Dekapan Dingin Suami Panas

"Kapan pulang, Mas Haiden?" tanya Azalea Ariva pada suaminya melalui sambungan telepon. Perempuan yang kerap kali disapa Lea tersebut terlihat berseri-seri, berdebar hatinya karena tak sabar menunggu kepulangan suaminya.

Tiga bulan semenjak pernikahan, Lea tidak pernah disentuh oleh suaminya. Hanya di saat malam pertama saja Haiden menyentuhnya, setelahnya tak ada lagi sentuhan panas yang menyapa Lea.

Yah, suaminya memang sibuk. Sehari setelah menikah, Haiden kembali bekerja. Lalu beberapa hari kemudian, Haiden ke luar negeri untuk mengurus bisnis. Hari terus berlalu dan Haiden semakin larut dalam pekerjaan. Hubungan pernikahan mereka begitu monoton dan cukup dingin bagi Lea yang mendambakan kehangatan dari suaminya.

Di saat Haiden tak keluar negeri, Lea hanya bertemu dengan suaminya saat pagi–saat mereka sarapan bersama. Itupun tanpa pembicaraan. Ketika sarapan, Haiden selalu membawa tablet dan terus menatap tablet dengan tatapan serius, hal tersebut membuat Lea tak berani untuk sekedar menyapa suaminya. Ketika malam, Lea menunggu Haiden pulang. Akan tetapi dia selalu ketiduran karena suaminya yang selalu pulang larut malam. Begitulah kehidupan pernikahan Lea selama tiga bulan terakhir ini.

Hari ini Lea inisiatif menunggu suaminya pulang. Dia berniat mengajak suaminya berhubungan intim, berharap dengan begitu hubungan dingin ini akan berakhir. Tiga bulan setelah menikah, Haiden tidak pernah menyentuhnya. Lea cukup resah, takut dan cemas. Bagaimana jika ada perempuan lain diluaran sana? Atau-- tubuhnya tak dapat memuaskan Haiden sehingga pria itu tak lagi menyentuhnya?

Malam ini, Lea sudah berias. Dia mengenakan dress seksi berwarna merah. Kulit putihnya begitu cantik, menyala bersinar oleh warna gaun yang kontras dengan warna kulit. Rambut sengaja ia sanggul cepol karena dia mengingat suaminya sangat suka mencium lehernya. Wewangian ia semprot banyak, berharap Haiden suka nantinya.

Lea tersenyum manis melihat penampilannya di cermin. Bodynya bagus dan merupakan bentuk tubuh impian para perempuan diluaran sana. Bentuk jam pasir, mungkin begitu istilahnya. Hanya saja-- tubuh indah ini sepertinya tak membuat Haiden tertarik. Buktinya setelah malam pertama, Haiden tak pernah menyentuhnya.

Tetapi malam ini Lea inisiatif. Mungkin saja Haiden tak menyentuhnya karena ingin Lea yang lebih dulu mengajak.

'Aku masih banyak pekerjaan, belum bisa memastikan jam berapa akan pulang.' Suara bariton yang terkesan dingin mengalun dari seberang sana.

Senyuman Lea pudar seketika, kini menatap pantulan dirinya dengan tatapan sendu. "Aku akan menunggu, meski kamu pulang lama," ucap Lea dengan nada getir, kembali tersenyum walau bukan sebuah senyuman antusias lagi.

'Jika kau mengantuk, tidurlah lebih dulu. Jangan menyiksa diri hanya untuk menungguku pulang,' jawab Haiden di seberang sana. Masih sama! Suara dingin meskipun berat dan cukup perhatian.

"Tapi aku …-" Lea ingin mengatakan jika dia sudah berias demi menunggu suaminya pulang. Dia ingin mengulang kegiatan malam pertama mereka dengan suaminya. Namun, suaranya berhenti ketika mendengar seorang perempuan menyapa suaminya.

'Pak Haiden. Apa masih lama?' Suara wanita terdengar. Meski pelan, tetapi Lea masih bisa mendengar jelas apa yang perempuan itu katakan.

Hati Lea semakin gelisah dan mendadak jantungnya berdebar sangat kencang. Siapa perempuan itu? Kepercayaan suaminya adalah Nanda Gustavo, merupakan teman dekat Haiden. Lalu siapa perempuan tadi?

'Matikan telpon dan segera tidur, Azalea.' titah Haiden di seberang sana, bernada bossy dan penuh peringatan.

"Baik." Lea menganggukkan kepala, segera mematikan sambungan telpon.

Tut'

Lea menatap layar telpon dengan mata yang sudah digenangi bulir kristal. Tak dapat membendung, air mata Lea jatuh begitu saja. Malang sekali dirinya!

Lea meletakkan ponsel di atas meja rias lalu menatap pantulan dirinya dengan lelehan air mata yang tak bisa berhenti. Lea tersenyum pedih. Lihatlah dirinya yang menyedihkan ini? Berias demi seorang suami yang tak menginginkannya.

Lea meraih kapas pembersih lalu menggosok ke bibir–menghapus lipstik secara kasar. Dia beralih membersihkan wajah setelah itu mengganti dress seksi yang dia kenakan dengan piyama tertutup.

Lea pikir malam ini akan terasa hangat, lalu besok hubungannya dengan Haiden akan kembali manis. Namun, dia salah. Haiden tidak menginginkannya!

"Sebelum menikah dengannya, aku mengejar cintanya. Sekarang … ku-kupikir aku telah mendapatkan cintanya, ternyata aku tetap sama." Lea bermonolog sendiri, berjalan ke arah ranjang secara gontai. Hatinya sangat sakit, dia merasa gagal dan hancur.

Tiga bulan setelah menikah, Lea hanya mendapat sikap dingin dari Haiden. Rumah harusnya menghangatkan, tetapi istana Haiden ini-- tempat Lea sekarang tinggal, terasa membekukan tubuhnya.

Bug'

Lea membanting tubuh ke atas ranjang, memeluk guling dengan erat. "Mas Haiden tidak pernah menyentuhku lagi setelah malam pertama. Apa sewaktu malam pertama aku … melakukan kesalahan? Atau aku me-menjijikkan baginya?"

Lea terus bertanya-tanya, merasa sesak dalam dada karena suaminya yang tak mau menyentuhnya. Seandainya malam pertama itu tak pernah terjadi, mungkin Lea masih bisa positif thinking.

"Jangan-jangan Melodi benar. Mas Haiden menikahiku karena terlalu menyayangi Ziea, bukan karena mencintaiku," cicit Lea lagi, suaranya begitu parau dan bergetar.

Ziea adalah adik kandung Haiden yang sangat disayang oleh Haiden. Apapun akan Haiden lakukan, asal adiknya bahagia. Mungkin salah satunya menikahi Lea. Di sisi lain, Ziea bersahabat dengan Lea. Persahabatan mereka begitu kuat sehingga kerap kali orang mengira mereka saudara. Sejak lama Lea suka pada Haiden dan Ziea tahu hal tersebut.

Mungkinkah Haiden menikahinya karena untuk menyenangkan hati Ziea? Bagi Lea sekarang itu terasa masuk akal.

Lea terus menangis hingga tak sadar dia tertidur, terlelap dengan wajah sembab dan menyedihkan.

Tak lama pintu kamar terbuka, memperlihatkan seorang pria tampan dengan wajah dingin dan flat. Dari tampilannya, pria itu cukup kacau. Rambut acak-acakan, dasi sudah lepas dan begitu juga dengan tuxedo yang hanya dipegang. Dua kancing kemeja bagian atas dibuka, lalu lengan kemeja digulung hingga sikut. Penampilannya acak, tetapi dia sangat tampan dan hot secara bersamaan.

Haiden Mahendra, pria dengan rupa tampan dan charming yang telah berusia 36 tahun tersebut, memasuki kamar dengan langkah pelan. Melihat wanita cantik berbaring di atas ranjangnya yang serba hitam, Haiden hanya menghela napas.

Haiden meletakkan tas kerja ke atas sofa dalam kamar. Dia segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, dengan masih mengenakan handuk, Haiden menghampiri istrinya.

Haiden mengambil sesuatu dari laci nakas kemudian mengambil air minum yang tersedia di sana. Dia mendekati istrinya yang sudah tidur lalu memaksa perempuan itu meminum pil tersebut.

"Wanita bodohku," gumamnya pelan, kembali membaringkan istrinya di ranjang lalu segera beranjak dari sana–masuk dalam walk in closet.