Share

Sosok Yang Kurindukan

Felix.

Gue udah ngebayangin dari semalem gimana ekspresi Tania waktu ngelihat gue di acara pernikahan Rangga.

Seminggu yang lalu sahabat baik gue waktu SMA itu ngehubungi gue dan minta gue buat jadi pendamping di acara pernikahannya.  meskipun gue memang masih sering ketemu sama Rangga namun gue cukup terkejut mendengar rencananya, sebab pria itu tak pernah membicarakan masalah pernikahan di depan gue. gue pikir, dia sama kayak gue atau bahkan pria modern lain di luar sana, yang beranggapan bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang musti dijadikan kewajiban. Namun ternyata, dia pria yang cukup bertanggung jawab dengan hubungannya, dan gue salut akan hal itu.

Semalaman, gue nyaris enggak bisa tidur. Bukan karena pernikahan Rangga, melainkan pengen banget lihat ekspresi Tania waktu ngelihat gue. Rangga memang bilang kalau Rani bakalan mengundang Tania karena ia adalah sahabat baik dari gadis itu.

Dan terbukti!

Ekspresi terkejut campur salah tingkat menjadikan wajah Tania kelihatan lebih lucu dan imut. Andai gue bisa, gue pengen kasih kejutan dia tiap hari kayak begini. Hahahaha.

“……….Dibayar tunaaai!” suara Rangga lantang memecah kesunyian. Semua mata focus kearahnya termasuk gue yang ikut deg-deg-an waktu dia merapalkan kalimat ijba qobul. Gue jadi bertanya-tanya sama diri gue sendiri—gue kapan?

Padahal selama ini gue sama sekali enggak pernah berfikir bakalan punya perasaan iri seperti ini ketika melihat sahabat gue nikah.

“Bagaimana saksi?”

“Sah….”

“Sah….”

“Sah….”

Seketika ruangan kembali hening setelah penghulu mengajak para tamu untuk mengucapkan doa bersama-sama. Di sela-sela do’a, gue lirik Tania yang duduk bersebrangan dengan gue. Melihat gue menatapnya, dia mencelos lantas membuang muka. Gue tersenyum geli. Kenapa hari ini dia terlihat cantik dengan dress berwarna peach itu, apalagi sebuah jepit mutiara tampak indah menghiasi rambutnya yang tergelung dengan sempurna.

“Gue tinggal dulu ya, itu ada tamu nyokap gue.” Rangga menepuk pundak gue lantas berlalu pergi. Setelah ijab qabul selesai, dilanjutkan acara makan-makan dan saling memberi ucapan. Gue tahu Rangga dan Rani sibuk, jadi gue iya aja waktu sohib gue itu ijin buat nyamperin tamu mamanya.

Gue mengedarkan pandangan ke sekeliling, lantas tersenyum begitu saja ketika melihat Tania sedang berdiri sendirian di sudut ruangan. Meskipun gue tahu bahwa dia enggak bakalan nerima kedatangan gue, tapi gue tetep pengen menemui dia di sana.

“Sendirian aja?” Basa-basi gue ketika sampai di depan dia.

Tania hanya menatap gue sekilas sebelum akhirnya pura-pura sibuk dengan minumannya.

“Kayaknya enggak perlu nanya lo juga udah tahu kalau gue sendirian.”

Gue tertawa.

“Cowok lo mana?” meski di sengak’i gue bukan tipe manusia yang bakalan nyerah begitu saja .

“Gue kasih tau lo juga enggak bakalan ngerti.”

Gue menyesap minuman gue pelan. Sedikit mencoba menghilangkan kesal di dada gue karena sejak tadi Tania terus menggunakan Bahasa ketus sama gue.

“Lo kaget ya karena ternyata kita temen satu sekolah?” Tanya gue kemudian.

“Sedikit….”

“Masa?”

Dia mengangkat dagu lantas menatap gue.

“Bisa enggak sih lo pergi? Belum cukup apa lo ngerecokin hidup gue di Bali?”

Gue diam saja. Bukannya enggak bisa jawab kalimat sengak dia, Cuma males aja ngeladenin. Kalau gue ladenin, gue yakin dia bakalan lebih mencak-mencak enggak jelas. Jadi yang gue lakuin cukup diam sambil menatap dia dengan tenang.

“Lo benci banget ya sama gue?” Tanya gue kemudian.

“Menurut lo?” liriknya sinis.

“Atas dasar apa lo benci banget sama gue?”

Dia menatap gue sekilas. Gue pikir dia bakalan jawab, nggak taunya diem aja.

“Helo….kenapa lo benci banget sama gue?!”

“Jawabannya lo pasti tau?”

“Gara-gara malem itu?!” Seru gue kemudian. Sengaja. Biar orang-orang pada ngelihatin kita. Dan sukses! Beberapa orang menoleh kearah kami dengan pandangan heran.

“Ih, mulut lo tu bisa enggak sih enggak usah teriak-teriak!” dia sukses menginjak kaki gue. Dan alamak rasanya perih banget karena dia pakai ujung heelsnya yang runcing itu.

“Habisnya lo sengak banget sih sama gue.” Jawab gue sambil meringis-ringis menahan kaki gue yang berdenyut di balik sepatu.

“Makanya, jangan teriak-teriak! Bikin malu gue aja!”dia tampak semakin kesal. Diletakkanya gelas yang sejak tadi dipegangnya lantas berjalan meninggalkan gue.

*****

Pesta pernikahan itu selesai tepat pukul delapan malam. Meningalkan rasa lelah yang luar biasa meskipun yang gue lakuin sejak tadi hanya duduk, makan, dan ngobrol. Di luar hujan turun dengan deras. Rejeki bagi pasangan pengantin baru ini yang akan menjalankan ritual malam pertama mereka.

“Lo dianter siapa Nia?” Tanya Rani ketika kami berempat berkumpul di teras gedung. Suasana gedung sudah sepi, hanya ada kami berempat serta beberapa pekerja yang sibuk melepas dekorasi dan mengumpulkan kursi.

“Gue dijemput.” Jawab Tania.  Tak berselang lama, jemarinya sibuk memencet-mencet layar ponsel lalu meletakkan benda pipih itu di sisi telinganya. Dalam hitungan detik, dia lantas menurunkan ponselnya dengan wajah sedikit masam.

“Gimana?” Tanya Rani lagi. “Cowok lo enggak bisa jemput?”

Tania hanya menghela nafas yang gue tahu artinya adalah ‘iya’.

“Gimana kalau bareng sama Felix aja?” Rangga menimpali. “Lo mau kan anterin Tania pulang?” dia menyikut lengan gue.

“Gue sih mau-mau aja. Tapi Tania-nya mau apa enggak?” gue melirik Tania, namun gadis itu malah pura-pura enggak denger apa yang barusan gue katakan.

“Gue naik taksi aja deh.” Sahut Tania kemudian.

“Jam segini mana ada taksi lewat Nia?” Rani mendongak ke atas langit. “tuh lihat langitnya gelap banget.”

“Ya iyalah gelap istriku. Namanya juga malem…” potong Rangga cepat. “Gemes deh, pengen cepet-cepet ngajakin kamu masuk kamar.”

Kalimat Rangga sontak membuat gue dan Tania berpandangan tanpa sadar. Sejak kapan Rangga jago ngelawak kayak begini? Padahal dulu dia termasuk cool boy di sekolahan.

“Tuh….udah pengen ada yang masuk kamar. Lo enggak mau kan jadi perusak suasana Nia?” gue ikutan nimbrung.

“Ya kalian masuk aja duluan. Gue nungguin taksi.” Bukan Tania kalau enggak keras kepala.

“Yakali gue tega ninggalin lo disini sendirian Nia….” Rani memutar bola matanya. “Gue rela enggak malam pertama dah, buat nungguin lo di sini.”

Gue tertawa sedang Rangga langsung merengut. Dia kelihatan benar-benar tidak rela jika harus menunda acaranya belah duren malam ini demi Tania.

“Nia….please deh. Kali ini aja. Lo mau ya pulang bareng Felix. Udah malem Nia, hujan juga tambah deres.” Rangga menangkupkan kedua tangannya. “Kalau dia macem-macem bilang sama gue deh. Biar gue bantu lo buat lapor polisi.”

“Enak aja. Lo pikir gue bakalan perkosa dia apa? Enggak gue perkosa aja dia udah dengan senang hati menyerahkan diri sama gue.” Protes gue enggak terima. Sedangkan Tania yang mendengar kalimat gue langsung melotot kesal. Dia menceloskan mata, memberi isyarat agar gue diam.

“Udah….udah…..malam ini aja ya Nia, lo mau dianter Felix. Gue enggak tega kalau lo pulang sendirian ditengah hujan kayak begini.” Rani melirik suaminya. “Soalnya ada yang enggak rela kalau gue nungguin lo semaleman di sini.”

Tania tampak ragu, namun gue yakin kalau dia juga merasa tidak enak jika terus berlama-lama di rumah Rani apalagi waktu semakin beranjak malam. Akhirnya gadis itu mengangguk meskipun dengan tidak niat.

“Yaudah, kalau gitu gue pulang bareng Felix aja.”

Yes! Akhirnya gue bisa nganterin dia pulang.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status