Beranda / Romansa / Dekapan Panas Ceo Arrogant / 3. Tiba-tiba Menikah?

Share

3. Tiba-tiba Menikah?

Penulis: Amy_Asya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 12:15:12

“Jangan berbohong, Harry,” protes ibunya cepat.

“Aku tidak berbohong, Ma. Dia benar-benar kekasihku ... dan kami akan menikah bulan depan. Iya, kan, Sayang?” Harry menoleh, menatap Laura yang saat ini sedang melotot.

Menikah?

Mendadak kaki Laura lemas seperti tak bertulang, tetapi untung saja Harry dengan cepat memegang pinggangnya dengan kencang.

Ibu Harry bahkan terkejut setengah mati, tetapi Harry tampak santai memindahkan tangannya ke bahu Laura. “Jadi, kalian batalkan saja perjodohan ini.”

“Harry, tidak bisa. Perjodohan ini … semua teman-temanku sudah tahu.” Wanita berambut pirang, Eva yang memakai gaun merah tak terima. Dia berdiri dengan wajah menahan marah.

“Itu bukan urusanku,” jawab Harry acuh tak acuh. “Dari awal aku memang tidak menyukai ini. Jadi, itu kesalahanmu sendiri.”

“Harry, duduk! Kita bicarakan ini dengan baik.” Sekarang pria paruh baya yang tak lain adalah ayah Harry menatap putranya dengan wajah tak percaya.

“Sorry, Pa. Kami hanya mampir sebentar. Kami masih punya urusan lain. Benar, kan, Sayang?”

Saat ini, Laura hanya bisa mengangguk pasrah saat merasakan Harry mencengkeram bahunya dengan erat.

Dia sudah terlanjur masuk ke dalam permainan pria gila itu. Jadi, mana mungkin dia bisa membantah semua perkataan Harry?

“Ayo kita pergi dari sini, Sayang.” Lagi-lagi Harry memeluk pinggang Laura yang ramping saat mengajak wanita itu keluar.

Pria itu tak ingin terlalu lama berada di dalam dan menerima banyak pertanyaan.

Harry tampak tidak peduli apakah keluarganya akan percaya atau tidak.

Yang penting untuk malam ini dia selamat dari perjodohan sialan itu!

****

“Singkirkan tanganmu!” Laura langsung menghempaskan tangan Harry begitu mereka sampai di luar.

Dada wanita itu tampak naik turun dengan tangannya menunjuk wajah Harry. “Kau ini gila atau apa? Menikah bulan depan? Sungguh, aku tidak mau ikut-ikutan lagi mulai sekarang.”

Harry menaikkan sudut alisnya. “Berikan kontak teleponmu," perintahnya.

“Untuk apa?”

“Kita akan bertemu lagi bulan depan untuk membahas tentang masalah tadi. Mereka … maksudku orang tuaku pasti akan bertanya tentangmu entah besok atau minggu depan.”

Laura tertawa terbahak mendengar ucapan Harry yang terkesan percaya diri. Pria itu baru saja mengatakan seolah Laura tertarik dengan omong kosongnya di dalam tadi.

Oh, tidak mungkin!

Laura baru saja melepaskan diri dari pria bajingan seperti Sam. Jadi, dia tidak akan terjerat dalam pria bajingan lain dalam wujud yang berbeda.

“Jangan bawa-bawa aku lagi.”

“Apa maksudmu?” tanya Harry dengan wajah terkejut. “Aku sudah mengatakan jika kita akan menikah bulan depan. Lagi pula kau sendiri yang bilang akan membalasku dengan apa pun.”

“Itu urusanmu, bukan urusanku!” Laura menjambak rambutnya sendiri dengan kesal. Kenapa dia harus bertemu dengan pria semaunya sendiri seperti Harry?

“Urusanku?” tanya Harry sinis. “Kau lupa ya, aku baru saja menyelamatkan nyawamu dari para pria itu. Kalau bukan karena aku kau pasti akan ditangkap lagi oleh mereka.”

Laura mendesah kasar. Dia memang berhutang budi pada pria itu, tetapi bukan berarti dia setuju dengan ide konyol tentang pernikahan tadi.

Laura bergeming, mencoba berpikir tentang cara apa agar dia bisa melarikan diri dari Harry.

Ya, dia harus bisa melarikan diri dari pria gila ini.

Toh, mereka juga tidak akan bertemu lagi.

“Kau coba cari wanita lain saja. Sekarang banyak kok wanita yang menyediakan jasa sebagai pacar atau istri bayaran.”

“Dasar sinting!” maki Harry. “Kau lupa jika kau sudah aku kenalkan pada mereka semua tadi. Kalau aku menyewa wanita lain, sudah pasti mereka tidak akan percaya.” Harry terdiam sejenak. Dia tampak berpikir, lalu tersenyum saat sebuah ide muncul di kepalanya.

“Kalau begitu bagaimana jika kau saja. Aku akan membayarmu berapapun. Kita bisa melakukan semacam kontrak kerja.”

Pernikahan? Kontrak kerja?

Laura melotot tak percaya dengan ide Harry. Itu semua tidak masuk akal.

“Bagaimana?” tanya Harry sekali lagi.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Laura. Gadis itu hanya mendesah kasar, lalu berjongkok sembari menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.

Dia menggigit ibu jarinya saat memikirkan tentang ide konyol yang Harry tawarkan.

“Begini—” Wanita itu kembali berdiri dan menatap Harry dengan serius. “A-aku … lihat ada polisi di sana!” teriak Laura dengan menunjuk ke arah belakang Harry.

Pria itu terkejut, dan sontak menoleh ke belakang. Dia mencari-cari polisi yang dimaksud Laura. “Nona, kau jangan—” Mata Harry terbelalak saat mengetahui jika Laura sudah tidak ada di depannya.

Wanita itu bahkan lari dengan membawa kedua sepatu heelsnya di tangan!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   92. Di mana Laura?

    Laura menatap kosong pada butiran salju yang jatuh, dan meleleh membasahi kakinya yang telanjang. Dia pergi dari rumah Keluarga Green seperti orang yang kehilangan akal, hingga lupa dengan kakinya yang tak memakai apa pun. Dia duduk di halte bus seperti orang yang kehilangan arah, bukan hanya pulang, tetapi juga arah hidup yang entah ke mana. Setelah ini ... harus ke mana lagi dia pulang? Masih adakah tempat yang bisa disebut sebagai rumah? Apa masih ada orang yang bisa dia percaya setelah semua pengkhianatan yang berkali-kali? Ponsel milik Laura bergetar, membuat wanita itu menoleh untuk melihatnya. Sebelumnya, nama Harry terus muncul di layar ponsel. Namun, Laura memilih untuk mengabaikannya begitu saja. Bukan karena tidak suka, dia hanya terlalu takut dengan semua pertanyaan yang mungkin akan pria itu tanyakan padanya. Laura butuh waktu. Butuh udara untuk bisa bernap

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   91. Bukan Bagian Keluarga Green

    “Antonio!” panggil Tuan Green saat melihat putra sulungnya pergi hendak menyusul Laura. Antonio berhenti dan langsung berbalik—menatap Tuan dan Nyonya Green dengan perasaan benci. Ini semua karena keegoisan kedua orang tuanya, karena mereka juga sekarang Laura pergi entah ke mana. “Kalian belum puas menyakiti Laura?” teriak Antonio. Wajahnya memerah, menandakan jika dia begitu marah. Kali ini, semua orang yang ada di rumah tidak ada yang bisa dimaafkan, termasuk Caroline. Nyonya Green menatap putranya dengan bingung. “Apa maksudmu? Dia pergi dari rumah untuk kembali ke rumah suaminya. Lalu apa yang kami lakukan hingga harus menyakitinya?” “Kau mabuk, Antonio?” tanya Tuan Green yang masih duduk dengan tenang, bahkan setelah melihat Laura pergi dengan kondisi berantakan tadi. “Apa kalian tidak bisa meminta Caroline untuk menutup mulutnya?" Antonio menatap orang tuanya secara bergantian dengan

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   90. Jangan Pergi!

    Harry merasa tidak tenang sejak kepergian Laura tadi, apalagi sampai saat ini wanita itu belum membalas pesannya sama sekali.“Mungkin urusannya belum selesai,” lirih Harry mencoba menenangkan diri sendiri.Namun, sepertinya semua itu tidak benar-benar bisa menenangkan dirinya. Sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi Laura, tetapi wanita itu tidak juga menjawabanya.“Apa dia lupa caranya mengangkat telepon?” Harry begitu kesal, tetapi jauh di dalam hatinya dia merasa kalut.Entah mengapa pikirannya tidak tenang. Apalagi dia tahu Laura pergi menemui kakaknya untuk mencari tahu tentang masa lalunya.Apa wanita itu baik-baik saja?Menunggu, adalah kegiatan yang membosankan, tetapi Harry tak punya pilihan lain karena Laura yang memintanya untuk tidakmenghampirinya.Namun, ini sudah lebih dari lima jam. Matahari juga hampir condong di ufuk barat. Jadi, harus berapa lama lagi Harry menunggu?Laura tidak membalas pesannya, tidak juga menjawab teleponnya.“Aku harus mencarinya!” Harry se

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   89. Dunia Laura yang Hancur

    “Kau pasti berbohong, kan, Carol?” tanya Laura dengan wajah tak percaya. Detik berikutnya, wanita itu tertawa keras.Dia memang tahu jika ayahnya sangat membencinya, tetapi Laura sama sekali tidak menyangka jika Caroline akan mengatakan hal seperti ini.“Memangnya wajahku terlihat seperti pembohong?”Laura menggeleng—dia masih tidak percaya. “Kau bicara omong kosong, Carol. Aku tidak mau mendengar kekonyolanmu lagi!”Akhirnya, Laura berdiri. Dia segera mengambil tas yang ada di atas meja untuk segera pergi meninggalkan Carol. Dia tidak mau mendengar apa pun yang kakaknya katakan lagi.“Kau mau ke mana, Laura?”“Aku akan pulang. Aku sudah membuang waktu hanya untuk omong kosongmu saja.”Laura melangkahkan kakinya, tetapi baru satu langkah Caroline kembali menghentikannya.“Kalau kau anggap aku pembohong, tanyakan saja pada Antonio.”Laura menoleh, dia menatap Caroline yang tampak sangat serius. Wanita it

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   88. Fakta Tentang Laura

    Laura duduk dengan gelisah—menanti kedatangan Caroline yang sudah terlambat tiga puluh menit.Mereka berdua sudah sepakat untuk bertemu di salah satu kafe yang dekat dari kediaman Keluarga Green.Selain untuk menjaga rahasia ini, Laura juga belum ingin bertemu dengan ayah dan ibunya. Apalagi jika harus mendengar mereka memohon untuk membuat Harry membantunya.Lagi-lagi Laura melihat jam yang ada di ponselnya. Dia sudah menyiapkan ponsel di atas meja—membuat rekaman sebagai bukti, jaga-jaga jika suatu saat nanti Caroline menyangkal kembali ucapannya hari ini.Satu jam berlalu. Wanita bermata biru itu masih setia menunggu kedatangan kakaknya. Dia harus tahu semuanya hari ini juga.Dua jus jeruk sudah hampir kandas, Laura tampak begitu frustrasi. Menghubungi Caroline juga tidak ada jawaban atau balasan sama sekali.Sampai akhirnya, ketika Laura hendak berdiri—meninggalkan kafe barulah dia melihat sosok yang perutnya sudah sedikit me

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   87. Kau Tahu Arah Pulangnya, Kan?

    Malam terakhir di Hawaii menyambut mereka dengan langit yang cerah. Bulan purnama tampak begitu jelas di lihat dari balkon kamar pasangan suami istri itu.Laura duduk di kursi rotan—di balkon kamar mereka dengan cardigan tipis, dan membiarkan rambutnya yang tergerai berterbangan karena angin laut.Kini hatinya mulai membaik, ketika dia mulai mencoba menerima kehadiran Harry. Bukan dalam kata biasa tentang kehadiran pria itu, tetapi hadirnya pria itu dalam hatinya.Harry muncul dengan membawa dua kaleng bir yang dingin.“Mau bir?” tawar Harry, sembari menyodorkan satu kaleng bir pada Laura.“Apa kita akan mabuk untuk merayakan malam terakhir di Hawaii?” tanya Laura dengan senyum tipis, yang langsung diangguki oleh Harry.“Hanya satu kaleng, tidak akan membuatmu mabuk.”Laura mengangguk. Dia segera membuka kaleng bir itu dan langsung meminumnya. Kini keduanya menatap laut yang sama.“Laura, apa kau tau? Sebelum da

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status