Harry membenarkan dasinya sebelum keluar dari mobil.
Di luar sudah ada Ethan—asisten pribadinya yang menunggu sejak tadi. Pria itu memang sangat disiplin. Dia selalu datang lebih dulu daripada Harry. “Hari ini ada wawancara terakhir untuk calon sekretaris. Anda yang akan melakukan wawancaranya langsung, kan?” tanya Ethan sembari berjalan. Dia sudah sibuk dengan tablet yang ada di tangannya. Harry hanya mengangguk. Dia sempat menoleh ke arah jam tangannya. Masih ada waktu untuk melakukan sesi wawancara terakhir. Sekretaris pria itu tiba-tiba saja berhenti tiga bulan lalu, itulah sebabnya Harry membutuhkan seseorang yang hampir mirip dengan pria yang pernah menjadi sekretarisnya itu. “Ada satu orang wanita yang berhasil sampai di tahap ini,” ucap Ethan dengan hati-hati. Langkah kaki Harry langsung terhenti. Dia menoleh, menatap Ethan dengan kening berkerut. “Bukankah aku sudah bilang, aku tidak mau sekretaris wanita. Merepotkan!” “Tapi dia punya potensi yang bagus, Tuan.” Harry mendesah. Pria itu memijt keningnya saat mendengar Ethan coba untuk menyangkal. “Bawa semua datanya padaku.” Melihat Harry sedikit goyah, Ethan pun mengangguk dengan senyum lebar. “Baik. Akan saya kirim semua datanya.” Hal pertama yang terjadi pada pria bermata hazel itu saat melihat tiga kandidat calon sekretarisnya, matanya langsung terkejut dengan mulut menganga. Harry bahkan harus mengecek beberapa kali, guna memastikan jika dia tidak salah dalam melihat. Benar saja! Penglihatannya masih bagus. Itu artinya dia tidak salah sama sekali. “Siapa nama wanita ini?” tanya Harry sembari menunjuk foto peserta wawancara kepada Ethan yang masih setia menunggu. “Laura Green. Semua datanya sudah lengkap di sana. Oh, iya, dia putri bungsu Keluarga Green.” “Keluarga Green? Bukankah mereka juga punya hotel yang cukup besar. Lalu mengapa putrinya bekerja di Sky Hotels?” Ethan tampak berpikir sesaat, kemudian menggeleng tanda jika dia tidak tahu apa pun. “Saya dengar hotel mereka sudah terancam pailit. Mungkin, itu sebabnya dia melamar bekerja di sini.” Harry tertawa pelan. Dirinya kembali teringat bagaimana Laura kabur dari dia malam tadi. Wanita itu menolak semua penawaran Harry, dan kabur begitu saja seolah mereka tak akan bertemu lagi. Akan tetapi, takdir seperti apa ini? “Tuan, wawancaranya akan dimulai lima menit lagi.” Harry menghentikan tawanya, lalu menatap Ethan dengan serius. “Kali ini kau saja yang melakukan wawancara terakhir.” “Saya?” “Ya, dan siapa pun yang kau pilih aku akan setuju. Aku tau kau mampu melihat setiap potensi dari mereka.” Ethan tertegun. Ini adalah kali pertama Harry mempercayainya dalam mencari karyawan. Biasanya pria itu akan turun tangan sendiri. “Kalau saya menyukai cara kerja dari wanita itu—” “Siapa pun, Ethan. Aku tidak masalah bahkan jika dia harus seorang wanita.” Harry tampak menyakinkan Ethan agar tidak ragu. “Oh, ya. Jika kau sudah mendapatkan seseorang yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan perusahaan, suruh dia untuk tanda tangan kontraknya langsung. Setelah itu, minta untuk temui aku.” Meski tampak kebingungan, Ethan tetap mengangguk dan segera keluar dari ruangan Harry. Mengapa tiba-tiba saja bos nya itu berubah? Biasanya Harry selalu menolak calon sekretarisnya jika wanita, tetapi kali ini kenapa repons pria itu sangat berbeda? *** Di sisi lain, Laura tampak terus berdoa agar kali ini takdir baik berpihak padanya. Jika dia ingin hidup mandiri dan kabur dari rumah ayahnya, maka Laura harus berhasil mendapatkan pekerjaan ini. Dia sangat butuh uang untuk memenuhi semua kebutuhannya sehari-hari. Maka dari itu, Laura berharap jika takdir berpihak kepadanya. Apalagi setelah tahu jika peluangnya lolos tidak sampai lima puluh persen karena dia seorang wanita. Ya, saat tiba di sini Laura baru tahu jika petinggi di perusahaan ini lebih menyukai sekretaris pria. “Nona Laura Green!” panggil salah satu staff yang meminta Laura untuk masuk. Dia sudah menjalani sesi wawancara terakhir tadi, yang kebetulan Laura tidak bertemu dengan pemimpin perusahaan secara langsung. Saat dia melihat dua orang pria yang berjalan bersisihan keluar dari ruangan Ethan menunjukkan wajah muram, tiba-tiba saja Laura kembali bersemangat. Itu adalah kesempatan jika dia mungkin saja akan diterima. “Nona Green, silakan duduk. Saya Ethan, asisten pribadi Tuan Thompson. Kita sudah bertemu dan banyak bicara tadi.” Laura tersenyum dan duduk di kursi yang ada di hadapan Ethan. Pria berkulit putih itu tampak begitu tampan dengan matanya yang abu-abu. Ah, jika dia diterima di perusahaan ini … itu artinya Laura bisa memandang wajah tampan ini setiap hari. Membayangkan hal itu saja, Laura tersenyum dan ingin berteriak sekarang juga. “Jadi—” Laura tampak ragu-ragu untuk melanjutkan pertanyaanya yang membuat Ethan tersenyum tipis. “Jadi, setelah kami diskusikan. Anda adalah orang yang tepat dengan apa yang kami cari selama beberapa bulan ini, Nona.” Mata biru Laura terbelalak. “Apa itu artinya—” “Ya, kami menantikan dedikasi Anda untuk perusahaan ini.” Laura mengepalkan tangannya, dan hampir saja berteriak kegirangan. Untung saja dia masih bisa mengendalikan diri, dengan mencoba tetap tenang meski hatinya merasa senang tidak karuan. “Terima kasih, Tuan. Saya pasti akan bekerja dengan baik,” ucap Laura sembari membungkukkan tubuhnya berkali-kali. Nasib baik berpihak kepadanya kali ini. “Kalau begitu Anda bisa langsung tanda tangan kontrak kerjanya hari ini?” “Ya, tentu saja.” Ethan merasa senang melihat Laura bersemangat. Dia sangat menyukai wanita itu sejak sesi wawancara tadi. Laura adalah wanita yang tampak ceria dan sangat bersemangat. Dia yakin, wanita itu bisa bekerja sama dengan Harry dengan sangat baik. Ethan segera memberikan beberapa berkas yang merupakan kontrak kerja mereka. “Sebaiknya Anda baca dulu. Ada beberapa poin penting yang harus Anda pelajari, Nona.” “Baik. Sebaiknya panggil Laura saja. Tidak usah dengan Nona. Bukankah sekarang kita akan menjadi rekan kerja?” tanya Laura dengan senyum manis. Mendengar itu, Ethan hanya bisa mengangguk dengan canggung. “Ya, Laura.” Laura merasa sangat senang. Dia segera membaca semua isi kontrak yang ada di depannya itu. Tak ada yang memberatkannya sama sekali, kecuali pinalti yang harus dia bayar jika mengundurkan diri sebelum waktu kontrak habis. Namun, Laura sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Kontrak awalnya hanya dua tahun dan dia sangat yakin jika selama jangka waktu itu Laura tidak akan mengundurkan diri! “Mana mungkin aku mengundurkan diri jika melihat pria tampan setiap hari,” bisik Laura dengan senyum penuh kemenangan. "Tuan Ethan, ini sudah selesai."Harry merasa tidak tenang sejak kepergian Laura tadi, apalagi sampai saat ini wanita itu belum membalas pesannya sama sekali.“Mungkin urusannya belum selesai,” lirih Harry mencoba menenangkan diri sendiri.Namun, sepertinya semua itu tidak benar-benar bisa menenangkan dirinya. Sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi Laura, tetapi wanita itu tidak juga menjawabanya.“Apa dia lupa caranya mengangkat telepon?” Harry begitu kesal, tetapi jauh di dalam hatinya dia merasa kalut.Entah mengapa pikirannya tidak tenang. Apalagi dia tahu Laura pergi menemui kakaknya untuk mencari tahu tentang masa lalunya.Apa wanita itu baik-baik saja?Menunggu, adalah kegiatan yang membosankan, tetapi Harry tak punya pilihan lain karena Laura yang memintanya untuk tidakmenghampirinya.Namun, ini sudah lebih dari lima jam. Matahari juga hampir condong di ufuk barat. Jadi, harus berapa lama lagi Harry menunggu?Laura tidak membalas pesannya, tidak juga menjawab teleponnya.“Aku harus mencarinya!” Harry se
“Kau pasti berbohong, kan, Carol?” tanya Laura dengan wajah tak percaya. Detik berikutnya, wanita itu tertawa keras.Dia memang tahu jika ayahnya sangat membencinya, tetapi Laura sama sekali tidak menyangka jika Caroline akan mengatakan hal seperti ini.“Memangnya wajahku terlihat seperti pembohong?”Laura menggeleng—dia masih tidak percaya. “Kau bicara omong kosong, Carol. Aku tidak mau mendengar kekonyolanmu lagi!”Akhirnya, Laura berdiri. Dia segera mengambil tas yang ada di atas meja untuk segera pergi meninggalkan Carol. Dia tidak mau mendengar apa pun yang kakaknya katakan lagi.“Kau mau ke mana, Laura?”“Aku akan pulang. Aku sudah membuang waktu hanya untuk omong kosongmu saja.”Laura melangkahkan kakinya, tetapi baru satu langkah Caroline kembali menghentikannya.“Kalau kau anggap aku pembohong, tanyakan saja pada Antonio.”Laura menoleh, dia menatap Caroline yang tampak sangat serius. Wanita it
Laura duduk dengan gelisah—menanti kedatangan Caroline yang sudah terlambat tiga puluh menit.Mereka berdua sudah sepakat untuk bertemu di salah satu kafe yang dekat dari kediaman Keluarga Green.Selain untuk menjaga rahasia ini, Laura juga belum ingin bertemu dengan ayah dan ibunya. Apalagi jika harus mendengar mereka memohon untuk membuat Harry membantunya.Lagi-lagi Laura melihat jam yang ada di ponselnya. Dia sudah menyiapkan ponsel di atas meja—membuat rekaman sebagai bukti, jaga-jaga jika suatu saat nanti Caroline menyangkal kembali ucapannya hari ini.Satu jam berlalu. Wanita bermata biru itu masih setia menunggu kedatangan kakaknya. Dia harus tahu semuanya hari ini juga.Dua jus jeruk sudah hampir kandas, Laura tampak begitu frustrasi. Menghubungi Caroline juga tidak ada jawaban atau balasan sama sekali.Sampai akhirnya, ketika Laura hendak berdiri—meninggalkan kafe barulah dia melihat sosok yang perutnya sudah sedikit me
Malam terakhir di Hawaii menyambut mereka dengan langit yang cerah. Bulan purnama tampak begitu jelas di lihat dari balkon kamar pasangan suami istri itu.Laura duduk di kursi rotan—di balkon kamar mereka dengan cardigan tipis, dan membiarkan rambutnya yang tergerai berterbangan karena angin laut.Kini hatinya mulai membaik, ketika dia mulai mencoba menerima kehadiran Harry. Bukan dalam kata biasa tentang kehadiran pria itu, tetapi hadirnya pria itu dalam hatinya.Harry muncul dengan membawa dua kaleng bir yang dingin.“Mau bir?” tawar Harry, sembari menyodorkan satu kaleng bir pada Laura.“Apa kita akan mabuk untuk merayakan malam terakhir di Hawaii?” tanya Laura dengan senyum tipis, yang langsung diangguki oleh Harry.“Hanya satu kaleng, tidak akan membuatmu mabuk.”Laura mengangguk. Dia segera membuka kaleng bir itu dan langsung meminumnya. Kini keduanya menatap laut yang sama.“Laura, apa kau tau? Sebelum da
Meski Laura tak memberikan jawaban pasti, Harry tahu wanita itu akan memberikannya kesempatan dari caranya membalas pelukan.Setelah cukup lama, Harry melepaskan pelukannya. Dia mengusap air mata Laura dengan perlahan, seraya menyunggingkan senyum tipis.“Mau aku buatkan sarapan?” tawar Harry.Meski malu, Laura pun mengangguk. Jujur saja, urusan perut adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda.“Mau makan sesuatu?”“Tidak. Aku akan makan apa pun seperti biasanya.”Harry tersenyum lebar. Dia mengusap kepala Laura dengan lembut, sebelum akhirnya pergi menuju dapur. Sementara itu, Laura lagi-lagi tertegun di tempatnya berdiri. Mengapa? Mengapa ini semua bisa terjadi? ***Harry sibuk memecahkan telur ke dalam mangkuk. Sebelumnya, dia sudah memanggang roti, dan sekarang akan membuat telur goreng sebagai menu sarapan mereka.Setelah beberapa menit kemudian, Laura muncul. Wajah wanita itu suda
Suasana seketika menjadi sunyi. Suara badai seolah tak terdengar lagi, saat Laura mendengar pengakuan Harry yang mengejutkan.Laura langsung menggeleng dengan pelan. “Jangan. Jangan katakan … hal seperti itu, Harry.”“Kenapa, Laura?” tanya Harry dengan nyaris berbisik. “Apa karena pernikahan kita ini hanya pernikahan kontrak? Atau karena kita sudah sepakat untuk tidak saling melibatkan perasaan masing-masing? Tapi, kenyataannya, aku menyukaimu. Sejak kita tiba di sini , aku merasa … nyaman di dekatmu. Aku tidak ingin memendamnya lagi.”Laura segera berdiri, dan membelakangi Harry. “Kita tidak bisa seperti ini. Bukan seperti itu perjanjiannya, Harry.”“Tapi, aku tau kau juga punya perasaan yang sama denganku, kan?”Laura menggigit bibir bawahnya. Diam adalah jawabannya.Harry mendekat, tetapi kali ini dia tidak menyentuh Laura seperti biasanya—memberikan wanita itu ruang untuk rasa aman. “Katakan padaku jika aku salah. Katakan pad