Share

Tengah Malam dan Mobil yang Mogok

Tania.

Lagu dari Giselle—cara melupakanmu mengalun lembut dari dalam mobil hitam yang kini gue tumpangi. Di depan kami, wiper tampak naik turun dengan teratur. Menghalau tetesan hujan yang turun dengan deras di bumi.

“Kedinginan ya?” Felix membuka suara. Tangannya terulur menekan tombol AC untuk menurunkan suhu di dalam mobil yang lumayan dingin. karena gue hanya memakai dress out of shoulders, jadi suhu AC ini terlalu menggigit buat gue.

“Sayangnya gue enggak bawa selimut.” Dia kembali bercicit yang hanya gue balas dengan lirikan saja.

Sejak dalam perjalanan tadi, dia terus mengoceh tentang berbagai hal. Mulai dari hotel di Bali yang mulai beroperasi sampai dengan pernikahan Rangga dan Rani yang begitu mengejutkan. Sedangkan gue sejak tadi hanya menjawab ham-hem saja dan bahkan tak menanggapi sama sekali. Gue pengen segera sampai rumah. Tapi kenapa justru rasanya lama sekali ya?

Perjalanan kami mulus-mulus saja membelah hujan sambil menikmati lagu demi lagu yang terputar perlahan hingga mobil yang gue tumpangi ini tiba-tiba mendadak berhenti.

“Lho….kok berhenti Fel?” gue menatap dia keheranan. Masa iya mobil sebagus ini mogok?

Felix menggaruk kepalanya.

“Enggak tahu nih. Mungkin gue lupa ngisi air aki.” Jawabnya setengah tidak yakin. “Mana hujannya makin deres pula.”

Gue terdiam. Pupus sudah harapan gue buat sampai di rumah tepat waktu.

“Terus gimana dong Fel? Rumah gue masih jauh.” Gue menatap jam di layar ponsel. Hampir tengah malam rupanya.

Felix tak menjawab. Dia melongok ke belakang lalu mengulurkan tangannya.

“Kita tunggu di luar aja sembari gue ngubungi mobil derek.” Dia memperlihatkan sebuah payung yang baru saja diambilnya di kursi belakang. Diambilnya pula sebuah jas yang entah sejak kapan berada di kursi mobilnya lalu memakainya.

Gue mengangguk tak antusias. Meskipun pada dasarnya gue enggak suka lama-lama sama dia, namun tidak ada pilihan lain. Ekor mata gue terus mengikuti gerakan tubuh Felix saat ia membuka pintu mobil, membuka payung lantas berlari kecil kearah gue, membuka pintu dan membantu gue turun dari dalam mobil.

“Kita tunggu di sini dulu.” Gumamnya sambil menutup payungnya ketika kami sudah berdiri di emperan toko yang sudah tutup. Suasana cukup sepi. Hanya ada penjual bajigur yang mangkal tidak jauh dari kami.

“Mau bajigur?” tanyanya kemudian yang gue jawab dengan gelengan. Bukannya gue enggak suka bajigur, Cuma agak aneh aja dengan pakaian seperti ini terus nongkrong di warung bajigur. Bukannya disangka pembeli, gue ntar malah dikira wanita plus-plus lagi.

“Enggak usah. Gue pengen pulang, nggak pengen bajigur.” Jawab gue masih dengan nada ketus.

“Maafin gue ya Nia.” Dia mengambil ponselnya. “Enggak tahu kenapa mobil ini tiba-tiba ngadat. Apa gara-gara jarang gue pakai ya?” dia bergumam sendiri dan sedetik kemudian gue mendengar ia sudah tersambung dengan layanan service mobil. Gue termangu menunggu Felix selesai bertelepon sambil sesekali menggosok-gosok lengan gue karena dingin.

“Lo kedinginan?” tanyanya setelah beberapa saat ia selesai dengan teleponnya.

Gue menoleh, dan mendapati Felix melepas jas hitam yang dipakainya.

“Pakai ini dulu.” Tanpa menunggu persetujuan gue, dia segera menutupi punggung gue dengan jas yang tadi dipakainya. Awalnya gue pengen menolak, tapi setelah gue merasa nyaman dengan jas ini, gue akhirnya urung mengembalikannya.

“Gimana, hangat kan?”

Boleh gue jujur?

“Lumayan.” Jawab gue. “Tapi lo gimana? Gue enggak mau lo sakit cuma gara-gara berlagak jadi superman disini.”

“Kemeja gue  lengannya panjang. Masih cukup hangat.” Dia tersenyum seraya merapatkan jas itu di tubuh gue.

Gue tersenyum samar sambil membuang muka. Ya iyalah membuang muka, kalau Felix sampai tau gue tersenyum buat dia, enggak tau deh apa yang bakalan terjadi.

“Gue cari minuman hangat dulu ya Nia.”

“Minum? Kemana?” gue tengok kiri-kanan. Enggak ada apa-apa selain hujan dan tukang bajigur yang mangkal tidak jauh dari kami itu.

“Tanya ke tukang bajigur itu. Punya teh anget enggak.”

Kali ini gue enggak bisa menahan tawa. Gimana ceritanya, beli teh anget ke tukang bajigur. Mana ada?

“Lo yakin mau beli the anget di tukang bajigur?” Tanya gue sanksi.

“Lah emang kenapa?”

“Emang ada?”

“Kalau belum kita coba, mana tahu hasilnya Nia?”

Dan gue hanya mengangguk saja. Sejak kapan Felix berubah menjadi orang super PD macam sekarang. Seingat gue, dulu dia selalu buang muka tiap papasan sama cewek-cewek di sekolah, termasuk gue.

“Eh gue mau tanya sesuatu sama lo.” Gue melipat tangan di depan dada.

“Apa?”

“Lo habis berapa juta buat operasi plastik?”

“Ha? Operasi plastic?” Felix tercengang. “Siapa yang operasi plastik?”

“Lo.”

“Gue?!” dia menunjuk dirinya sendiri. “Atas dasar apa lo nuduh gue operasi plastic?”

“Gue enggak nuduh, gue Cuma tanya.” Gue menarik jas yang hampir melorot. “Habisnya, waktu SMA lo itu gendut, item , jerawatan, pakek kacamata—”

“Oke!” Felix mendekat ke arah gue, sepertinya dia enggak nyaman dengan kalimat panjang gue yang membahas tentang masa lalu dia. “Gue enggak operasi. Terserah lo percaya atau enggak.”

“Masa?”

“Gue nge-gym, merawat tubuh gue dengan baik.” Jawabnya. “Cuma lo orang pertama yang punya pendapat kalau gue operasi plastic.”

Gue mencebik. Mungkin orang lain juga berpikiran kayak gue, tapi enggak berani ngomong aja.

“Mikirin apa?” Dia mengangkat dagu gue dengan jari telunjuknya. Gue berdehem karena wajahnya yang begitu dekat dengan wajah gue.

“Gue beli minum dulu, nggak usah mikir aneh-aneh tentang gue.” lalu dia pergi begitu saja.

******

“Nia, kayaknya tukang derek mobilnya baru dateng nanti subuh.” Felix berjalan kearah gue sambil menenteng  plastic hitam yang gue yakin itu isinya teh anget kalau bukan bajigur. Mungkin karena kepalang malu, dia akhirnya beli juga minuman penghangat di kala hujan itu.

“Subuh?” Tanya gue cemas. Kalau gue berdiri di sini sampai subuh, bisa dipastikan kami berdua bakal hipotermia saking dinginnya.

“Iya. Gue baru aja di telepon.” Felix membuka plastik yang dibawanya dan mengeluarkan teh anget dari dalam sana.

Teh anget?

Gue enggak salah lihat?

“Teh anget?” gue menerima satu teh anget yang dibungkus dalam gelas plastic itu dan menimang-nimangnya sebentar.

“Apa gue bilang Nia. Kalau belum dicoba, mana tahu hasilnya bukan?” dia menyesap the hangatnya dan gue mengikuti. Rasanya lumanyan hangat di perut gue yang terasa dingin.

“Jadi gimana kita?” Tanya gue setelah menyesap hampir separuh teh anget tersebut.

Felix belum menjawab. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu.

“GImana kalau lo naik taksi aja?” dia berjalan ke tepi jalan raya. Memang beberapa kali gue masih melihat taxi yang melintas di depan kami. “Gue enggak tega ngelihat lo nemenin gue malem-malem pakai pakaian kayak begitu Nia.”

Gue menunduk, menatap penampilan gue malam ini. Pakaian seperti ini memang tidak cocok dipakai di pinggir jalan, apalagi malam hari. Banyak yang akan salah paham pastinya.

 “Nia….” Suara Felix menyadarkan lamunan gue.

Gue mengangkat dagu dan sebuah taxi ternyata sudah terpakir di depan kami.

“Sini…masuk….”

“Udah dapet taxi-nya?”

Felix mengangguk, dan menarik lengan gue untuk mendekat.

“Pak….tolong anterin selamat sampai rumah ya.” Katanya ketika gue hendak bersiap masuk ke dalam taxi.

“Tunggu…..tunggu.. pak!” cegahnya sebelum gue bener-bener naik. Gue menatapnya heran, pun juga bapak-bapak sopir taxi setengah baya tersebut.

Tanpa mengatakan apa-apa, Felix langsung berjalan ke arah belakang taxi. Mengambil ponselnya, lalu……

What?

Pakek plat nomor taxi-nya di foto juga?

Gue menggigit bibir menahan malu sedangkan bapak supir taxinya tertawa geli.

“Enggak percaya banget sih sama saya mas? Anak perempuan saya juga udah seusia pacarnya mas lho, jadi tenang aja.” Pak Sopir bukannya tersinggung malah tertawa.

Pacar? Saya bukan pacarnya pak!

“Maaf pak. Bukannya curiga sama bapak. Cuma udah malem, kalau ada garong di jalan atau apa kan nanti bisa dicek lewat plat mobilnya.” Sanggah Felix sambil mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompetnya lantas memberikannya pada supir taxi itu.

Gue menggeleng-geleng tidak paham dengan pikirannya yang berlebihan.

“Pak kalau duitnya kurang, minta sama dia ya. Saya udah gak bawa duit cash lagi.” Felix memperlihatkan dompetnya yang udah kosong melompong pada supir itu.

Pak sopir tertawa.

“Ini mah masih sisa banyak banget mas!”

“Yaudah buat bapak aja kalau gitu.”

“Beneran mas? Makasih ya mas. Rejeki tengah malem ini.”

Felix tersenyum.

“Gue bawa duit kok Fel.” Gue merasa enggak enak karena dia menghabiskan uangnya Cuma buat dikasih bapak sopir taxi. “Kalau kamu enggak bawa cash…..”

“Udah deh, tenang aja. Gue bisa tidur di mobil nanti.” Jawabnya santai. “Udah sana masuk, udara tambah dingin.” Dia mendorong gue masuk ke dalam taxi.

“Jas kamu?” Tanya gue ketika pintu taxi sudah tertutup.

“Bawa aja.” Kediknya. “Hati-hati ya….kalau sampai di rumah kabarin gue.”

Gue tidak menjawab. Menimbang-nimbang apa perlu gue ngehubungi dia kalau gue sampai di rumah nanti?

“Jalan pak…..” perintah gue pada sopir taxi. Sesaat setelah taxi berjalan, gue menoleh ke belakang. Gue lihat Felix Felix masih terus menatap taxi yang gue tumpangi sampai hilang di perempatan jalan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status