Restoran mewah itu berada di seberang jalan, bersebelahan dengan butik baju dan toko mainan. Seorang pelayan tampan berpakaian serba hitam dan mengenakan dasi kupu-kupu menyambut Argo dan Balaam dengan ramah sewaktu keduanya masuk. Semua makanan dan minuman yang ada di menu terlihat mahal-mahal sekali. Jelas sekali hanya orang kaya raya yang bisa masuk dan mencicipi masakan di sini.
Argo cukup terkejut sewaktu ia dibawa ke tempat mewah yang cukup terkenal itu. Ia tidak menyangka orang yang mentraktirnya itu adalah seorang VVIP. Cukup memperlihatkan sebuah kartu hitam, maka pelayan segera membawanya ke tempat khusus yang lebih nyaman daripada meja yang biasa. Seorang violinis memainkan irama yang lembut sekali dan pelayan wanita muda yang cantik jelita menemani mereka. Sepertinya ia sudah sangat mengenal Balaam.
Sementara Argo yang terlihat keheranan, Balaam tersenyum lebar.
"Hahaha, kau pasti kaget, kan?"
"Ya, bukankah tadi kau bilang, ayahmu masuk ke
Spontan Argo balik badan sewaktu merasakan seseorang menyentuh bahunya. Dengan cepat pula pistol Makarovnya ditodongkan kepada orang yang berada di belakangnya itu. Tampak olehnya seorang laki-laki yang mengenakan plester luka di pipinya mundur dengan gugup sambil mengangkat tangan. Wajahnya sangat familier. "Tenanglah, Bung! Aku bukan orang jahat!" "Oh, Giz … ternyata kau," Argo menghela napasnya kemudian menurunkan pistol itu. Laki-laki yang umurnya enam tahun lebih muda dari Argo itu berkata dengan cepat. "Ya, ini aku, senang melihatmu masih hidup, Argo. Aku benar-benar bingung dan frustasi, wabah itu sudah membunuh banyak orang dan entah kenapa, kebanyakannya cuma orang jahat saja yang masih hidup. Omong-omong, apa yang sedang kau lakukan di sini, Argo?" "Aku sedang mencari cara untuk masuk ke sana," kata Argo seraya menatap gedung berlantai sepuluh itu. "Apa? Kau, kau berencana untuk menyusup ke sana lagi?" kaget Giz.
Pria tua itu bernama Kal, seorang pembunuh bayaran paling mahal dan paling ditakuti di dunia gelap pada masanya, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Umurnya sudah setengah abad lebih dua windu. Sudah cukup tua, tetapi kehebatan dan kegesitannya tidak bisa dianggap enteng. Orang tua yang keras kepala, begitulah Argo menamainya. Ia mengeluarkan shotgunnya dengan tangannya yang sebelah kanan kemudian diletakkan di atas bahu. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Argo kepada orang tua itu. Kal tua menyeringai. Jelas sekali ia ingin menguji kemampuan muridnya yang sudah lama tidak terlihat. "Ah, akhirnya aku bisa melihat wajahmu lagi, muridku, aku senang kau masih hidup. Kau tidak tahu betapa aku sedihnya saat melihat banyak orang mati, padahal tidak kubunuh." "Tidak usah basa-basi! Aku tahu kebusukan hatimu itu, orang tua keras kepala! Pembunuh tak berperasaan yang sudah membuatku jadi orang kejam sepertimu, tidak mungkin punya rasa simpati!" O
Luka di hati Argo kembali terbuka, dendamnya yang sempat hampir terpadam kini membara lagi, tetapi sebisa mungkin ia menahan diri dan mempertahankan ekspresi tenangnya. Pepatah dari Jep dan mendiang ibunya selalu terngiang di benaknya. Dendam bukanlah pilihan, dendam hanyalah keinginan hati untuk membalas derita, yang hanya akan melahirkan rantai penderitaan yang selalu berulang. Bersabarlah andainya kau tidak bisa memaafkan seseorang. Sabar tidak berarti harus memaafkan. Sabar berarti menahan diri dan tidak berbuat tergesa-gesa, sehingga kau tidak akan melakukan perbuatan yang mungkin akan kau sesali kelak. Argo menatap wanita separuh baya berwajah sendu dengan bara api dendam dan amarah terpancar dari sorot matanya. Wanita itu baru saja menjelaskan semua yang dialami putri semata wayangnya. "Hem, baiklah, saya mengerti." Sejenak Argo merenung setelah menuliskan sesuatu di memo jam tangannya. "Seperti dugaanku, dia punya banyak nama, pantas pol
Tahun 2076 teknologi dan ilmu pengetahuan telah berkembang dengan cepat. Semua pekerjaan mengandalkan internet. Berhitung, berdagang, atau bersekolah. Tidak ada lagi pekerjaan yang terlalu susah atau menguras tenaga. Anak-anak tak perlu lagi berangkat ke sekolah, bahkan bangunan sekolah hampir tidak pernah ditemukan lagi, kecuali di daerah kumuh tempat orang-orang yang terbuang dari masyarakat tinggal. Sekolah kuno yang masih menggunakan buku fisik. Kehidupan sosial masyarakat telah banyak berubah. Hidup mereka serba gelamor. Tentunya itu bagi sebagian orang, karena sisanya hanyalah pengangguran atau penjahat. Jika dihitung-hitung memang hampir tidak ada yang bekerja secara jujur. Berkembangnya teknologi berarti semakin sempurnanya kecerdasan buatan. Para ilmuwan berhasil menciptakan AI tercanggih yang kemudian dimasukkan ke dalam program robot dan komputer. Kecerdasan yang bahkan bisa menyaingi otak manusia
Di bawah langit kelabu dengan awan-awan hitam bergulung itu, suasana perkotaan tampak sepi membisu. Tak ada satu pun manusia yang berkeliaran di jalanan sunyi itu. Bangkai kendaraan yang telah ringsek karena saling bertabrakan ada di mana-mana, beberapa menabrak tiang rambu lalu lintas, beberapa lagi menabrak toko-toko dan sisanya masih utuh. Seisi kota tampak kacau. Dipenuhi kerangka manusia yang bertebaran di segala tempat. Apa yang sudah terjadi? Dan mengapa semua ini bisa terjadi? Tidak ada yang bisa menjawabnya, semua orang sudah mati. Satu hal yang pasti, seminggu setelah konser terbesar Ellie berlangsung, orang-orang mulai mengalami gejala penyakit yang sama dalam waktu serentak. Di antara gejala-gejalanya adalah mereka mengalami penurunan imun tubuh secara drastis. Terdapat ruam pada hidung dan tenggorokan mereka. Suhu tubuh sangat panas, melebihi lima puluh derajat celsius, yan
"Hei, Argo," kata Cheryll dengan suara yang lebih tegas. Argo yang sedari tadi melihat ke kiri dan kanan jalanan, segera melirik gadis berusia lima belas tahun itu. "Apa?" "Tolong ajari aku menembak!" pinta Cheryll seraya menghentikan langkahnya. "Tadi itu kau sangat hebat. Caramu menembak dan menghindari peluru penjahat itu benar-benar keren." Argo pun berhenti kemudian menghela napasnya. "Kenapa kau ingin belajar menembak?" tanyanya. "Aku …." Ekspresi Cheryll mendadak terlihat geram. "Aku ingin membunuh orang-orang kurang ajar itu, mereka … mereka selalu saja mabuk-mabukan dan menyakiti ibuku! Tak jarang ibuku menangis dibuatnya! Ibuku selalu menjawab 'ibu baik-baik saja' saat aku bertanya kenapa dia menangis. "Tapi aku tahu, aku tahu semuanya, dia bekerja sebagai pelacur untuk menghidupiku, bahkan setelah banyak orang yang mati
Argo hanya menghela napas setelah membaca catatan itu. Lalu berkeliling ke seisi ruangan, berharap ada petunjuk lain. Namun, nihil, ia tidak menemukan apa pun. Dokter bernama Mia itu mungkin tahu sesuatu, pikir Argo. Ia memutuskan untuk mencarinya. Akan tetapi harus mencari ke mana? Tidak ada petunjuk ke mana Mia akan pergi. Di dalam komputer itu mungkin tersimpan data profil para pegawai yang bekerja di rumah sakit ini. Sayangnya sudah tidak berfungsi lagi. Argo memukul komputer tersebut setelah beberapa kali mencoba menyalakannya, dan tanpa diduga-duga, komputer pun menyala. Sebelum mencari biodata lengkap para pekerja di tempat ini, terlebih dahulu Argo membuka laman internet. Mungkin di sana ada petunjuk tentang epidemi ini. Di dalam internet, ia menemukan banyak sekali video live streaming yang memperlihatkan kerusuhan saat orang-orang mat
"Apa yang terjadi di sini?" Argo dan Cheryll terbelalak saat melihat kamp penyintas yang mereka datangi telah hancur porak poranda. Bangunan museum dan kemah-kemah sederhana di sekitarnya telah dilalap api. Tidak ada yang tersisa, kecuali puing-puing yang terbakar. "Kebakarannya belum lama," gumam Argo setelah menganalisis tempat itu. Mungkin sekitar satu atau dua jam yang lalu, dan aku rasa tidak ada korban yang selamat, atau bisa jadi mereka telah melarikan diri, pikirnya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang batuk dari dalam museum, sewaktu mereka mendekati bangunan tersebut. "Kau mendengarnya? Sepertinya barusan ada yang batuk dari dalam," ujar Cheryll seraya menatap pria berambut hitam pekat di sampingnya. "Kelihatannya masih ada orang yang selamat di dalam museum. Aku akan menolongnya," ujar Argo seraya berlari ke arah lubang besar di dinding mu