Argo hanya menghela napas setelah membaca catatan itu. Lalu berkeliling ke seisi ruangan, berharap ada petunjuk lain. Namun, nihil, ia tidak menemukan apa pun.
Dokter bernama Mia itu mungkin tahu sesuatu, pikir Argo. Ia memutuskan untuk mencarinya. Akan tetapi harus mencari ke mana?Tidak ada petunjuk ke mana Mia akan pergi.Di dalam komputer itu mungkin tersimpan data profil para pegawai yang bekerja di rumah sakit ini. Sayangnya sudah tidak berfungsi lagi. Argo memukul komputer tersebut setelah beberapa kali mencoba menyalakannya, dan tanpa diduga-duga, komputer pun menyala.Sebelum mencari biodata lengkap para pekerja di tempat ini, terlebih dahulu Argo membuka laman internet. Mungkin di sana ada petunjuk tentang epidemi ini.Di dalam internet, ia menemukan banyak sekali video live streaming yang memperlihatkan kerusuhan saat orang-orang mati satu per satu. Mereka terbatuk-batuk, memuntahkan darah. Satu demi satu jatuh bergelimpangan di jalanan. Ada yang terlindas kendaraan dan ada pula yang terinjak-injak. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan. Rupanya kejadian ini tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Ini sudah bukan epidemi lagi, melainkan pandemi yang datang dengan serentak."Wabah tidak mungkin bisa menyerang seluruh dunia secara bersamaan, kemungkinannya sangat kecil, apalagi dengan masa inkubasi yang sangat cepat. Pasti ada kelompok yang dengan sengaja merencanakan pandemi ini. Tapi siapa?"Sejenak Argo terlarut dalam pikirannya, sampai bau menyengat mayat membuatnya sadar kembali. Ia segera mencari file berisi profil para pegawai rumah sakit. Tak butuh waktu lama, ia sudah menemukannya.Mia Hipatia, bekerja sebagai dokter THT. Kelahiran tahun 2049. Seorang Amerika yang telah berpindah kewarganegaraannya sejak lulus SMP. Memiliki rambut sekuning jagung dan mata sebening embun di pagi hari. Sekarang ia tinggal di Blossom Apartment, kota Sambas.Mia mungkin sempat pulang ke rumahnya dan meninggalkan sebuah catatan di sana.Argo segera beranjak dari depan komputer. Meninggalkan ruangan tersebut. Sebelum keluar dari rumah sakit, ia mengambil beberapa obat dan perban terlebih dahulu. Bukan untuk dirinya, tetapi ia sedikit mengkhawatirkan gadis belia yang menjadi teman seperjalanannya. Semua itu dimasukkan ke dalam tas pinggangnya.Di halaman rumah sakit itu, tampak Cheryll masih menunggu sambil menatap jalanan yang sepi. Ia segera menoleh ke belakang saat mendengar suara langkah kaki mendekatinya."Kau sudah menemukan benda yang kau cari?" tanyanya."Tidak, tapi sekarang waktunya melanjutkan perjalanan," jawab Argo seraya berjalan mendahului Cheryll yang segera membuntutinya."Kita akan pergi ke mana lagi, Argo?""Ke Sambas!""Eh, itu sangat jauh," keluh Cheryll. "Apa kau berencana kita akan pergi ke sana dengan berjalan kaki?""Tentu saja tidak! Lihat! Ada banyak kendaraan yang bisa kita pakai di sini."Kendaraan yang dipilih Argo adalah sebuah mobil listrik merek terbaru. Kebanyakan mobil di zaman ini memang telah menggunakan listrik atau tenaga surya. Hanya beberapa kendaraan yang masih menggunakan bahan bakar solar atau bensin.Mobil itu melaju dengan cepat, menyalip bangkai-bangkai kendaraan yang ada di sepanjang jalan raya.Butuh waktu empat jam untuk sampai ke kota Sambas. Langit di ujung barat telah berwarna merah tembaga, sebagai bentuk lambaian tangannya sang raja kehidupan. Berpamitan untuk beristirahat di balik gelapnya wajah malam.Argo segera mengerem mobilnya. Membangunkan Cheryll yang sedari tadi tertidur pulas."Kita sudah sampai, Argo?" tanya Cheryll seraya menguap."Ya," jawab Argo singkat. Lalu turun dari mobil. Mengamati gedung-gedung megah yang berjajar di tepi jalan raya. Mencari gedung yang bernama Blossom Apartment.Cheryll pun segera turun sembari merengek. "Argo, aku lapar!"
"Huh, baiklah, tunggulah di sini! Aku akan mencari makanan sebentar.""Tidak! Aku mau ikut!" Cheryll segera mengikuti Argo dari belakang.Mereka memasuki sebuah toko roti di seberang jalan, tepatnya di samping apartemen yang sedang dicari oleh Argo. Blossom Apartment. Setelah mengambil beberapa buah roti, mereka segera masuk ke gedung itu. Memeriksa setiap kamar."Hei, Argo, sebenarnya apa yang sedang kau cari?" tanya Cheryll seraya menelan rotinya."Aku sedang mencari petunjuk.""Petunjuk? Petunjuk apa?""Epidemi ini! Aku ingin tahu asa muasal epidemi ini!" tegas Argo seraya membuka pintu itu. Menggeledahnya.Di atas rak, Argo menemukan sebuah bingkai foto yang memperlihatkan sepasang suami istri dengan seorang gadis kecil di tengah-tengah mereka. Gadis itu terlihat sangat familier. Mia. Tak diragukan lagi kamar ini adalah tempat tinggal si dokter THT yang sedang dicarinya."Lihat, Argo!" kata Cheryll. "Aku menemukan sebuah liontin."Argo segera mengambilnya.Di dalam liontin tersebut tertempel sebuah foto kecil yang terdiri dari tiga anak remaja. Gadis berambut pirang yang berada di tengah-tengah itu sudah pasti Mia. Sedangkan dua laki-laki yang berada di sisi kanan dan kirinya mungkin adalah sahabatnya. Di bagian lain liontin tertaut sebuah kalimat yang berbunyi, "Friends Forever.""Liontin ini pasti milik Mia, aku akan membawanya." Argo memasukkan liontin tersebut ke dalam sakunya. Setelah itu ia kembali menggeledah seisi kamar, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada sehelai kertas pun di sana."Kau tadi bilang ingin mencari petunjuk tentang epidemi ini, tapi kenapa harus ke apartemen ini? Apa di sini tempat epidemi pertama muncul?" tanya Cheryll yang sedang duduk di atas kasur."Bukan, tapi di sini adalah tempat tinggal dokter bernama Mia. Dia berhasil selamat dari epidemi seperti kita. Aku harus mencarinya. Mungkin dia mengetahui sesuatu tentang epidemi ini.""Oh, kalau kau sedang mencari dokter Mia, aku tahu di mana dia sekarang.""Kau serius?" Argo kaget mendengarnya. Ia menatap mata gadis itu lekat-lekat."Ya, aku serius, dia sekarang ada di kamp penyintas yang berada di dekat museum zaman peperangan. Aku dan ibuku pernah satu kamp dengannya, sebelum kami memutuskan untuk pulang ke rumah kami."Saat itu kami sedang berlibur di sana, untuk merayakan perpisahan sekolah, tapi tiba-tiba kepalaku pusing, setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Kami terbangun di kamar dokter Mia yang merawat kami selama pingsan. Dia begitu baik dan ….""Oke, cukup!" potong Argo. "Kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi?""Kau tidak bertanya, sih.""Huh, ya sudahlah! Yang lebih penting, apa kau masih ingat di mana museum itu berada?" tanya Argo seraya duduk di samping Cheryll."Ya, aku masih ingat." Gadis berambut kecokelatan itu menoleh, menatap Argo. "Apa kita akan pergi ke sana sekarang?"Argo tidak segera menjawabnya. Ia membalikkan tubuhnya, menghadap jendela. Menatap lembayung senja yang mulai menghilang, ditelan oleh kegelapan malam. Sayap-sayap malam perlahan mulai mengepak, mengusir sisa-sisa cahaya sang mentari."Sudah hampir malam, kita akan pergi besok saja.""Apa yang terjadi di sini?" Argo dan Cheryll terbelalak saat melihat kamp penyintas yang mereka datangi telah hancur porak poranda. Bangunan museum dan kemah-kemah sederhana di sekitarnya telah dilalap api. Tidak ada yang tersisa, kecuali puing-puing yang terbakar. "Kebakarannya belum lama," gumam Argo setelah menganalisis tempat itu. Mungkin sekitar satu atau dua jam yang lalu, dan aku rasa tidak ada korban yang selamat, atau bisa jadi mereka telah melarikan diri, pikirnya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang batuk dari dalam museum, sewaktu mereka mendekati bangunan tersebut. "Kau mendengarnya? Sepertinya barusan ada yang batuk dari dalam," ujar Cheryll seraya menatap pria berambut hitam pekat di sampingnya. "Kelihatannya masih ada orang yang selamat di dalam museum. Aku akan menolongnya," ujar Argo seraya berlari ke arah lubang besar di dinding mu
Di halaman belakang museum itu terdapat taman bermain anak-anak. Ada banyak sekali permainan di sana. Mulai dari ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, sampai komidi putar pun ada. Tampak masih ada kerangka anak kecil yang belum disingkirkan dari sana. Argo duduk di atas bangku taman sambil menatap ke arah perempuan yang berjalan menghampirinya dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hijau. Tersenyum manis. Perempuan berambut kuning jagung yang tak lain dari Mia itu duduk di samping Argo. Hanya dipisahkan oleh nampan. Sejenak keduanya terdiam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Memperhatikan Cheryll yang tengah push-up di depan permainan komidi putar, peluh membasahi keningnya. Mulutnya komat-kamit berhitung, "dua puluh lima, dua puluh enam, dua puluh tujuh …." "Dia benar-benar anak yang sangat bersemangat, ya," mulai Mia. "Ya, dan dia juga sangat keras ke
End Spray, Enofer, lalu idol yang mempromosikannya adalah Ellie E. O. A. E. Argo menggumamkan kata-kata tersebut beberapa kali, dengan kedua mata terus mengawasi langit yang semakin gelap. Ia mencoba membongkar setiap suku kata atau hurufnya, kemudian mencocokkannya dengan berbagai kosakata. Tiba-tiba ia tersentak kaget kemudian bangun—menyadari sesuatu yang mengejutkan. "E, O, A, E dan Enofer, kalau perkiraanku benar, itu bisa berarti 'end of an era,' yang artinya akhir zaman. Mungkinkah Edward Fuller yang telah merencanakan semua ini?" Ia menggelengkan kepalanya. Tidak, itu tidak mungkin, dia sudah mati setelah menciptakan Ellie, atau bisa jadi, dia telah dibunuh oleh seseorang dan Ellie diambil alih oleh orang tersebut untuk melancarkan rencananya, pikirnya. Ada banyak spekulasi di dalam kepalanya saat ini. Wajahnya terlihat sangat serius. Ia terlarut dalam pikirannya yang hanya berisi keingintahuan
"Apa? Ada pintu rahasia di sini?" "Jadi, Dira pergi melalui lorong ini, huh? Syukurlah, dia bukan diculik oleh hantu." "Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Kerja bagus, Argo." Semua orang berdiri di depan lorong yang gelap itu. Tak ada yang mengira ada pintu rahasia di basemen. Tentu saja, jika bukan karena Argo dengan kacamatanya, mereka tidak akan pernah tahu. Sewaktu Argo memeriksa ke dalam lorong, tampak banyak sekali obor kayu yang ditempelkan pada dinding-dinding batu di sepanjang koridor. Entah menuju ke mana. Ada satu obor yang menghilang, mungkin telah diambil oleh Nadira untuk menerangi jalan. Sepertinya lorong rahasia ini sudah ada bahkan sebelum museum dibangun, terlihat dari lumut dan debu yang menyelimuti dindingnya. Jejak kaki Nadira terlihat jelas di sana. "Apa k
Kesunyian yang mencekam menyelimuti bangunan museum itu kala malam semakin larut. Hujan telah reda dua jam yang lalu dan gemuruhnya suara guntur tak terdengar lagi. Di dalam kamp atau museum itu, semua orang masih menunggu kelompok yang sedang mencari Nadira dengan harap-harap cemas. Terutama Agatha yang sangat mengkhawatirkan keselamatan nasib cucunya. Tiba-tiba suara ketukan pintu memecahkan keheningan dan ketegangan yang memenuhi seisi ruangan. Sontak semua orang terperanjat kaget. Mereka segera membukakan pintu tanpa berpikir panjang. Mereka berpikir mungkin itu adalah Nadira beserta Mia, Rizal, Argo dan Cheryll. Akan tetapi orang yang ada di depan pintu itu bukanlah Nadira atau pun regu pencarinya. Mereka adalah sepasang pria dan wanita separuh baya yang mengenakan jas hujan berwarna hitam. "Delon! Wahna! Syukurlah kalian sudah
Cheryll memberikan kotak pertolongan pertama itu kepada Mia, tetapi pada saat yang sama tiba-tiba terdengar suara berdesing. Sebuah misil, tetapi ukurannya dua kali lebih kecil. Senjata menyerupai roket tersebut mengenai atap museum di sebelah kanan dan menghancurkannya. "Kyaa!" Para wanita yang berdiri tak jauh dari sana menjerit histeris. Mereka segera berlari menjauh—menghindari puing-puing atap yang berjatuhan. Profesor Agatha yang berada di dalam museum pun terkejut. Ia ingin tahu apa yang sedang terjadi di luar, apalah daya kedua kakinya sudah tiada dan kaki palsu itu belum bisa digunakan. Penasaran, ia turun dari kursi goyangnya kemudian merangkak, menghampiri pintu. "Misil?" kaget Argo. Pandangan matanya segera tertuju ke arah rudal itu berasal. Samar-samar dari kejauhan di dekat kincir pembangkit listrik tenaga air, tampak sosok s
"Jadi begitu? Kau sengaja mengendalikan robotku untuk membunuh kita semua, ha?" kata Agatha seraya memandang Gilang dengan ekspresi kesal. Duduk bersandar pada tembok di sebelah kincir air yang terus berputar itu. Laki-laki berambut merah itu duduk di tanah, dikelilingi oleh empat orang yang marah. Ia meringis, merasakan sakit di kaki kirinya yang terkena timah panas saat mencoba melarikan diri. Orang yang menembaknya adalah Argo. Ia sedang memeriksa robot yang tiba-tiba berhenti bergerak itu. Sesuai dugaannya, robot buatan Agatha itu mati bukan karena kehabisan daya, melainkan seseorang telah menembaknya tepat ke bagian inti sumber daya. Tidak salah lagi, pelakunya pasti seorang penembak jitu, pikir Argo. "Ya! Benar! Akulah yang telah mencuri alat pengendali robotmu dan menggantinya dengan yang palsu! Aku ingin menghabisi
Argo bersandar pada batang pohon besar di tengah hutan yang gelap itu. Hanya sedikit cahaya yang dapat menyelinap melalui sela-sela dedaunan yang lebat. Ia memperhatikan suasana di sekitarnya yang terkesan menyeramkan. Tidak ada yang datang, sementara senja sudah mulai merona. Dengan tubuh yang semakin terasa sakit, ia mencoba untuk berdiri tetapi lututnya yang lemas mengkhianatinya. Ia terjatuh ke atas akar pohon yang menonjol ke luar itu. Ia sudah mencapai batasannya. "Sial, kakiku mati rasa." Sudah hampir setengah jam ia duduk di sana. Menantikan kedatangan Mia atau siapapun yang akan menyusulnya. Apa mereka tersesat? Atau mereka memang tidak mengikutiku? tanyanya di dalam hati. Di tempat lain, Mia berlari sendirian melewati pohon-pohon yang terlihat menakutkan dengan sepasang mata tiada henti melirik ke kanan dan kiri. Berteriak-