“Kalau seperti itu, mari saya antarkan Anda untuk bertemu dengan Tuan Thompson.”
Mendengar nama itu, Laura mengangguk dengan semangat. Ah, dia tidak peduli dengan kata Jackson tentang Tuan Thompson yang selalu menginginkan kesempurnaan itu. Dia pasti bisa menghadapinya! Apalagi setelah ini, Laura akan mendapatkan kebebasannya dari Keluarga Green… Hanya saja, Laura justru berdiri mematung begitu sampai di dalam ruangan atasannya. Jujur, dia membayangkan Tuan Thompson adalah pria tua dengan perut buncit. Namun, apa yang dilihatnya ini? Atasan barunya itu adalah pria dengan punggung yang lebar tampak tenang melihat ke arah luar, di dekat jendela kaca besar di sudut ruangan! “Apa ini artinya aku akan melihat dua pria tampan sekaligus?” bisik Laura sangat pelan. “Tuan, ini Nona Green. Mulai sekarang dia akan bekerja sebagai sekretaris Anda.” “Baiklah. Bisa tinggalkan kami berdua?” tanya Harry yang masih belum menoleh. Deg! Mendengar suara berat pria itu, mendadak ingatan buruk Laura berputar kembali. Wanita itu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba saja berkeringat dingin. Dia bukan orang yang pelupa. Dia ingat betul suara pria itu sangat mirip dengan suara pria yang malam tadi menolongnya. Laura menggeleng berkali-kali. “Tidak mungkin,” bisiknya pelan. “Baiklah.” Ethan pergi, dan disusul dengan suara pintu yang tertutup. Saat itu juga, suasana tampak hening. Laura tak bisa mendengar bunyi apa pun, selain detak jantungnya sendiri. Jika pria di hadapannya ini benar pria yang tadi malam … maka habislah dia sekarang. Laura memejamkan mata dengan banyak doa. Ah, andai saja dia tidak berbuat konyol dengan kabur begitu saja tadi malam. “Selamat bergabung dengan Sky Hotel’s, Nona Laura Green,” panggil pria itu seolah menekankan nama Laura, “atau dapat kupanggil, calon istriku?” Jantung Laura langsung berdegup kencang dan kakinya terasa lemas seperti tak bertulang sekarang! "Sialan!" batin Laura dengan mencengkeram pakaiannya sendiri. Dia benar-benar tidak memiliki wajah sekarang. Hanya saja, Harry tampak tenang dan justru memintanya untuk duduk. Pria itu pun tak bicara sepatah kata lagi. Akan tetapi, Laura tahu jika pria itu sekarang sedang memandangnya, seolah ingin menelan dirinya hidup-hidup detik ini juga. “Sa-saya minta maaf.” Suara Laura keluar setelah dia diam begitu lama. Wanita itu mencoba memberanikan diri dengan mengangkat wajah, lalu menatap Harry yang masih memandangnya dengan tajam. “Meminta maaf? Untuk apa?” “Maaf karena … saya sudah kabur begitu saja tadi malam.” Harry tersenyum sinis. Pria itu mengejek Laura. “Memangnya kau siapa hingga merasa jika kabur dariku adalah sebuah kesalahan. Memangnya aku kekasihmu?” tanya Harry dengan sinis. Mendengar kalimat frontal yang diucapkan Harry, Laura mendongakkan wajahnya. Dia menatap Harry dengan kening berkerut. Setelah beberapa saat, ada sedikit senyum yang terukir di bibir Laura. "Jadi, Anda tidak marah?" Mendengar pertanyaan dari wanita di hadapannya ini yang terkesan merasa tak bersalah, Harry benar-benar ingin mengusirnya detik ini juga. Namun, jika dia melakukan itu, artinya Harry harus mencari orang lain lagi untuk melancarkan rencananya. Pria itu hanya bisa menghela napas panjang dan bersandar ke belakang. "Aku tidak marah, asalkan kau mau menyetujui penawaranku malam tadi." Laura menggeleng cepat. "Saya tidak mau. Asal Anda tau saja, saya masih bersikap hormat karena Anda adalah atasan saya di sini," sungut Laura kesal. Melihat kekesalan Laura, Harry hanya menjawab dengan santai. "Kalau begitu silakan mengundurkan diri saja, dan bayar pinalty sesuai dengan kontrak." "Apa?"Harry berlari dengan tergesa-gesa di koridor rumah sakit ketika ibu mertuanya menghubungi dari ponsel Laura, dan memberitahu jika istrinya itu akan segera melahirkan. Bagaimana bisa? Tadi pagi mereka masih bicara dan Laura sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sakit sama sekali. Dokter juga bilang jika perkiraan kelahirannya masih di awal bulan nanti. “Di mana Laura?” tanya Harry begitu sampai di tempat yang diberitahu oleh perawat. “Di dalam. Cepat masuk.” Caroline menunjuk pintu yang tertutup di depan mereka. Di mall tadi, mereka tidak tahu kenapa tiba-tiba saja air ketuban Laura pecah. Wanita itu berkata berulang kali jika sebelumnya dia tidak merasakan sakit, atau karena memang Laura yang tak paham dengan rasa sakitnya. Dengan wajah panik Harry segera membuka pintu di hadapannya. Di dalam sudah ada dokter dan juga beberapa perawat yang sedang memeriksa kondisi Laura. “Tuan, sepertinya bayinya akan segera lahir. Kami akan mempersiapkan kamar bersalin
Harry berlutut di hadapan Laura yang sedang duduk di atas sofa dengan tertawa geli. Pria itu senang mencium perut buncit Laura bertubi-tubi hingga membuat wanita itu terus tertawa. “Harry, dia menendang!” teriak Laura terkejut ketika merasakan gerakan kecil di dalam perutnya. Harry yang merasakan itu juga sama terkejut. Tangannya kini kembali memegang perut Laura, meraba setiap gerakan yang ditunjukkan oleh bayi mereka. Bibir keduanya sama-sama tersungging, menciptakan sebuah senyuman penuh kebahagiaan. “Dia tau mamanya tidak mau digangu,” bisik Harry dengan tawa pelan. Laura menganggukkan kepalanya. Saat Harry mendekatkan telinga ke arah perutnya lagi, wanita itu mengusap puncak kepala Harry dengan lembut. “Aku semakin tidak sabar ingin bertemu dengannya.” “Aku juga.” Laura ikut menimpali
Mata Laura tampak berbinar begitu mereka sampai di Sky Crystal. Selama ini, dia hanya bisa melihat keindahan resort di atas pegunungan itu melalui sosial media, tapi sekarang Laura benar-benar berada di sini. Laura tak henti-hentinya menunjukkan kekagumannya pada resort hasil kerja keras kedua teman Harry tersebut. Pantas saja banyak yang membicarakan Sky Crystal di luar sana. “Terima kasih,” ucap Laura dan Harry bersamaan kepada pelayan resort yang mengantarkan mereka ke kabin. Dominic yang menjemput mereka di bandara tadi, tetapi pria itu tidak bisa mengantarkan mereka ke kabin karena ada urusan mendadak. Harry segera membuka pintu kabin, dan ketika pintu terbuka, Laura tak henti-hentinya menatap takjub. Bangunan yang terdiri dari kayu, dan juga beratap kaca itu tampak begitu indah.
Laura berhasil melewati setiap badai yang datang dalam hidupnya. Bersama Harry, dia bisa melewati dan melupakan semua luka yang pernah hadir. Pria itu mewujudkan setiap janji yang dia ucapkan. Dia membawa Laura ke arah hidup yang lebih baik. Dia juga yang berhasil mewujudkan mimpi Laura selama ini, tentang bagaimana rasanya memiliki keluarga utuh yang begitu saling mengasihi. Keluarga Thompson memperlakukan Laura selayaknya putri mereka sendiri. Tak ada status menantu, mereka justru melimpahkan banyak kasih sayang yang selama ini Laura harapkan dari keluarganya sendiri. Laura menghela napas panjang, seolah beban berat yang selama ini dia pikul hilang begitu saja. Wanita itu melihat ke arah jam di pergelangan tangannya. Besok dia dan Harry akan berangkat ke Vermont, dan hari ini Laura memutuskan untuk kembali bertemu dengan ibunya. Maka dari itu, di sinilah dia berada. Di salah satu kafe yang keberadaannya tidak jauh dari rumahnya. Laura menyunggingkan senyum hangat k
Laura melambaikan tangan ketika melihat sosok yang sedang berjalan menghampirinya dengan menggeret koper. Antonio berjalan dengan senyum lebar, dan ketika dia sudah ada di hadapan Laura, pria itu langsung memeluk adiknya dengan erat. “Aku merindukanmu, Antonio.” “Aku juga sama.” Laura bersyukur Antonio mau menuruti permintaannya, meski dia harus membujuk pria itu cukup lama. Bahkan Laura menghabiskan waktu dua minggu hanya untuk menelpon, dan membujuk Antonio, sampai akhirnya pria itu menyerah dan mengiyakan permintaan Laura untuk kembali ke New York. Harry mendengus ketika melihat Antonio memeluk istrinya dengan erat. Pria itu segera maju, dan memisahkan dua kakak beradik yang sedang melepas rindu itu. “Kau bisa membuat istriku sesak napas.” “Harry.” Laura menepuk bahu Harry yang memisahkannya. “Kenapa? Dia memelukmu dengan erat tadi, Sayang.” Harry menatap tajam ke arah Antonio. Uh, baru saja dia senang karena bisa melihat Laura tersenyum bahagia karena ke
Laura berjalan ke sana kemari dengan wajah gelisah. Dia ragu untuk menghubungi Antonio lebih dulu. Takut jika Antonio mengabaikan panggilannya, tetapi apa yang Harry katakan juga tidak salah. Tak ada salahnya dia mencoba lebih dulu, mungkin Antonio sudah menunggu dia untuk menghubungi lebih dulu. Mungkin Antonio takut untuk menghubunginya lebih dahulu. Laura menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas sofa. Dia menatap layar ponselnya dengan menggigit kuku-kukunya karena gelisah. Dengan keberanian yang tiba-tiba datang, Laura pada akhirnya menekan nama Antonio yang ada di layar ponsel. Wanita itu menutup mata ketika mendengar suara deringan pertama, dan tidak lama setelah itu dia mendengar suara lirih Antonio yang memanggil namanya. “Laura.” Hening. Tidak ada suara-suara lagi yang terdengar di telinga Laura. Dia membuka mata, dan melihat jika Antonio sudah menjawab panggilan darinya. Tak butuh waktu lama. Tak butuh panggilan yang berulang, pria itu langsung menja