Di salah satu hotel bintang lima, keluarga Green sedang mengadakan pesta pernikahan dengan mewah.
Hanya saja, Laura justru berdiri di depan pintu besar dengan tubuh gemetar dikarenakan amarah. Bagaimana bisa kakaknya justru melangsungkan pernikahan dengan tunangan Laura? Dikumpulkannya keberanian untuk menemui keduanya yang kini tersenyum lebar di sana. “Selamat malam semuanya,” ucap Laura dengan lantang yang langsung meredam kebisingan pesta. Meski demikian, Laura tak peduli. Bahkan, pada tatapan penuh tanda tanya dari para tamu undangan yang hadir di sana. “Laura, sedang apa kau di sini?” tanya Nyonya Green, begitu sadar apa yang sedang terjadi. Tatapannya begitu tajam, terlebih pada gaun merah dengan belahan dada rendah milik Laura, yang seolah memberi tahu bahwa dia adalah wanita lain dari pengantin pria saat ini! Alih-alih takut, Laura justru tersenyum dan terus berjalan menghampiri Caroline dan Sam yang tampak panik. “Cukup menarik sekali, ya hari ini. Pernikahan yang sangat sempurna, tapi sayang ….” Laura menghentikan kalimatnya. Dia menatap satu per satu anggota keluarganya yang ada di sana. “Seharusnya aku yang menjadi pengantin wanita di sini.” “Laura!” panggil ayahnya, murka, “Turun atau kau ingin—” “Kenapa pengantin wanitanya harus diganti, ya?” tanya Laura dengan tatapan yang penuh rasa sakit. Setelah itu, dia kembali menatap Sam yang masih diam saja. “Padahal aku tidak sakit seperti yang kalian katakan di luar sana. Aku sehat sekali.” “Oh, ya, Sam. Apa kau tidak ingin menjelaskan kenapa pengantin wanitamu diganti?” Pertanyaan Laura selanjutnya membuat wajah Sam memucat. “Laura, kita akan bicarakan ini nanti,” ucap pria itu mencengkeram tangan Laura dan memintanya untuk segera turun. “Ini hari pernikahan kakakmu. Jadi, sebaiknya jangan mengacau!” “Mengacau?” Ulang Laura, lalu tertawa begitu keras, “Kau yang sudah mengacaukan hidupku, Sam. Setelah kutolak saat kau mengajakku tidur bersama, kau justru beralih kepada kakakku. Padahal seharusnya hari ini aku yang menjadi pengantin wanitamu, tapi bisa-bisanya kau membatalkannya dengan mudah kemarin?" Dari sudut mata, Laura dapat melihat wajah kakaknya yang masih pura-pura tak bersalah. Bahkan, memasang wajah sedih untuk dikasihani. Cukup sudah. Laura tidak peduli lagi dengan nama keluarganya sekarang. Kebetulan di saat yang sama, salah satu pelayan lewat sembari membawa gelas-gelas berisi champagne. Sebuah ide pun muncul di kepala Laura. Byur! “Laura!” teriak Caroline seketika karena gaun putih miliknya basah dengan champagne. “Selamat menikah dan mengambil sampah bekas milikku, Kak,” ujar Laura sebelum melemparkan gelas kosong tadi ke atas lantai. “Kau—” Caroline menggantungkan ucapannya. Dia menatap Laura dengan marah. “Kau akan terima akibatnya nanti, Laura!” “Aku tunggu,” ucap Laura dengan senyum menantang. Perbuatan itu jelas membuat tamu terkesiap. Beberapa bahkan mulai memvideokan kejadian memalukan keluarga yang cukup ternama itu. Namun, Laura tetap santai dan langsung berbalik. Hanya saja, beberapa pengawal ayahnya ternyata berusaha mendekat. “Cepat tangkap anak sialan itu!” Deg! Mendengar teriakan ayahnya, Laura bergegas lari. Tak lupa disingsingkan gaunnya yang menjuntai dan melepas heels setinggi 10 cm yang dikenakan. Sungguh, dia tidak mau jika harus berakhir dikurung di dalam kamar sialan itu lagi! Untungnya, tubuh kecilnya membuat gerakan wanita itu semakin gesit. Matanya awas untuk memikirkan jalan yang harus dipilih. Sayangnya hingga di lobi hotel, para pengawal ayahnya masih terus mengejar. Padahal, wanita itu sudah mulai lelah, bahkan kesulitan bernapas. “Kumohon, kumohon. Sekali ini saja, kumohon,” ucap wanita itu dengan menutup mata, berdoa untuk keselamatan dirinya sendiri. Entah bagaimana saat dia membuka mata, tatapan Laura langsung mengarah pada punggung lebar milik seorang pria yang memakai kemeja putih. Mata wanita itu terbelalak senang melihat sosok yang familiar di depannya. Tanpa pikir panjang dia segera berlari mengejar. “Jackson!” teriak Laura begitu berhasil memegang kemeja pria itu, “tolong aku.” Hanya saja, mata biru Laura langsung melotot begitu melihat jika pria di depannya bukan temannya sejak kuliah! Ia begitu panik, terlebih kala seorang pengawal ternyata berhasil mencengkram tangan Laura. “Ayo, Nona. Dia bukan Tuan Jackson.” “Lepaskan!” Laura menggeleng kuat. Dicobanya mencari cara lain dan …. “Sayang,” panggilnya cepat, lalu memeluk lengan pria asing itu. “Tolong aku. Mereka ingin menculikku?” “Menculik?” Suara bariton itu membuat Laura sedikit terkejut, tetapi dia berhasil mengendalikan diri dan mengangguk cepat. Bahkan, Laura lansgung berbisik kepada pria asing itu. “Tuan, tolong aku sekali ini saja. Aku janji akan membayar hutang budiku dengan apa pun.” “Apa pun?” Melihat respons pria asing itu, Laura mengangguk cepat. Dia harus kabur dari sini segera. Tak peduli apapun yang harus dibayarnya di kemudian hari. Hanya saja, dia tak menyangka dengan apa yang pria itu lakukan ….Harry berlari dengan tergesa-gesa di koridor rumah sakit ketika ibu mertuanya menghubungi dari ponsel Laura, dan memberitahu jika istrinya itu akan segera melahirkan. Bagaimana bisa? Tadi pagi mereka masih bicara dan Laura sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sakit sama sekali. Dokter juga bilang jika perkiraan kelahirannya masih di awal bulan nanti. “Di mana Laura?” tanya Harry begitu sampai di tempat yang diberitahu oleh perawat. “Di dalam. Cepat masuk.” Caroline menunjuk pintu yang tertutup di depan mereka. Di mall tadi, mereka tidak tahu kenapa tiba-tiba saja air ketuban Laura pecah. Wanita itu berkata berulang kali jika sebelumnya dia tidak merasakan sakit, atau karena memang Laura yang tak paham dengan rasa sakitnya. Dengan wajah panik Harry segera membuka pintu di hadapannya. Di dalam sudah ada dokter dan juga beberapa perawat yang sedang memeriksa kondisi Laura. “Tuan, sepertinya bayinya akan segera lahir. Kami akan mempersiapkan kamar bersalin
Harry berlutut di hadapan Laura yang sedang duduk di atas sofa dengan tertawa geli. Pria itu senang mencium perut buncit Laura bertubi-tubi hingga membuat wanita itu terus tertawa. “Harry, dia menendang!” teriak Laura terkejut ketika merasakan gerakan kecil di dalam perutnya. Harry yang merasakan itu juga sama terkejut. Tangannya kini kembali memegang perut Laura, meraba setiap gerakan yang ditunjukkan oleh bayi mereka. Bibir keduanya sama-sama tersungging, menciptakan sebuah senyuman penuh kebahagiaan. “Dia tau mamanya tidak mau digangu,” bisik Harry dengan tawa pelan. Laura menganggukkan kepalanya. Saat Harry mendekatkan telinga ke arah perutnya lagi, wanita itu mengusap puncak kepala Harry dengan lembut. “Aku semakin tidak sabar ingin bertemu dengannya.” “Aku juga.” Laura ikut menimpali
Mata Laura tampak berbinar begitu mereka sampai di Sky Crystal. Selama ini, dia hanya bisa melihat keindahan resort di atas pegunungan itu melalui sosial media, tapi sekarang Laura benar-benar berada di sini. Laura tak henti-hentinya menunjukkan kekagumannya pada resort hasil kerja keras kedua teman Harry tersebut. Pantas saja banyak yang membicarakan Sky Crystal di luar sana. “Terima kasih,” ucap Laura dan Harry bersamaan kepada pelayan resort yang mengantarkan mereka ke kabin. Dominic yang menjemput mereka di bandara tadi, tetapi pria itu tidak bisa mengantarkan mereka ke kabin karena ada urusan mendadak. Harry segera membuka pintu kabin, dan ketika pintu terbuka, Laura tak henti-hentinya menatap takjub. Bangunan yang terdiri dari kayu, dan juga beratap kaca itu tampak begitu indah.
Laura berhasil melewati setiap badai yang datang dalam hidupnya. Bersama Harry, dia bisa melewati dan melupakan semua luka yang pernah hadir. Pria itu mewujudkan setiap janji yang dia ucapkan. Dia membawa Laura ke arah hidup yang lebih baik. Dia juga yang berhasil mewujudkan mimpi Laura selama ini, tentang bagaimana rasanya memiliki keluarga utuh yang begitu saling mengasihi. Keluarga Thompson memperlakukan Laura selayaknya putri mereka sendiri. Tak ada status menantu, mereka justru melimpahkan banyak kasih sayang yang selama ini Laura harapkan dari keluarganya sendiri. Laura menghela napas panjang, seolah beban berat yang selama ini dia pikul hilang begitu saja. Wanita itu melihat ke arah jam di pergelangan tangannya. Besok dia dan Harry akan berangkat ke Vermont, dan hari ini Laura memutuskan untuk kembali bertemu dengan ibunya. Maka dari itu, di sinilah dia berada. Di salah satu kafe yang keberadaannya tidak jauh dari rumahnya. Laura menyunggingkan senyum hangat k
Laura melambaikan tangan ketika melihat sosok yang sedang berjalan menghampirinya dengan menggeret koper. Antonio berjalan dengan senyum lebar, dan ketika dia sudah ada di hadapan Laura, pria itu langsung memeluk adiknya dengan erat. “Aku merindukanmu, Antonio.” “Aku juga sama.” Laura bersyukur Antonio mau menuruti permintaannya, meski dia harus membujuk pria itu cukup lama. Bahkan Laura menghabiskan waktu dua minggu hanya untuk menelpon, dan membujuk Antonio, sampai akhirnya pria itu menyerah dan mengiyakan permintaan Laura untuk kembali ke New York. Harry mendengus ketika melihat Antonio memeluk istrinya dengan erat. Pria itu segera maju, dan memisahkan dua kakak beradik yang sedang melepas rindu itu. “Kau bisa membuat istriku sesak napas.” “Harry.” Laura menepuk bahu Harry yang memisahkannya. “Kenapa? Dia memelukmu dengan erat tadi, Sayang.” Harry menatap tajam ke arah Antonio. Uh, baru saja dia senang karena bisa melihat Laura tersenyum bahagia karena ke
Laura berjalan ke sana kemari dengan wajah gelisah. Dia ragu untuk menghubungi Antonio lebih dulu. Takut jika Antonio mengabaikan panggilannya, tetapi apa yang Harry katakan juga tidak salah. Tak ada salahnya dia mencoba lebih dulu, mungkin Antonio sudah menunggu dia untuk menghubungi lebih dulu. Mungkin Antonio takut untuk menghubunginya lebih dahulu. Laura menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas sofa. Dia menatap layar ponselnya dengan menggigit kuku-kukunya karena gelisah. Dengan keberanian yang tiba-tiba datang, Laura pada akhirnya menekan nama Antonio yang ada di layar ponsel. Wanita itu menutup mata ketika mendengar suara deringan pertama, dan tidak lama setelah itu dia mendengar suara lirih Antonio yang memanggil namanya. “Laura.” Hening. Tidak ada suara-suara lagi yang terdengar di telinga Laura. Dia membuka mata, dan melihat jika Antonio sudah menjawab panggilan darinya. Tak butuh waktu lama. Tak butuh panggilan yang berulang, pria itu langsung menja