Ketika ekspetasi berbanding terbalik dengan realita
~~•••~~ "Selamat pagi tetangga baru." Mata Vina berkedut, rasanya ia ingin menangis. Sejauh mana pun Vina berada, kenapa selalu Sean yang muncul di hadapannya. TAKDIR MACAM APA INI?! Emosi Vina memuncak ke ubun-ubun, ia sudah muak dengan Sean. Namun semua emosinya seketika sirna, saat Sean memajukan wajahnya ke depan wajah Vina. Dengan jarak yang begitu dekat, Vina bisa melihat dengan jelas wajah tampan yang sempat ia kagumi. Rahang tegas dan hidung mancung, ditambah bola mata yang entah kenapa mampu membuatnya terpesona. Vina refleks menutup mulutnya, karena tiba-tiba ia cegukan. Vina tersadar, matanya melotot karena wajah Sean yang ada di depannya hanya berjarak sejengkal. "Dasar mesum!!" teriak Vina saat tahu ke mana arah mata Sean memandang, ia mendorong wajah Sean dengan kasar. Sean jelas terkejut, mendapat reaksi Vina yang berlebihan. Sean sampai terdorong mundur dan Vina langsung masuk membanting pintu. "Dasar cewek bar-bar!" Dengus Sean. Membenarkan tatanan rambutnya yang berantakan akibat ulah Vina. Sementara Vina, bersandar di belakang pintu. Berusaha menormalkan degup jantungnya yang berdetak tak karuan. "Bego! Bego!" Vina menampar pipinya sendiri. Bagaimana bisa ia terpesona dengan lelaki buaya macam Sean. Pondasi yang ia bangun bertahun-tahun hampir saja runtuh, andai Vina tidak segera sadar. Bayangan wajah Sean yang menyebalkan terus berputar-putar di kepalanya, membuat Vina frustasi. "Ya Tuhan, kenapa takdir hamba setragis ini. Berasa sinetron banget hidup gue," gumam Vina, mengusap kasar wajahnya. "Vina!!" "Buka!" Vina mendengus, pintunya digedor oleh Sean bahkan ia terus berteriak di luar sana. "Dasar gak punya malu!" Vina mengabaikannya. Ia berjalan menuju kamar mandi, lebih baik berendam menenangkan diri dari pada harus meladeni Sean. Sean geram bukan main, dirinya merasa direndahkan karena harus berdiri di depan pintu. Seperti rentenir yang sedang menagih hutang. "Oke Davina, kita lihat saja. Sejauh mana lo mampu bertahan." Sean menyeringai, ia mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Halo." Sean menghubungi seseorang. "Di mana kunci cadangannya?" Senyumnya terbit seketika setelah mendapat jawaban dari orang yang diteleponnya. ---- Vina keluar dari kamar mandi, seperti biasa ia hanya mengenakan hotpants dan tanktop. Vina menggulung rambutnya dengan handuk. Vina berjalan keluar kamar, berniat untuk memasak. Betapa terkejutnya Vina mendapati Sean sudah duduk di meja bar kitchen. Dengan tidak tahu dirinya Sean melambaikan tangan, menyapa Vina. "Hai!" Ya Tuhan, cobaan macam apa lagi yang harus hamba hadapi. Jerit Vina dalam hati. Rasanya ia ingin melempar Sean dari balkon. Terjun bebas menghantam conblock. "Ngapain lo di sini?" Dengus Vina, ia berjalan menuju dapur. Sean memperhatikan Vina, tampak tak berkedip. Sial! Rutuknya, kenapa ia jadi mesum begini. Sean mengumpati diri sendiri. Ia bukan Rey, tapi melihat body Vina membuat tenggorokannya kering. "Ekhem!" Sean berdehem, tapi Vina mengabaikannya. Vina sibuk membuat kopi. "Gue laper, buatin sarapan. Nasi goreng seafood," celetuk Sean. Vinas mencengkram erat cangkir kopinya, ia berbalik menghadap Sean. "Gue bukan pembantu lo!" ketusnya. "Emang bukan," balas Sean tampak tenang. "Tapi lo sekretaris gue. Buatin gue sarapan itu juga termasuk tugas lo." Vina membulatkan mata, sejak kapan sekretaris mengurusi urusan perut bosnya. Itu di luar ekspetasinya. "Gak, gue gak mau!" Vina hendak kembali ke kamar, namun Sean berhasil mencekal lengannya. Sean menarik Vina hingga ia terjatuh ke pangkuan Sean. Mata Vina melotot, ketika bersitatap dengan Sean. Lagi-lagi Vina cegukan, ia langsung membungkam mulutnya. Sean menaikkan sebelah alisnya, menatap Vina seintens mungkin. Hingga Vina tampak salah tingkah, ia mendorong Sean dan turun dari pangkuannya. "Lo gak mau kan gue lapor polisi? Jadi cepet buatin!" perintah Sean. Sial! Vina merutuki perjanjian itu, membuatnya terjebak dalam lingkaran setan. Salah, maksudnya Sean. Tapi Sean memang tidak ada bedanya dengan setan si. Batin Vina. "Tunggu apa lagi?!" Suara Sean mengejutkan Vina. "Ta-tapi gak ada bahan makanan di sini. Gue belum belanja," elak Vina, berusaha mangkir dari tugasnya. "Alesan! Lo buka kulkasnya!" suruh Sean. Mau tidak mau Vina menurut karena Sean mendorong tubuhnya, Vina membuka kulkas. Matanya mengerjap, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana mungkin kulkasnya bisa penuh dengan bahan makanan, seingat Vina kemarin masih kosong. Vina menoleh pada Sean yang tengah menyeringai. Lagi-lagi pria itu dalangnya. Sean bertopang dagu, memperhatikan Vina yang tengah memasak. Terlihat cekatan, Sean tak memungkiri nya jika Vina memang jago memasak sejak dulu. Ia bahkan ingat masakan pertama yang pernah ia cicipi. Nasi goreng seafood. Seakan ingin bernostalgia, Lagi-lagi Sean merindukan masakan itu. Terlebih buatan Vina memiliki ciri khas rasa tersendiri. Tak dapat ia temukan di restoran mahal sekalipun. Terlalu lama melamun, Sean sampai tak sadar jika Vina sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa gak di makan?" Suara Vina membuyarkan lamunan Sean. Sean tampak terkejut melihat Vina sudah berdiri di depannya, sudah rapi dengan pakaian kantor. Apa dirinya selama itu melamun? Pikir Sean, sampai tak menyadari hal itu. "Bikinin susu dong," pinta Sean, berusaha terlihat biasa saja. Vina menaikkan sebelah alisnya, menatap Sean dengan bingung. "Susu?" "Iya susu. Apa perlu gue perjelas susu yang mana?" Vina melotot, refleks menyilangkan tangannya ke depan dada. Sean mendesis melihat tingkah Vina. Memangnya siapa yang mau susu lo! Batin Sean. Menertawakan Vina. "Dasar fakboi mesum!!" gerutu Vina, membuat Sean tersedak. "Apa lo bilang?" "Apa?" "Barusan lo bilang apa?" "Oh, fakboi mesum," jawab Vina tanpa merasa berdosa. "Mulut lo ...!" geram Sean. "Kenapa? Gak terima!" Vina mendengus, meletakkan susu buatanya ke depan Sean. Vina tak lagi menggubris omelan Sean. Ia sibuk memakan sarapannya. Vina butuh energi untuk menghadapi kenyataan yang jauh dari ekspektasinya ini. Kini Vina berdiri di samping mobil Ferrari F60 America. Jika kalian berpikir ini mobil jemputan Vina, kalian salah. Ini mobil Sean dan Vina justru jadi sopirnya. "Tunggu apalagi?" Suara menyebalkan Sean kembali terdengar. "Kalau sampe gue telat gue pastiin gaji lo bakal gue potong!" ancam Sean. Vina mendengus, meski tangannya gemetar ia berusaha agar tidak terlihat gugup. Vina segera masuk ke mobil, sebelum Sean kembali berteriak seperti emak-emak PMS. Vina sangat gugup, ini pertama kalinya ia mengendarai mobil sebagus ini. Meski Vina punya SIM bukan berarti ia terbiasa mengendarai mobil, seingat Vina sudah setahun lebih ia tak mengendarai mobil. "Kalau jalan lo kaya siput gini, kapan nyampe kantornya?" gerutu Sean. Vina memang sengaja melambatkan mobilnya, ia sangat hati-hati. Tak peduli dengan klakson dari mobil yang ada di belakang. Vina tetap menjalankan mobil itu secara pelan, yang penting sampai tujuan. "Heh! Vina!" Sean benar-benar tak habis pikir, apa mau Vina sebenarnya. "Jangan bilang lo gak bisa nyetir?" "Bisa!" sergah Vina. "Gue ... cuma ... sedikit gugup." Sean mencibirnya, tak percaya dengan alibi Vina. "Bilang aja kalau gak bisa nyetir, dasar payah!" Vina yang paling benci dikatain payah langsung tersulut emosi. Ia mencengkram erat stir mobilnya. Tanpa diduga Vina menginjak pedal gas. Seketika mobil itu melesat tak terkendali. Sean memekik saking terkejutnya, sementara Vina tampak panik karena tak bisa mengendalikan mobilnya. "Vina awas!!" teriak Sean saat melihat motor di depannya hendak berbelok ke kanan. Vina yang panik langsung membanting stir ke kiri, hingga mobil Sean menabrak trotoar. Kejadian itu tak bisa ia hindari. Sean meringis, memegangi keningnya yang terbentur dasbor. Ia segera turun karena mobilnya mulai berasap. Begitupun Vina, beruntung keduanya tidak apa-apa. Sean mentap nanar mobilnya yang ringsek. Mobil kesayangannya. Ia menoleh pada Vina yang tampak menunduk ketakutan. "Davina!!" bentak Sean. Vina mengangkat wajahnya, meringis saat matanya bersitatap dengan Sean. Wajahnya memucat ketika mata itu menggelap, seolah bosnya siap melahapnya hidup-hidup. Mampus!! Tuhan tolong hamba, berikan hamba jurus menghilang. Jerit Vina dalam hati.Setalah cuti kerja hampir dua minggu paska acarapernikahan dan honeymoon. Kini Sean kembali ke rutinitas, bekerja di perusahaan orangtuanya. Meski rasanya berat harus berpisah dengan istrinya, mengingat Vina sudah tidak diperbolehkan lagi jadi sekretarisnya oleh sang mama, dengan alasan agar Vina tidak kecapekan dan bisa segera memberi beliau cucu.Itu kenapa Sean terlihat nggak semangat di hari pertama kerja setelah cuti. Ia terlihat ogah-ogahan bangun dari tempat tidur, berjalan keluar kamar saat tak menemukan keberadaan istrinya. Aroma lezat masakan, menggiring langkah Sean menuju dapur. Seperti yang Sean duga, istrinya sudah menyibukkan diri di dapur.Sean terdiam di dekat bar kitchen, memandangi siluet tubuh istrinya yang tampak sibuk di depan kompor. Sean menelan ludah, bohong kalau ia tidak tergoda melihat penampilan Vina saat ini.Rambut panjang yang dicepol tinggi, memperlihatkan leher mulus yang mengundang Sean untuk menciumnya. Bahu yang terbuka, karena Vina hanya memakai t
"Maaf ya, Sean. Aku kayaknya nggak bisa sama kamu lagi.""Hah?""Maksud kamu apa, Vin? Nggak usah aneh-aneh deh!""Ternyata aku nggak benar-benar cinta sama kamu.""Nggak cinta?" Sean mengernyit, nggak habis pikir Vina yang baru seminggu jadi istrinya justru bilang seperti itu. "Vin, beneran nggak lucu ya. Kita baru seminggu loh nikah, terus kita lagi honeymoon. Bisa-bisanya kamu bilang begini? Kamu ngerusak suasana!""Maaf." Vina meminta maaf, tapi raut wajahnya yang datar sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. "Tapi aku tetep pengen pisah dari kamu.""Vin, seriously?" Sean meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya ke bawah. "Padahal kita baru saja—""Justru karena itu aku pengen pisah sama kamu," potong Vina, beranjak dari ranjang membiarkan selimut yang menutupi separuh tubuhnya merosot. Ia berdiri di dekat ranjang dengan hanya memakai pakaian dalam, menatap Sean dan kembali berkata, "aku merasa di-prank sama kamu. Kirain gede, tahunya mini-mini."What the hel
Alarm terus berbunyi, memenuhi ruangan. Suaranya yang nyaring memekakkan telinga, sangat mengganggu.Sean melenguh, tangannya terulur mematikan alarm. Ia perlahan membuka mata saat merasakan pergerakan di dadanya. Sean tersenyum tipis melihat siapa pelakunya.Sean bergerak hendak bangun, tapi tangan mungil itu melingkar di perutnya. Memeluknya semakin erat, bahkan sesekali mengerang dengan mata masih terpejam."Do not leave me alone," gumamnya."Baby I want to go to the toilet." Sean menangkup pipi Vina yang begitu menggemaskan.Vina menggeleng, menyembunyikan wajahnya di dada telanjang Sean. "Stay with me."Sean mendengus geli karena tingkah Vina yang seperti anak kecil, ia menyentil kening Vina sampai perempuan itu memekik."Oppa!! Sakit," rengek Vina mengusap keningnya, bibirnya mengerucut ke depan."Makanya jangan nonton drakor mulu, halu kan." Sean terkekeh geli. "Ayo bangun katanya mau lihat sunrise."Sunrise?"Ya ampun, jam berapa sekarang?" Vina mencari-cari keberadaan ponseln
Selepas acara akad nikah di Bandung, keesokan harinya dilanjutkan acara resepsi di Jakarta. Orangtua Sean menggelar acara resepsi pernikahan di ballroom hotel bintang lima di Jakarta.Davin memasuki ruangan, berjalan tertatih dengan bantuan tongkat dan teman-temannya."Hati-hati," kata Devan."Gue gak papa," tukas Davin yang enggan dibantu."Dasar keras kepala!" gerutu Andra, dibalas dengusan Davin.Mereka bertiga berjalan menghampiri sang mempelai pengantin yang ada di singgasananya. Senyum lebar menghiasi wajah Sean saat menyambut ketiga sahabatnya."Akhirnya Sean nikah, gak jadi karatan," seru Devan dengan kekehannya yang terdengar garing."Sial, lo kira gue besi tua," gerutu Sean."Emang, lo kan jomblo tua," balas Devan. "Tapi, selamat Bro. Gue ikut seneng akhirnya lo bisa menyelesaikan cinta lama lo yang belum kelar," ucap Devan sembari memeluk hangat Sean."Thank's Bro. Jadi kapan lo nyusul, gak baik nyebar benih di kloset." Sean terkekeh geli karena Devan langsung melepas peluk
Kimmy menggerutu sepanjang jalan, jika bukan karena Reyvan yang menyuruhnya ke butik maka ia tak akan mengalami kejadian naas seperti tadi.Arrggghhh!!!Bahkan Kimmy semakin kesal saat bayangan itu terus melintas, berseliweran di otaknya yang tiba-tiba dungu."Udahan?"Kimmy masuk ke kafe dan mengabaikan pertanyaan sang pemilik kafe. Ia langsung menuju sofa paling ujung, merebahkan diri di sana. Kimmy tak peduli jika keadaan kafe sedang ramai, mengingat ini jam makan siang."Arggg!! Sial!" erang Kimmy tiba-tiba. Ia sudah muak dengan bayang-bayang yang mengotori matanya, membuat hatinya terus merongrong untuk mengamuk.Waras Kimmy! Waras!Kimmy terus meneriaki dirinya sendiri."Move on, move on, move on." Kimmy terus merapalkan kata-kata sakral itu sampai tak sadar seseorang duduk di hadapannya."Mochachino?"Kimmy membuka matanya dan mendapati Reyvan sudah duduk di hadapannya. Pria itu menunjuk gelas besar di atas meja dengan dagunya."Cuacanya emang panas, cocok buat dinginin pikiran
Sean pikir acara lamarannya akan berakhir berantakan karena kedatangan Davin. Bahkan ia sudah sangat cemas melihat pria itu nekad melamar Vina. Tapi jawaban Vina memupuskan kegusaran Sean."Maaf Davin, aku tidak bisa. Aku sudah menentukan pilihanku dan pilihanku itu Sean."Jawaban Vina bagai pukulan telak untuk Davin. Kata-kata Vina seperti belati yang menusuk hati, menorehkan luka menganga di dalam sana."Tapi Vin ...," lirih Davin. "Apa tidak ada sedikit pun kesempatan untuk aku?" Davin melihat Vina dengan tatapan sayu, seakan memohon.Sean sudah muak melihat drama tengik buatan Davin, ia sudah akan menerjang Davin. Beruntung sang mama menahan dirinya, membuat Sean urung melakukan tindakan gilanya. Sean hanya bisa mengepalkan kedua tangan, menyalurkan kekesalannya pada manusia tidak tahu diri macam Davin."Gak." Vina menggeleng dengan cepat. "Dari dulu cuma Sean yang aku cinta. Kamu tahu itu."Terdengar helaan napas berat Davin, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Haruskah ia berhent