Share

Catatan Terakhir Penyintas

"Hei, Argo," kata Cheryll dengan suara yang lebih tegas.

Argo yang sedari tadi melihat ke kiri dan kanan jalanan, segera melirik gadis berusia lima belas tahun itu. "Apa?"

"Tolong ajari aku menembak!" pinta Cheryll seraya menghentikan langkahnya. "Tadi itu kau sangat hebat. Caramu menembak dan menghindari peluru penjahat itu benar-benar keren."

Argo pun berhenti kemudian menghela napasnya.

"Kenapa kau ingin belajar menembak?" tanyanya.

"Aku …." Ekspresi Cheryll mendadak terlihat geram. "Aku ingin membunuh orang-orang kurang ajar itu, mereka … mereka selalu saja mabuk-mabukan dan menyakiti ibuku! Tak jarang ibuku menangis dibuatnya! Ibuku selalu menjawab 'ibu baik-baik saja' saat aku bertanya kenapa dia menangis.

"Tapi aku tahu, aku tahu semuanya, dia bekerja sebagai pelacur untuk menghidupiku, bahkan setelah banyak orang yang mati dia tetap menjadi pelacur. Sampai mati pun dia tetaplah pelacur. Aku ingin menumpas semua bajingan itu, terutama orang itu! Dia sudah meninggalkan aku dan ibuku sendirian dan hidup menderita, sementara dia hidup enak-enakan."

Argo sedikit menggelengkan kepalanya, tak percaya gadis semuda ini bisa mengatakan hal seperti itu. Ia terdiam sejenak seolah sedang memilah kata-kata yang tepat untuk diucapkan.

"Dengar, Cheryll! Membunuh itu tidaklah hebat. Apa pun alasannya membunuh tetaplah membunuh, perbuatan yang salah, meskipun alasannya untuk menyelamatkan gadis sepertimu. Aku tidak jauh berbeda dari orang-orang yang kau bilang bajingan yang telah membunuh ibumu."

"Tidak, kau tidak sama!" bantah Cheryll. "Kau orang baik, kau adalah pahlawanku, aku mencintaimu."

Seandainya dia mengatakannya lagi di lima tahun yang akan datang, batin Argo. Ia menghela napasnya lagi.

"Maaf, aku tidak bisa mengajarimu menggunakan pistol."

"Kenapa?" Gadis berambut kecoklatan itu menengadah, menatap wajah Argo.

"Kau masih terlalu kecil, selain itu, dendam itu seperti api. Kau akan terbakar, jika kau bermain-main dengannya. Kau hanya akan menyesal pada akhirnya."

"Aku tidak peduli! Aku hanya ingin membela keadilan! Aku ingin melenyapkan orang-orang jahat!" Cheryll semakin bersikeras.

Argo berpikir sejenak. Ia tidak ingin menciptakan seorang pembunuh, tetapi di sisi lain ia juga paling benci jika harus berdebat, apalagi dengan orang yang keras kepala. Gadis itu benar-benar mengingatkannya pada Shinta.

"Baiklah, aku akan mengajarimu menembak, tapi sebelum itu kau harus melatih fisikmu terlebih dahulu."

"Benarkah?" Cheryll tersenyum lebar. "Terima kasih, Argo! Aku akan berlatih dengan keras."

Mereka kembali melanjutkan perjalanannya.

Di halaman rumah sakit Argo berhenti. Tak jauh berbeda dengan tempat-tempat lain, kerangka manusia berserakan di mana-mana. Bukan tempat yang mengenakkan untuk beristirahat, tetapi satu-satunya tujuan ia ke sini adalah untuk mencari petunjuk. 

Bagi Argo yang merupakan seorang mantan detektif, petunjuk sekecil apa pun sangat berguna.

Bau busuk segera menyeruak saat Argo dan Cheryll memasuki rumah sakit. Aroma mayat yang seharusnya sudah lama menghilang.

"Apa yang ingin kau lakukan di tempat bau ini, Argo?" tanya Cheryll seraya menutupi hidungnya.

"Aku ingin mencari sesuatu sebentar, kau tunggu saja di luar!"

"Oh, baiklah."

Argo segera masuk lebih dalam lagi. Menyusuri lorong yang sulit untuk dilewati karena terhalang oleh brankar berisi kerangka yang memenuhi di sepanjang koridor. Bangsal, kamar mayat, serta semua ruang pasien pun dipenuhi oleh tumpukan tulang belulang pasien tak tertolong dan para perawatnya.

Hal yang menarik perhatian Argo adalah bau itu. Pasti ada seseorang yang mati beberapa hari yang lalu di sini. Ia mengikuti aroma busuk tersebut yang membawanya ke depan salah satu ruangan dengan pintu terbuka. 

Tampak mayat seorang perempuan tergeletak di depan pintu tersebut. Telentang. Argo segera memeriksanya. Mayat tersebut tampak sudah mulai mencair, belatung-belatung berpesta ria mengoyak dagingnya yang membusuk.

Di dekat jasad perempuan itu, ada mayat lain. Seorang laki-laki paruh baya yang memiliki pitak di kepalanya, terbujur kaku. Sebuah pisau bernoda merah kehitaman tergenggam di tangannya. Terdapat tujuh luka tembak di dadanya.

Perhatian Argo kemudian tertuju pada pistol shot gun kecil yang tergeletak di samping mayat si perempuan malang. Meskipun kemampuan deduksinya tak terlalu hebat, tetapi ia dapat menyimpulkan bahwa kedua orang itu pasti terlibat sebuah pertengkaran yang berujung maut, atau bisa jadi salah satu di antara mereka adalah penjarah. Siapa yang tahu?

Di balik telapak tangan mayat perempuan itu, Argo melihat pulpen dan catatan kecil. Sedikit aneh, karena hampir tidak lagi yang menggunakan kertas sejak beberapa tahun terakhir, tergantikan oleh gadget dan komputer yang semakin canggih. Selain lebih mudah dan aman menyimpan dokumen di drive, tanpa takut akan dimakan usia atau terbakar apalagi basah, juga karena pasokan bahan baku kertas semakin menipis. 

Kawasan hutan semakin berkurang dengan meningkatnya populasi dunia yang kini sudah melebihi sembilan miliar orang. Distribusi kayu kian menurun dan polusi meningkat drastis.

Saat ini sangat sulit untuk menemukan toko buku atau pabrik kertas, tetapi bukan berarti sudah tidak ada yang memproduksinya. Hanya saja jarang ada orang yang membelinya, sehingga banyak penjualnya yang menyerah dan mencoba pekerjaan lain.

Argo segera mengambil catatan itu dan membawanya.

Aku tidak tahu untuk apa aku menulis ini. Aku juga tidak tahu sudah berapa hari atau minggu aku dan sahabatku Mia terjebak di ruangan ini, tetapi yang pasti, kami sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan. Sudah tiga hari kami tidak makan, hanya minum dan minum aja. Kami terlalu takut untuk keluar, karena sejak wabah tiba-tiba menyerang dan membunuh banyak orang, salah satu rekan kerja kami, dokter Marko menjadi gila dan ingin membunuh kami dengan pisaunya.

Jadi kami bersembunyi di ruang ini dan mengunci pintunya. Berharap dokter Marko segera pergi. Namun, setiap kali aku mengintipnya, dia selalu berada di sana, berkeliaran sambil tertawa-tawa gila. Satu-satunya harapan kami adalah seorang pahlawan akan datang menyelamatkan kami, tetapi itu tidak mungkin. Ini bukanlah kisah bergenre superhero.

Pada akhirnya kami menyerah, kami sudah tidak tahan lagi dengan rasa lapar. Kami harus pergi dari tempat ini. Lebih baik mati setelah berusaha daripada diam saja menunggu kematian datang. Lagipula apa pun pilihannya, hasilnya mungkin tetap akan mati juga.

Saat aku membuka pintu, tampak si tua Marko langsung berlari ke arah kami. Mengacungkan pisaunya. Akan tetapi kami sudah membuat beberapa rencana pelarian. Ah sial, mataku sudah semakin berat. Baiklah, kalau begitu aku akan menyingkatnya. Rencana kami gagal dan Marko berhasil menusuk perutku.

Mia kembali berlari menghampiriku tetapi dengan bodohnya aku menyuruh dia pergi. Awalnya dia menolak, tetapi aku berhasil meyakinkannya supaya meninggalkanku yang sekarat.

Marko ingin mengejarnya tetapi sebelum dia sempat balik badan, aku mengeluarkan pistol yang selama ini aku sembunyikan dan menghabisi Marko dengan tujuh tembakan. Dia mati dan sebentar lagi aku akan mati. Mungkin sekarang …."

Kata-kata selanjutnya hanyalah sebuah coretan tak berarti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status