Share

03. Alasan

"Gue yakin banget, kalian pasti punya hubungan apa-apa. Masa iya, baru ketemu beberapa saat aja dia udah ngatain senyuman lo mengerikan?"

__fans, yang tak terima.

๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿƒ

"FIX, bos baru kita bakal lebih nyebelin dari yang kemarin!" komentar Dira begitu mereka selesai memesan makan dan duduk di meja paling ujung, tempat biasa mereka istirahat di kafetaria kantor yang ada di lantai satu.

Dara menatap Dira dengan wajah ingin tahu. Biasanya Dira jarang berkomentar mengenai bos baru mereka, karena rata-rata bos mereka akan selalu menyayangi Dira layaknya anak emas kantor.

Dira memang selalu terkenal baik di mana-mana. Bukan hanya fisiknya yang sempurna, tapi pekerjaannya pun selalu luar biasa. Tak jarang kalau dia benar-benar menjadi anak emas di divisi mereka.

"Tumben lo bisa komentar gitu?" tanya Dara, yang kini sibuk memakan makan siangnya secara lahap.

Di divisi mereka ada delapan orang, empat di antara adalah orang-orang tua yang lebih dianggap senior di antara mereka. Dan empat orang lagi membentuk sebuah geng yang tidak bisa terpisahkan, karena usia dan cara pikir mereka kerap selaras dan saling melengkapi.

Dira dan Dara bagian dari anggota geng itu, ditambah Agus dan Farhanโ€”pria yang lebih banyak diam dan menyimak pembicaraan antara ketiga temannya. Farhan lebih tua dari mereka. Dia sudah beranak-istri dan hadirnya pria itu kerap menjadi penengah di antara tiga orang yang masih memiliki pemikiran khas anak kecil yang masih suka labil.

"Ya, gimana gue nggak komentar gitu, coba? Gue baru aja masuk ruangan, kasih laporan, kata dia, 'revisi,' satu kata doang anjir! Mana gayanya dingin banget, belum sempat baca semua laporan gue pula dan dia udah berani komentar begitu. Astaga! Apa nggak bisa dia nyuruh gue duduk dulu, cek laporan dengan wajah ganteng ditambah senyum manis, baru nyuruh gue revisi dengan nada halus. Gue bakal berangkat dengan senang hati, bukannya dongkol setengah mati kayak gini."

Farhan menghentikan acara makannya. "Lo serius dia kayak gitu ke lo, Ra?" tanyanya, menatap Dira lurus-lurus.

"Ya, seriuslah!" Dira memandangi Dara serius. "Lo sendiri gimana, Ra? Lo udah disemprot pagi-pagi sama dia, kan? Cuma berdiri doang di tengah ruangan dibilang ngehalangin jalan. Emang ruang seluas itu nggak ada jalan lain apa?"

Dara meringis mengingat peristiwa tadi pagi dan tanggapan Galih padanya.

"Gue setuju sama lo, sih, Ra." Agus tiba-tiba nimbrung setelah selesai melahap baksonya. "Gue agak aneh aja sama si Galih-Galih itu, terutama tanggapan dia ke Dara. Masa segitu sensinya cuma gara-gara ngelihat Dara ngelamun doang? Baru ketemu beberapa saat aja dia udah ngatain senyuman lo mengerikan!" Agus menatap Dara penuh selidik. "Lo ada apa-apa, ya, sama bos baru itu?"

Dara meringis mendengar kecurigaan Agus padanya. Perempuan itu memilih melanjutkan makan siangnya, sebelum Farhan yang biasanya peka mengetahui rahasianya melalui gerak-gerik tubuhnya.

"Kalian pernah kenal sebelum ini?" tanya Farhan, setelah memastikan Dara menelan semua makan siangnya.

Dara mendorong piringnya menjauh. "Kayaknya, sih, gue emang pernah kenal sama dia."

Agus memelototinya. "Serius? Jadi, lo emang sengaja manggil dia Aji tadi pagi?"

Dara menggeleng cepat. "Gue nggak sengaja, serius, itu cuma refleks, tapi dia beneran bereaksi kayak gitu." Dara meringis, dalam hatinya dia mulai yakin kalau Aji dan Galih memang orang yang sama sekarang.

"Dan reaksinya, terlalu berlebihan menurut gue." Farhan menghela napas kasar. Dia tak menyangka, atasan barunya dan salah satu rekan kerjanya memiliki jejak masalah yang sepertinya cukup besar. "Lo pernah ada masalah sama dia?"

Dara menggumam samar-samar. "Kalau emang bener, dia mantan gue sembilan tahun yang lalu."

"APA?!"

"WHAT THE HELL! SERIUS LO?" tanya Dira yang kini menatap Dara tidak percaya.

Dara hanya mengangguk-angguk, lalu menggeleng ragu. "Gue nggak punya bukti pasti, tapi emang nama dia sama persis kayak nama mantan gue dulu, walaupun sifatnya beda banget sama Aji yang pernah gue kenal dulu."

Agus dan Dira mengeluarkan suara 'oh' yang menandakan keduanya paham situasi Dara sekarang. Sedangkan Farhan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Oh, jadi begitu. Pantas aja mood-nya langsung anjlok seharian abis ngomong sama lo tadi pagi. Kayaknya dia masih punya perasaan lebih ke lo."

Dara mendengkus pelan. "Mana mungkin masih punya perasaan kayak gitu ke gue? Lagian sekarang dia udah banyak berubah."

"Tapi, bisa aja, kan?" tanya Farhan mencoba menggali perasaan Dara pada bos baru mereka ini.

Dara terdiam, kemudian menggeleng pelan. "Kayaknya nggak mungkin, deh, Bang. Dia beneran udah banyak berubah. Beda banget sama dia yang pernah gue kenal dulu. Kalaupun dia masih punya perasaan kayak gitu ke gue, ngapain dia jadi segalak itu tadi pagi, kan? Kenapa nggak cipika-cipiki kayak temen lama ketemu lagi?"

"Bener juga, sih," komentar Farhan yang mulai pasrah akan persepsinya sendiri.

"Ra, asli sekarang gue beneran penasaran." Agus tiba-tiba bersuara.

"Ra, siapa?" tanya Dara dan Dira secara bersamaan, seperti sengaja mengerjai Agus yang kini mendelik kesal ke arah mereka.

"Dara, gue mau nanya!" ulang Agus, kali ini lebih jelas walau raut wajahnya masih kesal juga. Lagi serius malah diajak bercanda.

"Nanya apa?"

"Dulu, siapa yang mutusin hubungan kalian?" tanya Agus yang kini menatap Dara intens.

Dara hanya diam. Dia melirik jam dinding di kafetaria sebelum membalas pertanyaan Agus padanya. "Gue yang mutusin dia."

Dan ketiganya dengan kompak langsung berteriak ke arahnya. "PANTESAN DIA JADI KAYAK GITU!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status