal yang tak pernah ia sangka sebelumnya.

 

"Tolong jangan bertengkar Pak, saya nggak mau nantinya Pak Rei marah."

 

"Kalau begitu aku pamit Al, meski pun kita nggak bisa jadi pasangan. Tapi, kita tetap bisa berteman 'kan?"

 

Alya mengangguk, sedikit lega sebab Davin bisa mengontrol emosi. Berbanding terbalik dengan Kakaknya.

 

"Satu lagi, kamu panggil Davin aja. Dan, jangan terlalu formal. Aku kamu, kayaknya lebih enak didengar!" 

 

Sekali lagi Alya mengangguk setuju, lantas melepas kepergian Davin. Ia sendiri tak bisa mengantarnya hingga ke Bandara, sudah dipastikan akan ada Rei juga keluarganya di sana.

 

Tangan Davin terus mengepal dengan kuat, marah sebab Kakak terlalu ikut campur dengan urusan cintanya.

 

Masalah usia dan derajat yang mungkin tak selevel, bisa ia pikirkan nanti. Namun, masalah lain seolah datang tatkala diri tengah berusaha untuk mendapat cinta dari Alya.

 

Kak Rei berhutang penjelasan pada Davin, alasan apa hingga dirinya mengancam Alya?

 

Davin bahkan rela, jika harus meninggalkan kekayaannya demi Alya. Wanita yang telah membuatnya setengah gila!

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
murahan bgt si rey bkn nya dihalalin dlu, mending gk ush alya ngarepin rey yg kyk gtu sumpah sakit ati bgt baca novel model laki kyk rey murahan gini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status