Tania.
“Tania!” Sebuah suara mengagetkan gue yang lagi sibuk dengan kerta-kertas di meja. Ada banyak sekali pekerjaan yang belum rampung hari ini dan gue harus segera menyelesaikannya agar tidak terpancang lembur.
Gue mendongak, dan mendapati wanita ular, ralat! Maksud gue Jessi tengah berdiri dengan pandangan menyebalkannya kearah gue.
“Iya?” gue mencoba tersenyum semanis mungkin, meskipun gue tau senyum gue nggak bakalan dia balas.
Gue enggak tau masalahnya apa, namun semenjak gue datang, dia sudah memperlihatkan mimik wajah tidak sukanya sama gue. Awalnya gue mengira jika Jessi memang memiliki tampang dan karakter antagonis seperti itu, tapi nyatanya dia bisa bersikap baik dan pengertian pada orang lain.
“Lukisan yang kamu bilang mau dikirim dari Ubud mana?” dia berjalan ke meja gue sambil bersidekap. Tak ada senyum sama sekali di wajahnya—as usual!
“Lukisan?” Dengan tergesa gue raih kalender di samping gue dan meneliti tanggal. Tanggal 18 yang gue lingkari dengan spidol hitam. Tanggal dimana pak Made bakal mengirim lukisan-lukisannya. Dan tanggal 18 itu adalah kemarin.
“Emang belum dikirim ya?” Tanya gue kemudian, dan akhirnya gue menyadari jika pertanyaan gue keliru. Tidak mungkin bukan dia repot-repot datang ke meja gue kalau lukisannya sudah datang?
“Kalau udah di kirim, gue nggak bakalan tanya sama lo.” Jawabnya sengak.
Gue mendengus, langsung meraih ponsel yang tergeletak di meja sejak tadi. Dalam sekian detik, nama “Galeri Pak Made’ sudah menari-nari di layar.
“Halo…” suara diseberang membuat gue langsung menghembuskan nafas lega. Gue tahu kalau pak Made professional. Beliau pasti punya alasan kenapa belum bisa mengirimkan lukisan-lukisan itu kemarin.
“Pak Made?”
“Iya Tania.”
Kantor gue di Jakarta sudah mengenal baik Pak Made. Karena selama ini kami sering bekerja sama dengan galeri Pak Made jika membutuhkan segala sesuatu untuk dekorasi yang berhubungan dengan pulau Dewata. Pak Made adalah seniman yang baik dan juga multitalenta, maka dari itu semua hasil karyanya pasti akan mengundang decak kagum bagi siapa saja yang melihatnya.
“Untuk pemesanan lukisan yang rencananya tiba tanggal 18 kenapa belum di kirim ya pak?” gue melirik Jessi yang masih berdiri dengan melipat tangan. Belum ada tanda-tanda dia bakalan pergi dari tempatnya sekarang sebelum gue membereskan masalah lukisan ini.
“Apa kemarin belum ada yang menghubungi kamu?” pak Made balik bertanya dan otomatis membuat gue kebingungan.
“Belum ada pak.”
“Padahal bapak sudah nyuruh Wayan buat hubungi kamu….” Suara pak Made lebih mirip dengungan namun gue bisa mendengarnya dengan jelas.
“Maaf Tania, ada masalah dengan mobil pengirimannya dan harus masuk bengkel. Baru bisa dikirim dua sampai tiga hari lagi. Bagaimana?”
Gue tercenung sejenak. Mulai berfikir. Jika lukisan baru bisa dikirim dua sampai tiga hari lagi, otomatis proyek akan molor dan kepulangan gue ke Jakarta juga pasti bakal molor. Padahal gue pengen lekas pulang Jakarta. Gue sudah males, suntuk dengan pekerjaan gue di sini, dengan dikelilingi sama orang-orang yang sama sekali enggak mengenakkan, dan salah satunya wanita di depan gue ini.
“JAdi baru bisa di kirim dua tiga hari lagi pak?” gue bergumam sembari menatap Jessi yang mengedikkan bahu tanda tidak setuju.
“Kalau gitu kita ambil sekarang aja.” Sebuah suara menginterupsi. Gue dan Jessi menoleh serempak. Tampak Felix sudah berdiri dengan santainya di depan pintu.
“Kita ambil sekarang.” Dia berjalan mendekati kami dengan langkahnya yang pelan tapi pasti. Aura kepemimpinannya terlihat begitu jelas setiap ada hal seperti ini. dia seperti tidak memikirkan resiko dari ucapannya, namun gue tahu jika semua keputusannya selama ini selalu berhasil dengan baik.
“Ta…tapi…..”
“Lo nggak pengen proyek ini segera rampung?” dia menatap gue dengan senyum miringnya dan otomatis membuat gue segera kembali ke telepon gue dan mengatakan ‘nanti sore saya ambil ke Ubud pak’.
“Lo pergi sama gue aja Fel.” Jessi angkat bicara setelah gue menutup telepon.
“Gue pergi sama Tania aja Jes. Dia yang lebih tau.” Sahut Felix. “Lo handle semua kerjaan di sini selama gue pergi.”
Gue tidak menyahut, melirik Jessi dengan hati-hati dan tampak raut penuh kecewa di wajahnya. Sebenarnya gue malah seneng kalau Felix bisa berangkat bersama Jessi, namun rasanya tidak mungkin karena gue yang tahu alamat galeri Pak Made dan juga gue yang bertanggungjawab dengan ini semua.
“Siapin mobil untuk nanti.” Kalimat Felix menyadarkan monolog gue. “Kita berangkat nanti sore.”
Gue mendesah pelan. Diam-diam mengumpat dalam hati karena harus bersama dengan pria itu lagi.
*****
Gue kenal galeri seni pak Made semenjak gue kerja di perusahaan. Kata senior, sudah lama sekali perusahaan bekerja sama dengan galeri seni ini. wajarlah, pak Made merupakan seorang seniman dengan bakat yang luar biasa. Beliau pandai membuat patung dan lukisan. bahkan beberapa lukisannya sudah sampai ke luar negeri. Kolektor selalu merasa kalau karya seni pak Made benar-benar hidup, dan gue juga mengamini itu.
Seperti hari ini, gue terpana melihat sebuah lukisan berlatar belakang sebuah senja di pinggir pantai. Mungkin memang sekilas tampak biasa, namun entah kenapa gue bisa menemukan sebuah kedamaian saat gue memandangnya berlama-lama.
“Suka?” Sebuah suara menyadarkan lamunan gue. Gue menoleh sekilas, menatap Felix yang berdiri di samping gue dengan tangan di dalam saku celana. Kami menunggu karyawan pak Made memasukkan lukisan-lukisan pesanan kami ke dalam mobil.
“Gue juga suka….” Dia kembali bergumam ketika kalimatnya nggak gue tanggapi.
Gue bedehem pelan. “Tau apa lo sama karya seni.” Ejek gue lantas berbalik arah hendak meninggalkan Felix sendirian.
“Tunggu.” Dia mencekal lengan gue. “Kalau lo suka, gue bisa beli’in.” katanya dengan santai.
Gue menatap manik mata Felix, berharap dia sedang bergurau dengan kalimatnya barusan. Namun sial, gue melihat jika mata itu terlihat serius dan sama sekali taka da secuilpun gurauan yang terbersit di sana. Mungkin jika orang yang menawariku itu bukan Felix, gue bakalan menerimanya dengan senang hati. Tapi gue mesti berfikir ribuan kali. Tidak! Tidak perlu berfikir untuk langsung menolak kebaikannya tersebut.
Gue mengibaskan tangan Felix yang masih mencekal lengan gue. “Murah hati banget lo?” senyum gue sinis.
“Katanya lo suka? Ya biar gue beli’in.”
“Enggak. Gue enggak suka!”
Pria itu berdecak lirih. Hampir membuka mulutnya untuk menanggapi kata-kata gue namun diurungkannya karena pak Made tiba-tiba datang.
“Nggak nginep sini aja Tania?” Tanya beliau dengan senyum khasnya. Pria berusia setengah abad lebih itu selalu terlihat masih segar.
Gue dan pak Made memang sudah akrab. Karena setiap gue datang ke Bali, gue pasti mampir. Bahkan Altan sudah dua akali gue ajak kesini, dan berhasil memborong beberapa lukisan karena langsung jatuh cinta ketika pak Made memperlihatkan koleksi lukisan-lukisannya.
“Pekerjaan saya masih banyak pak.”
Pak made tersenyum. Kini beliau beralih pandang pada Felix yang berdiri di samping gue.
“Bosnya di sini. Kan bisa maklum……” senyumnya yang dibalas Felix dengan senyuman juga.
“Kalau saya oke saja pak. Tania-nya aja kayaknya yang enggak mau kalau lama-lama sama saya.” Dia berjalan menghampiri gue dan Pak Made yang sudah duduk di sebuah gazebo. Ada tiga gelas teh hangat dan beberapa potong kue yang dihidangkan untuk kami.
Mendengar kalimat Felix, gue hanya melengos. Pura-pura tidak dengar.
“Saya professional pak. Kalau di sini, apalagi nginep sama bos saya, ntar karyawan lain mikirnya macem-macem lagi.” Gue enggak mau kalah.
“Ya biarin pada mau ngomong apa. Ya enggak pak?” Felix menatap pak Made yang sedang menyesap tehnya.
Pak made tertawa. “Kalian lucu sekali sih….” Kekahnya. “Yang jelas kalau mau ke Ubud, nak Felix jangan lupa mampir kemari ya?”
Felix mengangguk.
“Pasti pak. Saya sudah terlanjur jatuh cinta pada pandangan pertama pada galeri-nya bapak.” Jawabnya kemudian.
Perbincangan kami sore itu begitu seru. Meskipun gue banyak menjadi pendengar karena pak Made dan Felix yang mendominasi pembicaraan. Mulai dari bisnis, hobi dan lain sebagainya. Sebenarnya gue juga bisa sih mengimbangi omongan mereka, tapi karena lawan bicara gue Felix, gue lebih memilih diam dan baru bersuara ketika pak Made memancing pembicaraan sama gue.
Setelah makan malam, akhirnya kami pamit undur diri. Gue menunggu di mobil ketika Felix dan pak Made terlibat pembicaraan serius di depan galeri. Gue enggak mau ikut campur, badan gue lelah dan gue memilih untuk duduk menunggu di dalam mobil dengan mata terpejam. Berharap ketika gue membuka mata nanti, gue sudah berada di depan hotel tempat gue menginap.
Gue nggak nyangka jika Tania menyetujui ajakan gue untuk jalan-jalan ke taman bermain. Gue pikir dia bakalan menolak mentah-mentah seperti biasanya, tapi ternyata kini dia sudah bersiap. Celana jeans dipadukan dengan kaos pendek membuatnya terlihat segar pagi ini.“Siap?” Tanya gue ketika kami sudah berada di baik kemudi. Gue lirik dia yang duduk tenang di kursinya.“As you can see.” Jawabnya sambil memasang seat belt.Gue mengulas senyum, lantas menghidupkan kendaraan. Tak berselang lama, mobil BMW gue sudah keluar dari basement, memebelah jalan raya yang relative sepi ketika liburan seperti ini.Berbeda dengan jalanan yang lumayan lengang, taman bermain justru penuh dengan lautan manusia. Mumpung libur, mereka pasti menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga sebelum akhirnya kembali pada rutinitas padat mereka yang mencekik keesokan harinya.“Lo mau hiburan apa Tania?” gue memutar pandangan ke sekelili
TaniaCuti gue masih tersisa beberapa hari lagi, sebelum akhirnya gue kembali ke kantor dan menyibukkan diri dengan aktifitas pekerjaan seperti biasanya. Cuti yang rencananya sebagai liburan bulan madu gue, kini hanya berakhir di apartement. Tidur, makan, lihat TV, ngelamun. Setiap malam mama pasti datang menemani gue tidur di sini, sedangkan jika siang hari Rani yang akan datang ketika suaminya sibuk bekerja. Gue tahu jika mereka khawatir sama gue jika sendirian. Tapi tenang, patah hati nggak akan sampai buat gue bunuh diri.Gue memang masih sedih. Siapa coba yang tidak akan berduka ketika patah hati? Apalagi ketika ditinggalkan menjelang akad nikah. Namun gue adalah manusia yang berfikir rasional, tangisan gue atau apapun itu nggak akan merubah keadaan menjadi lebih baik. Jadi gue berusaha untuk bersikap biasa saja di depan orang-orang yang menyayangi gue, meskipun terkadang ada suatu waktu yang membuat gue tidak bisa menahan air mata, yaitu waktu menjelang tidur.
Jika biasanya setelah menikah suami istri akan tinggal serumah dan memulai kehidupan baru dengan bahagia, namun tidak dengan pernikahan gue. Status suami istri hanya ada di buku nikah, selebihnya kami menjalani kehidupan kami masing-masing. Tania tinggal di apartementnya, sedang gue masih betah tinggal di hotel. Meskipun begitu, gue tidak serta merta cuek dengan gadis itu. Sesekali gue menanyakan pada Rani tentang keadaannya di apartement, atau bahkan terkadang gue menelpon mamanya Tania untuk menanyakan kabar gadis itu.Kabar pernikahan gue bukannya sesuatu yang dianggap biasa saja oleh orang-orang di sekeliling gue. Terlebih mama dan tentu saja Jessi. Awalnya mama marah-marah tidak jelas karena tak dikabari tentang pernikahan mendadak gue, namun setelah gue jelaskan semuanya—namun tentu saja bukan tentang keinginan gue bertanggung jawab untuk menutupi aib—akhirnya mama setuju untuk tidak kembali terbang ke Jakarta.Gue tahu jika sekarang Jessi berada dala
Tania.Siapa yang tidak terkejut ketika melihat seseorang yang kita cintai berada di dalam hotel dengan seorang wanita lain. Mungkin, ini lebih seperti mimpi buruk bagi gue. Ketika gue dicampakkan dengan alasan yang tidak jelas hanya melalui sebuah pesan singkat di saat ijab qobul sudah hampir dilaksanakan.Hati gue menjerit. Memberi dorongan bagi gue untuk melampiaskan semua sakit hati yang gue rasakan sekarang pada Altan, namun hati kecil gue berkata lain. Tidak pantas penghianat seperti dia mendapatkan apapun dari gue, bahkan pukulan dari tangan gue yang berharga ini.“Jadi, alasan lo ninggalin gue adalah karena wanita itu?” Tanya gue tenang. Tak ada lagi panggilan ‘aku-kamu’sekarang. Karena gue muak. Karena dia bukan orang yang pantas gue hargai sekarang.Altan menarik nafas lalu menunduk.“Iya.”Dan jawabannya seperti sambaran petir di hati gue. Dada gue sesak, ingin menangis. Namun sekali lagi, gue t
Felix.Gue nggak nyangka kalau status gue berubah secepat ini dari lajang menjadi menikah. Suatu hal yang sama sekali tidak terpikirkan dalam otak gue. Sebenarnya gue juga tidak bermaksud untuk menjadi pengganti suami bagi Tania. Hanya saja ketika melihatnya seperti tadi, perasaan gue bener-bener hancur.“Seharusnya lo nggak usah berbuat senekat ini Fel!” Rangga menyisir rambutnya ke belakang dan tampak frustasi. Sejak tadi dia berdiri di depan gue dengan tatapan menghakimi. Kini kami berada di rooftop hotel, setelah beberapa saat menyalami para tamu yang hadir. Ketika Rangga menghampiri gue dan mengajak gue kesini tadi, Tania sudah dibawa Rani ke dalam kamar. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, sama sekali belum gue pikirkan.“Udah terlanjur Ngga. Tania udah jadi istri gue.” Entah kenapa perasaan gue menghangat ketika menyebut tania dengan panggilan ‘istri gue’. Sama sekali tidak ada penyesalan di hati gue, bahkan gue sa
Tania.Moment yang paling membahagiakan bagi seorang wanita itu mungkin ada dua. Pertama, adalah hari pernikahannya dan kedua adalah lahirnya jabang bayi dari perutnya. Dan sekarang, gue sedang menapaki kebahagiaan pertama gue, yaitu menjadi pengantin. Hal yang gue impikan lebih dari apapun selama ini. setelah penantian gue yang terbilang cukup lama. Setelah sabar gue ketika teman-teman gue yang baru pacaran seumur jagung menyalip gue dan lebih dulu menikah. Akhirnya, Tuhan menjawab doa-doa gue selama ini. menikah dengan orang yang gue cintai, dan gue rasa orang yang paling tepat untuk mendampingi seumur hidup gue.“Aduuuuh gue deg-deg-an banget Ran…” berkali-kali gue meremas tangan gue untuk mengurai debar yang sejak semalam membelenggu hati gue. Sesekali gue lirik layar televisi yang terhubung dari kamar hotel ke aula yang berada di lantai bawah. Dimana sekitar setengah jam lagi akad nikah gue bakalan dilaksanakan.“Kalem….tenan
Felix.Gue melangkah keluar dari mobil dengan banyak pikiran. Bahkan tadi, gue tidak turun ketika mengantar mama ke rumah bibi. Ada banyak pertanyaan yang bergejolak di dada gue, dan gue nggak tahu kenapa semuanya tentang Tania. Gue tahu jika gue nggak berhak ikut campur masalah pribadinya, apalagi sekarang dia hampir menikah. Tapi tetap saja, kenapa gue tiba-tiba nggak rela dia nikah.“lo mikirin apa sih?” Jessi yang berjalan di samping gue angkat bicara setelah gue bungkam sejak dari mobil tadi.Gue menoleh, baru sadar jika sejak tadi dia mengekor gue masuk ke dalam hotel. “Lo bilang mau tidur di rumah sepupu lo?” Tanya gue sambil menekan tombol lift.“Iya, gue mau pergi setelah memastikan lo masuk kamar dengan keadaan selamat.” Jawabnya sambil menunggu pintu lift terbuka.Gue menghela nafas sembari memasukkan kedua tangan gue ke dalam saku celana.“Gue bukan anak kecil Jes.”Jessi ter
Tania.Menjelang hari-H pernikahan, gue semakin gugup dan cemas. Gue enggak tahu apa hanya gue yang merasakan hal seperti ini, atau semua calon pengantin lainnya. Yang jelas, kecemasan gue ini sukses membuat gue sulit tidur dan tidak doyan makan.Gue mungkin sedang diserang syndrome menjelang pernikahan. Tidur nggak nyenyak, makan nggak enak bahkan gue mulai berfikir dengan was-was. Gimana pernikahannya nanti kalau kurang ini atau itu? Gimana kalau pas hari-H nanti, baju gue kekecilan, bahkan gue sampai memikirkan cathering yang bakal disajikan di pesta pernikahan nanti.Mama sempat berpesan agar gue tidak terlalu banyak memikirkan hal itu. Mama bilang gue justru bisa stress sampai sakit kalau terlalu kebanyakan mikir. Tapi gimana lagi, gue bener-bener nggak bisa membuang perasaan was-was di hati gue.Sore ini, untuk membuang suntuk ALtan mengajak gue keluar rumah. Sekedar jalan-jalan cari angin atau makan di suatu tempat. Gue sih setuju aja. Disamping ka
Suara jerit ponsel terpaksa membangunkan gue di pagi buta seperti ini. gue melirik ke luar jendela hotel. Masih gelap, lampu-lampu kota masih berkelap-kelip, dan itu menandakan bahwa gue belum waktunya bangun.Sebelum gue sempat mengulurkan tangan meraba-raba nakas, jerit ponsel itu sudah lebih dulu bisu. Kembali tenang dan gue bernafas lega karena dapat melanjutkan tidur gue yang terjeda. Namun sial, belum gue kembali dengan posisi nyaman, ponsel gue kembali berjerit.Gue mendengus, dan kembali mengulurkan tangan gue untuk meraba nakas, dimana ponsel gue selalu gue letakkan di sana.Mama calling…..“Heh, kenapa di Jakarta enggak ngomong mama?!” belum gue membuka mulut, suara mama sudah lebih dulu menyambar.“Aduh Ma…telepon subuh-subuh gini Cuma mau blilang itu?” jawab gue dengan suara serak, sementara mata gue masih terpejam menahan kantuk.“Kalau Jessi nggak ngasih tau mama, apa kamu bakalan bil