Share

Perpisahan

Felix.

Gue hampir saja meninggalkan meja kerja untuk pulang ke rumah, ketika pintu ruangan gue berderit perlahan lalu menyembul wajah Tania dari balik sana. Wajahnya dingin seperti biasa, dan tanpa senyum sedikitpun. Khas Tania jika bertatap muka sama gue.

“Ada apa Tania?” gue kembali duduk. Menggeser kursi gue untuk lebih mendekat ke meja.

Sedangkan dia tampak tenang. Berjalan pelan kearah gue.

“Gue mau pamitan.” Jawabnya datar ketika kami saling berhadapan. Akh, dia juga tidak ada inisiatif untuk sekedar duduk dan basa-basi sebentar sama gue. “Udah hampir tiga minggu gue di sini, dan pekerjaan gue udah selesai.”

Gue tercenung beberapa saat. Gue lupa kalau pekerjaan dia sudah rampung, dengan baik pula. gue rasa gue bakal kehilangan semangat gue dalam bekerja kalau dia enggak ada. Meskipun terdengar lucu, gue sering menatap dia diam-diam dari balik kaca jendela ruang kerja gue yang terhubung dengan meja kerjanya.

“Kapan?” Tanya gue kemudian. Terbersit niatan gue untuk membuat sebuah pesta perpisahan untuknya.

“Besok pagi. Penerbangan pertama.” Jawabnya dingin.

Gue menarik nafas pelan. Apa enggak bisa ia menunda kepulangannya sehari aja untuk liburan. Jika iya, pasti dengan senang hati gue bakalan ngaterin dia kemanapun dia mau. Meskipun gue sebenarnya yakin, jika kepulangannya besok di pagi-pagi buta itu hanya ingin menghindari gue. Udah enggak tahan lihat muka gue, udah engap tiap papasan sama gue.

Gue pengen membuka mulut dan mengatakan rencana gue untuk memberinya pesta perpisahan nanti malam. Namun dilihat bagaimana dinginnya dia bersikap sama gue sekarang, rencana gue pasti bakalan ditolaknya mentah-mentah tanpa berfikir panjang.

 “Apa lo enggak mau menunda kepulangan lo sehari aja?” gue mengubah arah topik pembicaraan. Meskipun tidak mungkin, gue masih berharap dia mengangguk.

 “Enggak bisa. Gue punya banyak kerjaan di Jakarta.” Jawabannya mantap, pun juga ekspresinya. Gue yakin jika besok pagi ada hujan badai yang menunda penerbangannya, ia pun tetap harus bisa pulang apapun caranya.

Sudah gue duga, itu pasti sebuah alasan karena beberapa hari lalu gue sempet teleponan dengan Daniel—bosnya di Jakarta. Bahwa Tania akan mendapatkan libur beberapa hari setelah urusannya di Bali selesai. Gue pikir, ia memang masih akan tinggal di sini untuk beberapa waktu, tapi ternyata tidak.

“Oh…..” hanya itu jawaban yang dapat gue berikan. Lantas apa? Haruskan gue mencekal tangannya terus mengatakan padanya bahwa gue pengen banget dia di Bali untuk beberapa waktu agar kita bisa semakin dekat? Akh, sepertinya gue bakalan kena gampar jika melakukan hal itu.

“Lo yakin enggak mau liburan di sini dulu?”

Dia menatap gue lalu menggeleng. Binar matanya seolah berbicara ‘seberapapun keras lo mencoba, gue enggak bakalan tinggal Felix.’

Gue menghela nafas penuh kekecewaan.

“Kalau begitu gue permisi dulu Fel. Terimakasih sudah mau bekerjasama dengan perusahaan kami.” Dia berbalik dan gue berhak mengumpat diri gue sendiri karena tiba-tiba saja tangan gue sudah terulur menarik pergelangannya.

Gue siap ditampar Tania!

SIAP!

“Tunggu.” Cegah gue.

Dia menoleh, menatap gue dengan alis berkerut.

Gue terdiam beberapa saat. Menunggu apakah dia benar-benar akan menampar muka gue. Tapi setelah beberapa detik berlalu dan kami masih berada di posisi yang sama, gue siap untuk melanjutkan kalimat gue.

“Gue mau minta maaf…..”

Felix! Lo hebat.

Dia mengerjapkan matanya. Hanya bibir merahnya saja yang tampak terbuka sedikit, sepertinya hendak mengatakan sesuatu namun urung dilakukannya.

“Atas kejadian malam itu.”

Ya meskipun sebenarnya gue enggak melakukan apa-apa sama dia.

Dia terdiam beberapa saat setelah kemudian berkata.

“Enggak apa-apa. Karena gue udah ngelupain itu.”

Ya jelas lo lupa. Karena lo enggak inget, Tania. Kalau lo inget, lo bakalan mengucapkan ribuan terimakasih sama gue karena sebenernya gue sama sekali enggak melakukan hal itu sama lo meskipun gue sangat ingin melakukannya. Lo harusnya memberi gue sanjungan selangit karena berhasil menahan hasrat gue untuk tidak melakukan apapun sama tubuh terbuka lo waktu itu.

“Gue berharap, setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi. Karena gue mau nikah sebentar lagi.” Dia menarik tangannya lalu tersenyum samar. “Dan semoga lo juga segera menemukan seseorang yang bisa lo nikahi nanti.” Kalimatnya terdengar serius, tapi kenapa malah seperti sindiran bagi gue. sindiran karena di usia gue yang sekarang, gue belum laku-laku.

Dia berbalik arah. Berjalan dengan pasti meninggalkan gue tanpa ada inisiatif untuk menoleh sedikitpun ke belakang. Seakan perpisahannya dengan gue adalah sebuah kemenangan baginya.

Diam-diam hati gue terasa ngilu.

Dia menikah? Akh, tiba-tiba saja gue merasa patah hati.

*****

Tania.

Gue sudah menunggu berminggu-minggu untuk hari ini. Hari dimana gue bisa bebas dari pekerjaan gue dan bebas dari pertemuan gue dengan Felix. Sebenarnya jika bukan karena dia, mungkin gue masih menyempatkan diri untuk liburan di Kuta selama dua atau tiga hari. Jarang-jarang kan gue bisa liburan. Tapi mengingat bahwa dia bisa merecoki liburan gue disini, gue lebih memilih pulang ke Jakarta. Toh, sebentar lagi gue married dan pasti Altan bakal ngajakin gue bulan madu, dan gue maunya di Bali saja.

Gue sampai di terminal Kedatangan bandara Soetta tepat pukul 8.15 pagi. Semalam Altan bilang akan jemput gue, tapi kenapa gue nggak melihat batang hidungnya sama sekali di sini?

“Dimana sih?” gue berdecak kecil, mengambil ponsel gue dari dalam tas lantas mencari nama Altan di buku telepon gue.

Tuut…tuutt…..tuut….

Tersambung. Tapi enggak diangkat.

Gue kembali gusar. Jika memang enggak bisa jemput, seharusnya dia bilang sejak semalam. Jadi gue bisa pesen taksi online atau sejenisnya. Altan memang bukan tipe manusia on time, bukan juga tipe manusia yang bisa dengan mudah menepati janji, tapi seharusnya dia tidak seperti ini bukan di pertemuan pertama kami setelah berpisah tiga minggu?

“Hallo…..” telepon gue diangkat setelah panggilan ke-tiga.

Suara Altan terdengar berat. Khas bangun tidur.

“Beb…kamu masih tidur?!” gue berusaha untuk tidak menaikkan nada suara gue, tapi mustahil. Gue sudah terlanjur kesal pada Altan.

“Lho…..kamu udah di Jakarta beb?”

“Ya iyalah….. kemarin kan aku udah bilang kalau bakalan sampe Jakarta pagi.”

Altan belum menyahut.

“Astaga. Sorry beb. Semalam kerja lembur, dan ini aku di kantor.”

gue memutar bola mata malas.

“Jadi…..?”

“Jadi kayaknya aku enggak bisa jemput deh. “jawabnya. “Kamu naik taksi aja ya. Ntar sore aku datang ke rumah, gimana?”

Gue mendesah pelan. Pengen marah sih, tapi masa hampir tiap hari marah-marah terus sama dia.

“Ya udah deh, aku naik taxi aja!” Gue langsung menutup telepon sebelum Altan membalas kalimat gue.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status