"Kak Lea, look! Kia gambal kuda poni. Bagus, tidak?" Kia berucap antusias ketika memamerkan sebuah gambar yang baru saja ia selesaikan pada Reanna. Mata besarnya berbinar seakan meminta penilaian. Mereka sedang berada di dalam mobil Nathan sekarang, sedang di jalan menuju arah pulang."Wah ... bagus sekali, Sayang!" tentu Reanna memberikan respons positif berupa pujian. Namun, alis-alis kelam itu nyaris bertaut saat menyadari setitik kejanggalan pada gambar Si balita. "Tapi, kenapa kakinya ada lima?" tanyanya sambil menahan tawa."Ini ekol, Kak! Yang ini kaki, ada empat." Tak menerima kritikan, Kia menunjuk-nunjuk bagian gambarnya dengan jari telunjuk mungilnya. Mukanya tertekuk ketika melirik Reanna, hal yang sukses membuat gadis manis itu tertawa."Astaga! Kamu menggemaskan, Kia! Sini Kakak gigit." Tak tahan dengan wajah imut yang tampak begitu lucu itu, Reanna meraih tubuh Kia kemudian mendudukkannya di paha. Beberapa kali ia menciumi pipi bak bapao itu, seakan benar-benar akan meng
"Yakin kamu bisa?" suara maskulin Nathan terdengar lirih, seakan memang sengaja agar orang lain tidak mampu mendengarnya kecuali Reanna. "Tentu saja, Pak. Asal Bapak tahu, saya ini jago di segala bidang." Reanna berucap dengan nada tak kalah lirihnya, membanggakan diri. Namun, tiba-tiba ia memekik kecil. "Ah!""Tuh, kan ... Pelan-pelan saja, Rea. Saya takut ada yang lecet." Nathan kembali berkata."Tidak apa-apa, Pak. Masih aman." Meskipun kalimat Reanna sarat akan makna bahwa dirinya baik-baik saja, tetapi napasnya yang sedikit terengah tak mampu membohongi pria blasteran itu."Jika kamu tidak sanggup, biar saya saja yang melakukannya. Kita bertukar posisi," ucap Nathan, mencoba memberikan bantuan. "Tidak perlu. Sebentar lagi akan sampai, Pak." Reanna lagi-lagi menolak niatan pria itu. Embusan napasnya terdengar memberat tiba-tiba sebelum akhirnya ia mendesah lega. "Ugh! Akhirnya masuk juga! Hufftt ... butuh effort yang cukup besar, mungkin karena saya jarang berolah raga." Kekehan
"Semoga lekas sembuh, ya? Obatnya diminum sehari tiga kali. Kalau yang salep, dipakai sehabis mandi." Arvi menebar senyum ramah pada seorang balita yang duduk di pangkuan ibunya, lalu mengusap rambut halus itu sekilas. Pasien kecilnya itu datang dengan keluhan gatal dan bentol-bentol di beberapa bagian tubuhnya, alergi dingin yang mampu dokter anak itu simpulkan. Meskipun hanya penyakit ringan, namun orang tua lelaki kecil bermata lebar itu terlihat begitu mencemaskannya. Dan baru merasa lega ketika Arvi mengatakan bahwa kondisi anak mereka baik-baik saja."Iya, Dok. Terima kasih," ucap Si ayah, mewakili. "Ayo, Sayang ... ucapan terima kasih sama Pak dokter."Dan balita itu segera menuruti perintah ayahnya. Berucap dengan cedal, namun terdengar begitu menggemaskan. "Telima kacih, Pak doktel.""Sama-sama."Senyum Arvi terus mengembang ketika kedua orang tua beserta anak mereka bergerak keluar dari ruangannya bersama seorang suster yang menjadi asistennya. Keduanya tampak begitu bahagia
Nathan berlari tunggang langgang setelah memarkirkan mobil milik Arvi di parkiran. Ia memasuki ruang Instalasi Gawat Darurat sembari memakai handscoon di kedua tangannya. Sudah tidak ada waktu lagi, kondisi pasien yang dikabarkan seorang perawat yang meneleponnya tadi sudah tidak memungkinkan untuk menunggu lebih lama lagi.Setelah langkah kakinya menjejak ke dalam, suasana tegang menyapanya. Ada seorang wanita dengan perut besar tampak lemah di atas ranjang. Sepertinya wanita itu memiliki kendala ketika melahirkan. Di sisinya terdapat seorang pria yang terlihat selalu menggenggam tangannya. Pria yang Nathan tebak adalah suami dari Si pasien. Seorang bidan yang awalnya berdiri di bagian bawah kaki wanita itu segera bergerak menyambutnya dengan wajah begitu panik. "Dok ....""Bagaimana kondisinya?" tanya Nathan, mencoba tenang. Ia melangkah menuju ranjang pasien."Bukaannya sudah lengkap, Dok. Tapi, bayinya belum juga keluar. Sedangkan pasien sudah dalam keadaan lemah.""Kenapa tidak l
Segala gerakan Reanna terhenti ketika handphone yang ia letakkan di atas meja bergetar, di layarnya terdapat sebuah notifikasi pesan masuk dari ayah Kia. Gadis manis itu meletakkan buket bunga yang belum selesai ia kerjakan, memilih untuk membaca pesan itu lebih dahulu.'Malam ini saya akan pulang sedikit larut, tolong kamu jaga Kia sampai saya kembali. Saya akan menambah gajimu nanti.'Reanna melirik pada presensi Kia yang sedang memainkan boneka beruang kecil di sisinya dengan setitik senyuman. Semburat senja yang masuk ke dalam ruangan menimpa wajah gadis kecil itu, membuatnya tampak bercaya. Cantik sekali."Sepertinya aku akan lembur malam ini."Ucapan Reanna segera ditanggapi oleh Tisha. Ia melirik ke arah Sang sahabat melalui ekor mata, sedikit menjeda kegiatannya. "Kenapa?""Pak dokter pulang malam. Sedang banyak pasien sepertinya." Kedua bahu mungil Reanna terangkat singkat, dengan menipiskan garis bibirnya. Setelah ia mengetikkan balasan pesan di dokter tampan, ia kembali mel
Lampu indikator ruang operasi itu masih menyala, tanda tindakan bedah sedang berlangsung di dalam sana. Jari-jemari kedua tangan kekar itu saling meremas ketika rasa cemas kian menyeruak dalam dadanya. Dalam hatinya selalu merapal doa, mengharap keselamatan dua nyawa yang begitu berarti dalam hidupnya.Ya, istrinya sedang berjuang di balik pintu dengan kaca buram itu, berjuang untuk melahirkan kehidupan baru, anak mereka. Meskipun melewati jalur operasi caesar pada akhirnya, setelah ia mencoba melahirkan dengan pervaginam tetapi gagal di bukaan enam. Apalagi dengan kadar hemoglobin dalam darah istrinya yang begitu rendah, tentu saja Nathan tidak ingin mengambil resiko dengan memaksakannya melahirkan dengan normal. Ia lebih dari tahu apa yang akan terjadi, ia pun seorang dokter obgyn.Mata biru itu kembali menatap jam dinding pada tembok putih rumah sakit itu. Sudah lewat dari setengah jam yang lalu Sang istri memasuki ruang bedah sana. Namun, hingga detik ini pintu tebal itu belum jug
Ketika dr. Adams sudah pergi dengan mobil hitamnya, Tisha bergerak mendekati Reanna dan juga Kia dengan membawa seikat bunga kuning di tangannya. Ia yang sedari tadi hanya menjadi pengamat, kini mengeluarkan pertanyaan. "Kenapa Papamu?"Sementara itu Reanna masih saja terdiam menatap kepergian dokter tampan itu. Kepalanya sedang berpikir keras, mencoba menggali ingatannya yang mungkin saja ada hubungannya dengan kejadian di hari sebelumnya.Namun, nihil.Yah, selain raut lesu yang tampak jelas di wajah Pak dokter tadi malam ketika menjemput Kia pulang—yang Reanna duga akibat kelelahan. Selanjutnya, gadis manis itu menatap Kia yang sudah terduduk nyaman di tempatnya, memainkan sebuah boneka di tangannya. Ah, gadis kecil itu sedang berulang tahun hari ini.Dan di detik itu Reanna tersentak ketika ia baru saja menyadari sesuatu. "Tunggu dulu ... bukankah istri dr. Adams meninggal setelah melahirkan Kia? Berarti ulang tahun Kia bertepatan dengan hari meninggalnya istrinya 'kan, Sha?" ia m
Ingar-bingar yang begitu memekakkan telinga sama sekali tak mengganggu pria itu. Kepala berambut pirang itu menunduk, dengan jari-jemari besarnya yang berkali-kali memijat kening. Sepertinya ia terlalu banyak meminum alkohol malam ini."Sudah cukup, Nathan. Kamu bisa pingsan jika terus-menerus minum seperti itu." Arvi, pria berambut kecokelatan yang duduk di sampingnya memperingatkan.Namun, dokter tampan itu hanya membalasnya dengan dengkusan. Tangan kanannya kembali meraih gelas kecil berisi cairan bening itu, meneguknya sekaligus. Entah sudah gelas ke berapa yang diminumnya."Tumben sekali kamu mengajakku ke sini? Biasanya kamu paling anti ke tempat seperti ini." Arvi terkekeh kecil ketika mengucapkannya, kemudian pria itu meneguk sedikit minuman beralkohol di hadapannya."Aku butuh teman, Ar."Arvi meliriknya, memberikan perhatian seutuhnya pada raut wajah sahabatnya yang memerah karena mabuk."Ada hal yang mengganggumu?" tanyanya.Nathan tak langsung menjawab pertanyaan Arvi. Hany