"Totalnya empat ratus lima puluh ribut," ucap Lea pada seorang pembeli yang saat ini melakukan transaksi pembayaran.
Pembeli tersebut memberikan uang sebanyak lima lembar berwarna pink. Lea menerima uang tersebut kemudian memberi kembalian. "Kembalian lima puluh ribu lagi, Kak. Terimakasih sudah mengunjungi cafe kita, semoga harinya menyenangkan." Pembeli tersebut tersipu malu kemudian segera beranjak dari sana. Lea langsung menghela napas, memanggil salah satu staf dan menyuruhnya berganti tugas. "Ck, mungkin saja perempuan itu seorang model, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan cafe. Oleh sebab itu Mas Haiden memilihnya. Ah, aku harus mencari pekerjaan lain intinya. Aku tidak boleh kalah. Menikah dengannya, bukan berarti aku berhenti berjuang. Semangat semangat semangat!" gumam Lea antusias pada akhirnya kalimat untuk mensugesti diri sendiri. Akan tetapi dia mengurungkan niat untuk masuk ke dapur karena ternyata cafe sedang ramai. Lea sebenarnya koki di cafe milik sahabatnya ini. Akan tetapi, kadang dia menjadi pelayan maupun penjaga kasir. Sesuai kebutuhan. Lea beralih menjadi waitress karena mendadak pengunjung ramai. Sebenarnya Lea ingin keluar untuk mencari pekerjaan. Malam tadi, membuat Lea sangat terpukul. Mungkin Haiden tak menyukai seluruh yang ada pada dirinya karena Lea bukan perempuan berkarir. Atau hanya sebatas pelayan cafe, itupun bisa dikatakan dia mendapat pekerjaan ini atas kebaikan hati sahabatnya–Ziea Reigha Azam. Mungkin itulah yang membuat Haiden tak suka padanya. Bekerja hasil pemberian dan hidup seperti alga, terombang ambing dan mengotori permukaan air. Sama seperti Lea, hidup tak tahu arah dan keberadaannya hanya membuat keluarga Mahendra tercemar. Lea hanyalah wanita yang tak punya apapun kecuali cinta pada pangeran dari keluarga Mahendra. Ternyata bersanding dengan pria yang punya segalanya, itu rasanya sangat menyakitkan bagi Lea yang tak punya apa-apa. "Selamat menikmat--ti, Kak," ucap Lea cukup gugup dan terbata-bata di akhir kalimat pada pengunjung, setelah sebelumnya menyajikan makanan di meja. "Oh, Lea." Perempuan yang Lea layani tersebut berucap judes dan ketus, melirik remeh pada Lea yang hanya sebatas pelayan. Dia adalah Melodi, perempuan yang sudah menyukai Haiden sejak lama. Melodi masih bagian Azam dan cukup dekat dengan Haiden yang memang punya hubungan erat dengan keluarga Azam. Melodi di sini bersama sepupu Haiden, hal yang membuat Lea cemas serta gugup. Tentu! Melodi tidak menyukainya dan saat ini dia bersama sepupu Haiden. Lea takut perempuan ini mengatakan hal yang tidak-tidak pada sepupu Haiden. "Kamu bekerja di cafe Ziea, Lea?" tanya salah satu sepupu suaminya, yang berada satu meja dengan Melodi. Lea tersenyum tipis, menganggukkan kepala lalu izin untuk melayani meja sebelah, "iya, Kak. Aku bekerja di sini. Aku pamit ke sebelah yah, Kak." Lea ke meja sebelah, melayani pengunjung yang baru datang. Diam-diam dia mendengar obrolan Melodi dengan sepupu suaminya. "Dia bekerja di sini karena Ziea, dia menikah dengan Kak Haiden juga karena permintaan Ziea. Hah, kalau bukan karena Ziea, perempuan itu bukan siapa-siapa. Kemampuan tidak ada, sikap buruk, dan barbar." Melodi berkata cukup keras, sengaja supaya Lea mendengar. "Jangan begitu. Lea sudah menikah dengan Kak Haiden, itu berarti dia pilihan Kak Haiden. Yah, walau aku juga yakin dia dinikahi karena rasa kasihan saja dari Kak Haiden. Ku dengar dia sudah mengejar Kak Haiden sejak dia SMA." "Hu'um. Kak Haiden berkali-kali menolaknya. Tentu saja, dia bukan dari kalangan kita. Ya, jika sikapnya baik. Tetapi dia perempuan yang buruk, jauh dari tipe Kak Haiden. Kurasa memang benar jika dia dinikahi karena permintaan Ziea. Atau … Kak Haiden kasihan padanya oleh sebab itu dinikahi." "Ahahaha … dia mungkin mengira dirinya Cinderella, si miskin yang menikah dengan pangeran. Kemudian dia hidup bahagia. Dia terlalu naif memandang dunia." "Ternyata hidup tak seindah dongeng. Sudah menikah dengan Kak Haiden tetapi tetap menjadi pelayan. Jangan-jangan dia tidak dipedulikan oleh Kak Haiden." "Keliatan sih kalau Kak Haiden tak memperdulikannya. Buktinya-- tiga bulan pernikahan, tak ada tanda-tanda dia akan hamil. Bulan madu tak pernah, pakaian tetap lusuh, dan aura kemiskinannya masih terasa," ucap salah satu sepupu suaminya. Tak lama terdengar suara tawa dari Melodi dan orang-orang di mejanya. Lea pura-pura menulikan telinga, seolah tak mendengar tetapi kenyataannya matanya sudah memerah dan terasa panas. Lea ingin mengamuk, ingin menyangkal ucapan mereka, tetapi perkataan mereka benar adanya. Lea terlalu naif, memandang hidup seperti dongeng hanya karena dia yang bukan siapa-siapa ini bisa menaklukan seorang Haiden yang diagungkan di keluarga Mahendra. Dia pikir menikah dengan pria itu akan mendatangkan kebahagiaan yang penuh keindahan. Ternyata dia salah! Lea lupa jika ini bukan dongeng, ini kehidupan nyata yang menyakitkan. *** "Argkkk … aku mencari pekerjaan kemana lagi?" ucap Lea, mengeluh dan frustasi karena dia bingung melamar pekerjaan kemana lagi. Setelah cafe sepi, Lea memutuskan keluar untuk mencari pekerjaan. Ucapan sepupu suaminya berhasil menginjak-injak ego seorang Lea. Dia harus mencari pekerjaan dan harus membuktikan diri jika Lea bisa berhasil tanpa bantuan Ziea. Lea tidak pernah membenci Ziea, malah dia sangat menyayangi sahabatnya tersebut. Apapun akan dia lakukan demi Ziea. Tetapi untuk saat ini, Lea harus bisa lepas dari bantuan Ziea. Dia perlu membuktikan diri pada keluarga Mahendra. Lea yakin dia bisa! Tapi … baru mencari pekerjaan, Lea rasanya sudah menyerah. Jika ada CCTV di sini, mungkin Lea sudah melambaikan tangan. Lea berjalan tanpa arah, ini sudah jam empat sore dan dia tak tahu harus kemana. Ingin pulang ke rumah mewah Haiden, tetapi dia merasa itu bukan rumah. Bisa-bisa jika Lea pulang dengan tangan kosong, mereka (sepupu suaminya) semakin senang menjatuhkan Lea. Ah, Lea yakin sekali jika selama ini sepupu Haiden atau bahkan teman-teman Haiden pasti sering membicarakan Lea. Mungkin mereka sering menyebut Lea hanya menumpang hidup pada Haiden dan Ziea. Namun, itu memang benar adanya. Mungkin jika bukan karena Ziea yang menjadi pemilik cafe, Lea tak akan diterima bekerja di sana. Bodohnya, Lea baru sadar selama bekerja di sana dia suka semena-mena–merasa bebas karena itu cafe milik sahabatnya. "Ya Tuhan, boleh nggak sih kalau aku mengatakan menyesal menikah dengan Mas Haiden?" I* Penulis: @deasta18"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namun
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa