“Jangan berbohong, Harry,” protes ibunya cepat.
“Aku tidak berbohong, Ma. Dia benar-benar kekasihku ... dan kami akan menikah bulan depan. Iya, kan, Sayang?” Harry menoleh, menatap Laura yang saat ini sedang melotot. Menikah? Mendadak kaki Laura lemas seperti tak bertulang, tetapi untung saja Harry dengan cepat memegang pinggangnya dengan kencang. Ibu Harry bahkan terkejut setengah mati, tetapi Harry tampak santai memindahkan tangannya ke bahu Laura. “Jadi, kalian batalkan saja perjodohan ini.” “Harry, tidak bisa. Perjodohan ini … semua teman-temanku sudah tahu.” Wanita berambut pirang, Eva yang memakai gaun merah tak terima. Dia berdiri dengan wajah menahan marah. “Itu bukan urusanku,” jawab Harry acuh tak acuh. “Dari awal aku memang tidak menyukai ini. Jadi, itu kesalahanmu sendiri.” “Harry, duduk! Kita bicarakan ini dengan baik.” Sekarang pria paruh baya yang tak lain adalah ayah Harry menatap putranya dengan wajah tak percaya. “Sorry, Pa. Kami hanya mampir sebentar. Kami masih punya urusan lain. Benar, kan, Sayang?” Saat ini, Laura hanya bisa mengangguk pasrah saat merasakan Harry mencengkeram bahunya dengan erat. Dia sudah terlanjur masuk ke dalam permainan pria gila itu. Jadi, mana mungkin dia bisa membantah semua perkataan Harry? “Ayo kita pergi dari sini, Sayang.” Lagi-lagi Harry memeluk pinggang Laura yang ramping saat mengajak wanita itu keluar. Pria itu tak ingin terlalu lama berada di dalam dan menerima banyak pertanyaan. Harry tampak tidak peduli apakah keluarganya akan percaya atau tidak. Yang penting untuk malam ini dia selamat dari perjodohan sialan itu! **** “Singkirkan tanganmu!” Laura langsung menghempaskan tangan Harry begitu mereka sampai di luar. Dada wanita itu tampak naik turun dengan tangannya menunjuk wajah Harry. “Kau ini gila atau apa? Menikah bulan depan? Sungguh, aku tidak mau ikut-ikutan lagi mulai sekarang.” Harry menaikkan sudut alisnya. “Berikan kontak teleponmu," perintahnya. “Untuk apa?” “Kita akan bertemu lagi bulan depan untuk membahas tentang masalah tadi. Mereka … maksudku orang tuaku pasti akan bertanya tentangmu entah besok atau minggu depan.” Laura tertawa terbahak mendengar ucapan Harry yang terkesan percaya diri. Pria itu baru saja mengatakan seolah Laura tertarik dengan omong kosongnya di dalam tadi. Oh, tidak mungkin! Laura baru saja melepaskan diri dari pria bajingan seperti Sam. Jadi, dia tidak akan terjerat dalam pria bajingan lain dalam wujud yang berbeda. “Jangan bawa-bawa aku lagi.” “Apa maksudmu?” tanya Harry dengan wajah terkejut. “Aku sudah mengatakan jika kita akan menikah bulan depan. Lagi pula kau sendiri yang bilang akan membalasku dengan apa pun.” “Itu urusanmu, bukan urusanku!” Laura menjambak rambutnya sendiri dengan kesal. Kenapa dia harus bertemu dengan pria semaunya sendiri seperti Harry? “Urusanku?” tanya Harry sinis. “Kau lupa ya, aku baru saja menyelamatkan nyawamu dari para pria itu. Kalau bukan karena aku kau pasti akan ditangkap lagi oleh mereka.” Laura mendesah kasar. Dia memang berhutang budi pada pria itu, tetapi bukan berarti dia setuju dengan ide konyol tentang pernikahan tadi. Laura bergeming, mencoba berpikir tentang cara apa agar dia bisa melarikan diri dari Harry. Ya, dia harus bisa melarikan diri dari pria gila ini. Toh, mereka juga tidak akan bertemu lagi. “Kau coba cari wanita lain saja. Sekarang banyak kok wanita yang menyediakan jasa sebagai pacar atau istri bayaran.” “Dasar sinting!” maki Harry. “Kau lupa jika kau sudah aku kenalkan pada mereka semua tadi. Kalau aku menyewa wanita lain, sudah pasti mereka tidak akan percaya.” Harry terdiam sejenak. Dia tampak berpikir, lalu tersenyum saat sebuah ide muncul di kepalanya. “Kalau begitu bagaimana jika kau saja. Aku akan membayarmu berapapun. Kita bisa melakukan semacam kontrak kerja.” Pernikahan? Kontrak kerja? Laura melotot tak percaya dengan ide Harry. Itu semua tidak masuk akal. “Bagaimana?” tanya Harry sekali lagi. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Laura. Gadis itu hanya mendesah kasar, lalu berjongkok sembari menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. Dia menggigit ibu jarinya saat memikirkan tentang ide konyol yang Harry tawarkan. “Begini—” Wanita itu kembali berdiri dan menatap Harry dengan serius. “A-aku … lihat ada polisi di sana!” teriak Laura dengan menunjuk ke arah belakang Harry. Pria itu terkejut, dan sontak menoleh ke belakang. Dia mencari-cari polisi yang dimaksud Laura. “Nona, kau jangan—” Mata Harry terbelalak saat mengetahui jika Laura sudah tidak ada di depannya. Wanita itu bahkan lari dengan membawa kedua sepatu heelsnya di tangan!Harry berlari dengan tergesa-gesa di koridor rumah sakit ketika ibu mertuanya menghubungi dari ponsel Laura, dan memberitahu jika istrinya itu akan segera melahirkan. Bagaimana bisa? Tadi pagi mereka masih bicara dan Laura sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sakit sama sekali. Dokter juga bilang jika perkiraan kelahirannya masih di awal bulan nanti. “Di mana Laura?” tanya Harry begitu sampai di tempat yang diberitahu oleh perawat. “Di dalam. Cepat masuk.” Caroline menunjuk pintu yang tertutup di depan mereka. Di mall tadi, mereka tidak tahu kenapa tiba-tiba saja air ketuban Laura pecah. Wanita itu berkata berulang kali jika sebelumnya dia tidak merasakan sakit, atau karena memang Laura yang tak paham dengan rasa sakitnya. Dengan wajah panik Harry segera membuka pintu di hadapannya. Di dalam sudah ada dokter dan juga beberapa perawat yang sedang memeriksa kondisi Laura. “Tuan, sepertinya bayinya akan segera lahir. Kami akan mempersiapkan kamar bersalin
Harry berlutut di hadapan Laura yang sedang duduk di atas sofa dengan tertawa geli. Pria itu senang mencium perut buncit Laura bertubi-tubi hingga membuat wanita itu terus tertawa. “Harry, dia menendang!” teriak Laura terkejut ketika merasakan gerakan kecil di dalam perutnya. Harry yang merasakan itu juga sama terkejut. Tangannya kini kembali memegang perut Laura, meraba setiap gerakan yang ditunjukkan oleh bayi mereka. Bibir keduanya sama-sama tersungging, menciptakan sebuah senyuman penuh kebahagiaan. “Dia tau mamanya tidak mau digangu,” bisik Harry dengan tawa pelan. Laura menganggukkan kepalanya. Saat Harry mendekatkan telinga ke arah perutnya lagi, wanita itu mengusap puncak kepala Harry dengan lembut. “Aku semakin tidak sabar ingin bertemu dengannya.” “Aku juga.” Laura ikut menimpali
Mata Laura tampak berbinar begitu mereka sampai di Sky Crystal. Selama ini, dia hanya bisa melihat keindahan resort di atas pegunungan itu melalui sosial media, tapi sekarang Laura benar-benar berada di sini. Laura tak henti-hentinya menunjukkan kekagumannya pada resort hasil kerja keras kedua teman Harry tersebut. Pantas saja banyak yang membicarakan Sky Crystal di luar sana. “Terima kasih,” ucap Laura dan Harry bersamaan kepada pelayan resort yang mengantarkan mereka ke kabin. Dominic yang menjemput mereka di bandara tadi, tetapi pria itu tidak bisa mengantarkan mereka ke kabin karena ada urusan mendadak. Harry segera membuka pintu kabin, dan ketika pintu terbuka, Laura tak henti-hentinya menatap takjub. Bangunan yang terdiri dari kayu, dan juga beratap kaca itu tampak begitu indah.
Laura berhasil melewati setiap badai yang datang dalam hidupnya. Bersama Harry, dia bisa melewati dan melupakan semua luka yang pernah hadir. Pria itu mewujudkan setiap janji yang dia ucapkan. Dia membawa Laura ke arah hidup yang lebih baik. Dia juga yang berhasil mewujudkan mimpi Laura selama ini, tentang bagaimana rasanya memiliki keluarga utuh yang begitu saling mengasihi. Keluarga Thompson memperlakukan Laura selayaknya putri mereka sendiri. Tak ada status menantu, mereka justru melimpahkan banyak kasih sayang yang selama ini Laura harapkan dari keluarganya sendiri. Laura menghela napas panjang, seolah beban berat yang selama ini dia pikul hilang begitu saja. Wanita itu melihat ke arah jam di pergelangan tangannya. Besok dia dan Harry akan berangkat ke Vermont, dan hari ini Laura memutuskan untuk kembali bertemu dengan ibunya. Maka dari itu, di sinilah dia berada. Di salah satu kafe yang keberadaannya tidak jauh dari rumahnya. Laura menyunggingkan senyum hangat k
Laura melambaikan tangan ketika melihat sosok yang sedang berjalan menghampirinya dengan menggeret koper. Antonio berjalan dengan senyum lebar, dan ketika dia sudah ada di hadapan Laura, pria itu langsung memeluk adiknya dengan erat. “Aku merindukanmu, Antonio.” “Aku juga sama.” Laura bersyukur Antonio mau menuruti permintaannya, meski dia harus membujuk pria itu cukup lama. Bahkan Laura menghabiskan waktu dua minggu hanya untuk menelpon, dan membujuk Antonio, sampai akhirnya pria itu menyerah dan mengiyakan permintaan Laura untuk kembali ke New York. Harry mendengus ketika melihat Antonio memeluk istrinya dengan erat. Pria itu segera maju, dan memisahkan dua kakak beradik yang sedang melepas rindu itu. “Kau bisa membuat istriku sesak napas.” “Harry.” Laura menepuk bahu Harry yang memisahkannya. “Kenapa? Dia memelukmu dengan erat tadi, Sayang.” Harry menatap tajam ke arah Antonio. Uh, baru saja dia senang karena bisa melihat Laura tersenyum bahagia karena ke
Laura berjalan ke sana kemari dengan wajah gelisah. Dia ragu untuk menghubungi Antonio lebih dulu. Takut jika Antonio mengabaikan panggilannya, tetapi apa yang Harry katakan juga tidak salah. Tak ada salahnya dia mencoba lebih dulu, mungkin Antonio sudah menunggu dia untuk menghubungi lebih dulu. Mungkin Antonio takut untuk menghubunginya lebih dahulu. Laura menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas sofa. Dia menatap layar ponselnya dengan menggigit kuku-kukunya karena gelisah. Dengan keberanian yang tiba-tiba datang, Laura pada akhirnya menekan nama Antonio yang ada di layar ponsel. Wanita itu menutup mata ketika mendengar suara deringan pertama, dan tidak lama setelah itu dia mendengar suara lirih Antonio yang memanggil namanya. “Laura.” Hening. Tidak ada suara-suara lagi yang terdengar di telinga Laura. Dia membuka mata, dan melihat jika Antonio sudah menjawab panggilan darinya. Tak butuh waktu lama. Tak butuh panggilan yang berulang, pria itu langsung menja