Pria asing itu merangkul Laura dan berkata, “Kalian ingin menculik kekasihku?”
Ekspresinya dingin menatap orang-orang berseragam hitam, hingga membuat mereka gemetar. Meski demikian, salah seorang dari mereka mencoba mengendalikan diri dan berkata, “Kami tahu Anda dan Nona Laura tidak saling kenal. Jadi, segera lepaskan dia atau kami—” “Atau apa?” potongnya dengan nada mendominasi. Pria asing itu melepaskan rangkulannya pada tubuh Laura, lalu maju sedikit. “Sepertinya kalian tidak mengerti juga.” Diberikannya kartu nama kepada salah satu pria di sana dan beberapa detik kemudian, semua orang tampak ketakutan. “Maafkan kami, Tuan Harry. Kalau begitu, kami pergi dulu,” pamit mereka tiba-tiba. Laura jelas kebingungan. Ditatapnya pria asing yang ternyata bernama Harry itu dengan wajah keheranan. Kenapa tiba-tiba saja para pengawal ayahnya itu pergi begitu saja? Belum sempat memproses semua, pria itu sudah berbalik dan langsung menarik tangan Laura yang masih tampak kebingungan. “Ayo!” Detik berikutnya, Laura baru sadar ketika tangannya ditarik untuk masuk ke dalam mobil. “Eh, tunggu dulu. kau mau membawaku ke mana?” “Katanya kau mau membalas budi.” Melihat tatapan Harry yang penuh banyak arti, sontak saja Laura menutupi dadanya dengan menggeleng cepat. “Aku tidak akan membalas budi dengan sex.” “Sex?” Laura mengangguk cepat. Kakinya hendak kembali turun dari dalam mobil, tetapi tangan pria itu lebih dulu mencegahnya. “Masuk dan diam saja!” “Tuan, tolong. Aku adalah wanita penganut sex setelah menikah. Aku akan membayarmu berapapun, atau dengan apa pun, asal tidak dengan yang satu itu,” rengek Laura. Dia bahkan sampai ditinggal menikah oleh Sam. Tidak mungkin jika harus memberikan tubuhnya dengan sukarela kepada pria yang tidak dikenalnya itu, kan? Namun, Harry sama sekali tak peduli dengan rengekkan Laura. Dia hanya mengernyitkan keningnya dengan ekspresi yang tak bisa Laura baca. Buk! Harry sudah lebih dulu masuk dan mengunci pintu mobil dari dalam. “Diam dan pakai saja sabuk pengamanmu.” Laura menggeleng cepat. Wanita itu menutup bagian dadanya, kemudian menatap pria asing itu dengan air mata yang tertahan. “Kumohon. Aku—" Harry sontak melempar tisu ke arah Laura hingga membuat wanita itu menghentikan ucapannya. “Jangan berisik. Lagi pula siapa yang mau melakukan sex denganmu.” Pria itu dengan memandang tubuh Laura dari bawah sampai atas, lalu tatapannya berhenti tepat di tangan Laura yang berusaha menutupi dadanya. “Dadamu kecil. Aku tidak suka!” Hah? Wanita itu terkesiap–tak menyangka responnya. “Sialan!” umpat Laura dengan melemparkan tisu tadi kembali. “Dasar pria mesum!” Sayangnya, Harry sama sekali tak peduli. Pria itu memilih melajukan mobilnya dengan tenang dan tanpa bersuara. Laura yang awalnya ingin marah-marah, bahkan jadi ikut terdiam. Meski demikian, ia tak bisa sepenuhnya percaya dengan kata-kata pria yang tak dikenalnya itu, dan tetap waspada. Laura bahkan sama sekali tak mengalihkan perhatiannya dari setiap jalan yang dia lewati dan mencoba menghapalkannya. Berjaga-jaga jika Harry melakukan tindakan tak senonoh, maka dia bisa langsung kabur. Sayangnya, dia tak sadar jika Harry menangkap pergerakan Laura yang terlihat seperti siap menerjang kapan pun. “Aku bukan orang jahat. Jadi, bisa kau bersikap santai?” “Tidak bisa. Aku harus selalu berjaga-jaga.” Laura menoleh dengan tatapan tajam. “Tidak ada orang yang bisa dipercaya di muka bumi ini.” Pria itu menghela napas, lalu memilih bungkam. Dikemudikannya mobil sport berwarna hitam itu, hingga berhenti di salah satu hotel bintang lima yang ada di Kota New York. Deg! Perasaaan Laura kembali waswas. Hotel? “Katanya kau tidak selera denganku, tapi kenapa membawaku ke hotel sekarang?” protes Laura, cepat. “Sekarang giliranmu yang harus membayar hutangmu tadi.” Harry melemparkan jas hitamnya yang ada di belakang kepada Laura sebelum keluar. “Pakai itu! Aku tidak mau orang-orang menyangka jika aku pergi dengan seorang wanita jalang.” Laura hendak marah, tetapi saat dia melihat dirinya lagi, perkataan pria itu tidak salah. Dia memang memakai gaun dengan belahan rendah, dan tanpa lengan sama sekali. Jadi, Laura pun memakai jas hitam itu untuk menutupi bahunya yang terekspos. Dia juga terpaksa mengikuti Harry yang menatapnya tajam. Namun, Laura merasa lega saat tahu pria itu membawanya masuk ke dalam restoran. “Kau ingin mentraktirku makan, ya? Sebenarnya tidak perlu, tapi aku akan tetap berterima kasih,” ucap Laura yang langsung disambut dengan tatapan aneh dari pria itu. Hanya saja, Laura memilih untuk mengabaikannya. Perasaannya mengatakan bahwa dia akan makan enak malam ini, dan tanpa harus mengeluarkan uang lebih karena ada yang akan membayarnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja senyum di bibir Laura hilang, saat langkah kaki pria di sampingnya itu terhenti di depan meja besar. Bukan karena isi meja itu, tetapi karena orang-orang yang ada di sana. Ada lima orang yang sekarang sedang menatap ke arah mereka dengan penuh tanda tanya! “Siapa yang kau bawa lagi kali ini, Harry? Wanita sewaan lagi?” tanya wanita yang rambutnya hampir memutih itu. Dia tampak tak suka. Harry menggeleng dengan senyum lebar. “Dia kekasihku,” ujar Harry dengan memeluk pinggang kecil Laura. Laura tersentak. Kekasih? Ah, tetapi tidak masalah. Bukankah tadi Laura juga melakukan hal yang sama. “Halo, semua.” Laura tersenyum dengan ramah kepada semua orang yang ada di sana meski diberikan tatapan tajam oleh beberapa orang.Harry merasa tidak tenang sejak kepergian Laura tadi, apalagi sampai saat ini wanita itu belum membalas pesannya sama sekali.“Mungkin urusannya belum selesai,” lirih Harry mencoba menenangkan diri sendiri.Namun, sepertinya semua itu tidak benar-benar bisa menenangkan dirinya. Sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi Laura, tetapi wanita itu tidak juga menjawabanya.“Apa dia lupa caranya mengangkat telepon?” Harry begitu kesal, tetapi jauh di dalam hatinya dia merasa kalut.Entah mengapa pikirannya tidak tenang. Apalagi dia tahu Laura pergi menemui kakaknya untuk mencari tahu tentang masa lalunya.Apa wanita itu baik-baik saja?Menunggu, adalah kegiatan yang membosankan, tetapi Harry tak punya pilihan lain karena Laura yang memintanya untuk tidakmenghampirinya.Namun, ini sudah lebih dari lima jam. Matahari juga hampir condong di ufuk barat. Jadi, harus berapa lama lagi Harry menunggu?Laura tidak membalas pesannya, tidak juga menjawab teleponnya.“Aku harus mencarinya!” Harry se
“Kau pasti berbohong, kan, Carol?” tanya Laura dengan wajah tak percaya. Detik berikutnya, wanita itu tertawa keras.Dia memang tahu jika ayahnya sangat membencinya, tetapi Laura sama sekali tidak menyangka jika Caroline akan mengatakan hal seperti ini.“Memangnya wajahku terlihat seperti pembohong?”Laura menggeleng—dia masih tidak percaya. “Kau bicara omong kosong, Carol. Aku tidak mau mendengar kekonyolanmu lagi!”Akhirnya, Laura berdiri. Dia segera mengambil tas yang ada di atas meja untuk segera pergi meninggalkan Carol. Dia tidak mau mendengar apa pun yang kakaknya katakan lagi.“Kau mau ke mana, Laura?”“Aku akan pulang. Aku sudah membuang waktu hanya untuk omong kosongmu saja.”Laura melangkahkan kakinya, tetapi baru satu langkah Caroline kembali menghentikannya.“Kalau kau anggap aku pembohong, tanyakan saja pada Antonio.”Laura menoleh, dia menatap Caroline yang tampak sangat serius. Wanita it
Laura duduk dengan gelisah—menanti kedatangan Caroline yang sudah terlambat tiga puluh menit.Mereka berdua sudah sepakat untuk bertemu di salah satu kafe yang dekat dari kediaman Keluarga Green.Selain untuk menjaga rahasia ini, Laura juga belum ingin bertemu dengan ayah dan ibunya. Apalagi jika harus mendengar mereka memohon untuk membuat Harry membantunya.Lagi-lagi Laura melihat jam yang ada di ponselnya. Dia sudah menyiapkan ponsel di atas meja—membuat rekaman sebagai bukti, jaga-jaga jika suatu saat nanti Caroline menyangkal kembali ucapannya hari ini.Satu jam berlalu. Wanita bermata biru itu masih setia menunggu kedatangan kakaknya. Dia harus tahu semuanya hari ini juga.Dua jus jeruk sudah hampir kandas, Laura tampak begitu frustrasi. Menghubungi Caroline juga tidak ada jawaban atau balasan sama sekali.Sampai akhirnya, ketika Laura hendak berdiri—meninggalkan kafe barulah dia melihat sosok yang perutnya sudah sedikit me
Malam terakhir di Hawaii menyambut mereka dengan langit yang cerah. Bulan purnama tampak begitu jelas di lihat dari balkon kamar pasangan suami istri itu.Laura duduk di kursi rotan—di balkon kamar mereka dengan cardigan tipis, dan membiarkan rambutnya yang tergerai berterbangan karena angin laut.Kini hatinya mulai membaik, ketika dia mulai mencoba menerima kehadiran Harry. Bukan dalam kata biasa tentang kehadiran pria itu, tetapi hadirnya pria itu dalam hatinya.Harry muncul dengan membawa dua kaleng bir yang dingin.“Mau bir?” tawar Harry, sembari menyodorkan satu kaleng bir pada Laura.“Apa kita akan mabuk untuk merayakan malam terakhir di Hawaii?” tanya Laura dengan senyum tipis, yang langsung diangguki oleh Harry.“Hanya satu kaleng, tidak akan membuatmu mabuk.”Laura mengangguk. Dia segera membuka kaleng bir itu dan langsung meminumnya. Kini keduanya menatap laut yang sama.“Laura, apa kau tau? Sebelum da
Meski Laura tak memberikan jawaban pasti, Harry tahu wanita itu akan memberikannya kesempatan dari caranya membalas pelukan.Setelah cukup lama, Harry melepaskan pelukannya. Dia mengusap air mata Laura dengan perlahan, seraya menyunggingkan senyum tipis.“Mau aku buatkan sarapan?” tawar Harry.Meski malu, Laura pun mengangguk. Jujur saja, urusan perut adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda.“Mau makan sesuatu?”“Tidak. Aku akan makan apa pun seperti biasanya.”Harry tersenyum lebar. Dia mengusap kepala Laura dengan lembut, sebelum akhirnya pergi menuju dapur. Sementara itu, Laura lagi-lagi tertegun di tempatnya berdiri. Mengapa? Mengapa ini semua bisa terjadi? ***Harry sibuk memecahkan telur ke dalam mangkuk. Sebelumnya, dia sudah memanggang roti, dan sekarang akan membuat telur goreng sebagai menu sarapan mereka.Setelah beberapa menit kemudian, Laura muncul. Wajah wanita itu suda
Suasana seketika menjadi sunyi. Suara badai seolah tak terdengar lagi, saat Laura mendengar pengakuan Harry yang mengejutkan.Laura langsung menggeleng dengan pelan. “Jangan. Jangan katakan … hal seperti itu, Harry.”“Kenapa, Laura?” tanya Harry dengan nyaris berbisik. “Apa karena pernikahan kita ini hanya pernikahan kontrak? Atau karena kita sudah sepakat untuk tidak saling melibatkan perasaan masing-masing? Tapi, kenyataannya, aku menyukaimu. Sejak kita tiba di sini , aku merasa … nyaman di dekatmu. Aku tidak ingin memendamnya lagi.”Laura segera berdiri, dan membelakangi Harry. “Kita tidak bisa seperti ini. Bukan seperti itu perjanjiannya, Harry.”“Tapi, aku tau kau juga punya perasaan yang sama denganku, kan?”Laura menggigit bibir bawahnya. Diam adalah jawabannya.Harry mendekat, tetapi kali ini dia tidak menyentuh Laura seperti biasanya—memberikan wanita itu ruang untuk rasa aman. “Katakan padaku jika aku salah. Katakan pad