Share

Bab 7

 

Pertemuan antara dua keluarga, dengan level sederajat. Kembali digelar, kali ini Putralah yang menjadi tuan rumah.

 

Jangan tanya gimana perasaan Rei, berkali-kali ia mendengus kasar. Berharap pertemuan mereka segera berakhir!

 

"Minggu depan, akan ada acara besar di rumah ini," tukas Putra, sambil bertukar pandang dengan si sulung.

 

Enggan untuk bicara, Rei memilih bungkam. Sebab, ia pikir acara itu hanya pertemuan para pemegang saham.

 

"Acara apa itu?" Pertanyaan terlontar, justru bukan dari Rei. 

 

Davin merasa penasaran, rasanya sudah lama tak ada acara apa pun di rumah mewah milik mereka.

 

Di sudut sana, seorang wanita cantik juga seksi. Terus mengulum senyum, kedua netranya tak pernah bosan tatkala memandang sang tunangan.

 

Putra mengatur napasnya, sebelum menjawab pertanyaan dari Davin," Acara nikahan Kakakmu dan tentu saja dengan Mey." 

 

"Damn!" Rei memaki secara spontan, "Maksud Ayah apa sih?" 

 

Putra masih bersikap tenang, seolah tau jika Rei pasti akan melempar amarahnya, "Kamu dan Mey, akan menikah Rei."

 

Rei mendelik tajam, bagaimana bisa pernikahan dilaksanakan tanpa pernah meminta persetujuan darinya.

 

"Aku nggak mau, Yah. Kenapa sih, kalian itu selalu memaksakan kehendak sendiri? Tanpa diskusi terlebih dulu," cecar Rei, masih tak menerima dengan keputusan Ayah secara tiba-tiba.

 

Ketegangan antar dua keluarga, kembali terjadi. Putra seolah kehilangan kata, malu juga dengan calon besan sebab penolakan dari Rei berkali-kali.

 

Davin sendiri mengangkat bahu, kali ini setuju terhadap keputusan Ayah. Sudah dua tahun mereka tunangan, tapi, untuk melangkah ke jenjang pernikahan terasa begitu sulit bagi sang kakak.

 

Kemarahan tak hanya dirasa oleh Rei, Wira sebagai Ayah dari Mey. Ikut marah, lantas menggebrak meja makan. Matanya menyiratkan banyak kekecewaan di sana.

 

"Saya merasa terhina dengan penolakan ini, dua tahun kamu menggantung Mey. Tanpa berniat untuk menikahinya, kamu pikir kamu ini siapa hah? Berani sekali menolak keluarga Wira!"

 

Semua ikut bungkam, tak berani bersuara. Masih menimbang, kata apa yang mampu mereka lontarkan untuk merendam amarah si calon besan.

 

Rei menghela napas, sebelum kembali angkat bicara, "Kalau gitu, pernikahan ini kita batalkan saja Om!"

 

"Cukup Rei! Sepertinya kamu butuh istirahat, masalah ini bisa kita bahas lain kali!" tukas Vita, Ibu Rei berharap suasana makan malam kembali tenang.

 

Rei mendongak, tak setuju dengan ucapan sang Ibu, "Nggak perlu Bu! Sedari awal, Rei emang nggak niat untuk menikahi Mey. Kalian saja yang sok tau, sekarang biarkan aku memgejar kembali cinta yang dulu pernah ditinggal!"

 

"Urus anakmu Put! Pokoknya, aku nggak mau tau. Minggu depan pernikahan mereka harus berjalan dengan mulus, kalau kamu menolak. Tau sendiri akibatnya!"

 

Wira menggandeng sang istri, lantas melirik Mey. Memberi kode agar mereka segera meninggalkan rumah milik Putra, yang selalu dipenuhi ketegangan.

 

Putra mengangguk, lantas menghempaskan diri. Kekecewaan bercampur amarah, kian bercampur menjadi satu.

 

Ia memijat kening, yang terasa begitu membuat pusing, "Ayah capek Rei, berdebat denganmu selalu tak pernah menemukan ujung penyelesaian."

 

"Nasib keluarga kita, ada di tanganmu. Pikirkan dengan matang, sebelum mengambil keputusan!" Putra kembali berucap, sebelum beranjak pergi meninggalkan ruang makan.

 

Vita mengekor di belakang, kepalanya dibuat pusing. Dengan kelakuan Rei.

 

"Aku jadi penasaran, sebenarnya. Siapa sih wanita masa lalu Kakak? Udah dua tahun loh, tapi, kehadiran Kak Mey. Sama sekali nggak bisa buat Kakak move on dari wanita itu," tanya Davin, sambil asyik menyantap makanan tanpa rasa beban.

 

Rei mendelik, menatap sinis pada sang adik. Kejadian tempo lalu, masih terekam jelas dalam ingatan. Bagaimana Davin, memukulnya habis-habisan tanpa belas kasihan.

 

"Itu bukan urusanmu!" sahut Rei, ikut pergi meninggalkan ruang makan. 

 

Davin meringis, keharmonisan keluarga mereka selalu saja diambang kehancuran. Hanya karena keluarga Wira, si penanam saham terbesar di Kantor mereka.

 

"Atur pertemuan dengan wanita bernama Alya, besok!" titah seorang pria, sambil menatap istrinya dengan lekat.

 

Vita menghela napas, "Seharusnya, kita nggak usah berhubungan lagi dengan wanita itu."

 

"Terpaksa! Demi keluarga kita Bu, emangnya Ibu mau kalau kita jatuh miskin? Jika sampai Pak Wira memutuskan kerjasama dengan Kantor kita," ujar Putra, mulai merencanakan sesuatu di otaknya.

 

"Apa, kita nggak egois Yah? Dua tahun loh, Rei berkorban demi kita. Mengubur cintanya terhadap Alya, eh sekarang. Wanita itu malah muncul lagi, jadi gagal move on deh!"

 

"Nah itulah Bu, padahal tinggal selangkah lagi. Wanita itu seolah menghancurkan segalanya, apalagi Davin. Mulai menyukai Alya juga, Ayah heran. Apa sih yang mereka lihat dari Alya? Wanita kurus kering juga," seloroh Putra, tak sadar telah menghina ciptaan Allah.

 

"Meski pun dia kurus, dia itu cantik Yah. Sopan lagi, sesuatu yang nggak semua wanita bisa miliki."

 

Putra mendengus kasar, tak percaya bila sang istri memuja wanita yang telah membuat keluarganya runyam, "Cuih! Ayah nggak setuju, pokoknya Ayah nggak akan biarin Rei juga Davin bersanding dengan wanita itu!"

 

Hening. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari Vita, walau sekadar mempertahankan pujiannya untuk Alya.

 

Davin sendiri memutuskan untuk menemui Alya, sengaja datang tanpa memberi kabar. Biar suprise katanya.

 

Sepanjang perjalanan, Davin terus bersenandung. Dalam hati berjanji, akan terus berusaha untuk membuat sang pujaan. Membuka hati, lantas membalas cintanya.

 

Davin masih ingat betul, bagaimana awal pertemuan mereka. Alya terlihat lebih muda, dari usia yang sebenarnya.

 

Alya mampu menembus hatinya, membuat Davin jatuh hati pada pandangan pertama. 

 

Tanpa seleksi apa pun, Alya diterima dengan mudah di Kantor. Sikapnya yang manis, membuat Davin makin menyukai wanita ramping dengan rambut panjang terurai.

 

Davin segera menepis pikirannya, kembali fokus pada jalanan. Tentu dengan senyum yang terus mengembang.

 

Rumah sederhana milik Alya, menjadi pemandangan utama bagi Davin. Namun, tidak biasanya rumah itu terlihat ramai.

 

Rasa ingin tau, membuat Davin bergegas menuju pintu rumah. Dengan mengendap, berharap segera tau tentang obrolan mereka.

 

"Bagaimana Al, apa kamu mau menikah dengan Tiyo?" tanya seorang Bapak tua, menatap lekat pada Alya.

 

Di bawah tatapan sendu miliknya, Alya menggeleng dengan tegas!

 

"Sombong banget sih! Udah untung ada pria yang mau melamar kamu, eh malah ditolak. Ingat umur Al, sampai kapan kamu jadi perawan tua kayak gini!" Seorang Ibu, berkacak pinggang sambil memarahi Alya. Persis seperti anak kecil, yang sedang merengek ingin dibelikan mainan.

 

Alya memenjamkan mata, hinaan demi hinaan terus terlontar untuk dirinya. Dan, ia sama sekali tak bisa berkutik.

 

Apa salahnya jika di usia 30 tahun, belum mau menikah? Apalagi, rasa trauma akan kejadian tempo dulu membuatnya enggan untuk berkomitmen.

 

"Mih, Alya nolak aku. Pokoknya aku nggak terima, aku harus nikah sama dia Mih!" rengek Tiyo, si anak Mamih yang katanya mau menikahi Alya.

 

Alya bergidik, tak mungkin jika dirinya pasrah begitu saja. Daripada menikah dengan Tiyo, ia lebih baik bersama Davin.

 

Pria muda dengan wajah tampan, juga pembawaannya yang begitu lembut. Jauh sekali dengan Tiyo!

 

Davin sendiri mengulum senyum, tak menyangka jika yang melamar sang pujaan. Bukanlah saingan berat.

 

Dalam hati terus bersorak riang, apalagi mendengar penolakan Alya untuk pria yang sama sekali tak pantas bersanding dengan wanitanya.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status