Dhuar!
Sebuah ledakan terjadi. Dari kejauhan, terlihat asap yang membumbung tinggi dengan warna pekat, dan tengah menyelubungi bangunan kuno yang mirip kastil. Tak ada yang berteriak, seolah kastil itu sudah tak berpenghuni sebelumnya. Padahal, jauh di dalam sana, ada banyak makhluk yang tengah mempertahankan hidupnya dari kobaran api.
“Lunar, kita harus segera pergi! Bantuan mungkin akan datang, tetapi tak tahu apakah kita masih hidup atau tidak!” Seorang pria berperawakan tinggi berwajah cemas. Ia menunduk dan berusaha memapah wanita berambut pirang, yang kini tersungkur dengan dua buntalan di pelukannya.
“Sini, kubawakan salah satunya,” lanjut pria itu. Ia menjulurkan tangan dengan maksud mengambil beban, atau setidaknya menguranginya. Pria itu tahu, jika wanita yang dihadapannya lebih dari kuat untuk membawanya. Namun, tidak dalam kondisi seperti ini. Kemampuan wanita itu sedang lemah.
“Sean, bawalah Davian. Dia sama sepertimu. Perlakukan dan anggap dia seperti anakmu. Bersembunyilah! Kelak jika sudah aman, aku akan menjemputnya. Pergunakan semua koneksi yang kau bisa untuk mengubah jejak anak itu agar tidak bisa dilacak siapa pun!” perintah Lunar pada Sean—sahabatnya. Tubuhnya sudah lebih kuat dari beberapa tahun lalu. Akan tetapi, berhadapan dengan api bukanlah hal yang bagus.
“Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana dengan yang satunya?” tanya Sean, dia yang berusaha membantu Lunar berdiri tak bisa menyembunyikan wajah cemasnya. Berathun-tahun hidup dengan sang sahabat, membuatnya tidak bisa untuk tidak iba pada keadaannya yang menyedihkan.
“Dia sama seperti kami, sedangkan Davian tidak. Bawalah dia. Dan ....” Perkataan Lunar terputus dan dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. “aku sudah memikirkan ini dari jauh dari. Pakaikan ini padanya, jangan sampai terlepas karena dengan itu, kami bisa menemukannya. Juga, bisa menekan hawa keberadaan darah campurannya. Mungkin dia akan menyusahkanmu untuk beberapa waktu, karena dengan itu pula kekuatannya terbelenggu,” lanjut Lunar. Dia menyerahkan sebuah kalung berbandul pertama pada sang sahabat.
Sean bimbang, tetapi tangannya mengambil kalung yang disodorkan Lunar padanya. Ingin berpikir lebih jauh, tetapi keadaan benar-benar tidak bisa memihak padanya. Andai dia bisa menyusun rencana lebih matang, tentu hal ini bisa dipikrkan dengan lebih baik.
“Lunar! Sean! Kalian di sini!?” teriak seorang wanita berambut merah panjang sepinggang. Dalam sekejap mata, wanita yang semula berada di jarak beberapa meter itu, sudah ada di hadapan Lunar.
“Mom!” Lunar memekik, dia hampir saja terjatuh jika Sean tidak menyangganya.
“Ayo pergi, kastil sudah terkepung dan kita semua dalam bahaya.” Wanita yang baru datang itu mengamil alih Lunar dari tangan Sean. Tak lupa, ia juga mengambil satu bayi yang ada di gendongan Lunar.
“Sean, pergilah bawa Davian. Lakukan apa yang tadi kuminta padamu. Karena mungkin setelah ini, kita tak akan bertemu dalam waktu dekat. Aku hanya bisa men-teleport sekali saja.”
“Lun, jangan katakan bahwa ....”
“Akan aku lakukan demi menyelamatkannya,” putus Lunar. Tekadnya telah bulat, dan tatapannya mantap ke arah Sean.
“Tapi.”
“Aku tidak menerima penolakan, Sean. Ma, bantu aku!” pinta Lunar pada ibunya. Permintaan Lunar diangguki oleh wanita berambut merah panjang itu. Dengan menyangga tubuh Lunar sebisanya, ia mencoba menghalau api yang kini mulai menjangkau mereka.
“Haude no igai, release!” Tubuh Sean bercahaya begitu kata tak dikenal sudah Lunar rapalkan. Perlahan, tubuhnya memudar dan memandang Lunar dengan nanar, sambil membawa buntalan berisi bayi laki-laki. Setelah ini, mereka akan terpisah oleh jarak, entah kapan bisa bertemu, atau malah tak bisa bertemu lagi.
“Setelah ini, kita bagaimana?” tanya wanita itu. Ia memandang ngeri sekitarnya. Mencoba mencari celah dan cara untuk pergi dari tempat ini. Di luar, kekuatannya hebat, tetapi tidak jika bermusuhan dengan api.
“Aku tak tahu, Ma. Yang terpenting bagiku Sean dan Davian aman. Ah, bagaimana dengan Ced?” tanya Lunar. Meski tubuhnya ringkih, dan napasnya tersenggal, dia berusaha untuk tidak kehilangan kesadaran. Jika saja dia tak memiliki darah werewolf di nadinya, mungkin dia sudah kehilangan kesadaran. Bagaimanapun juga, mempertahankan diri sambil melakukan teleportasi adalah hal yang berat. Apalagi ditambah dengan tubuhnya yang masih belum pulih sepenuhnya pasca melahirkan.
Baru dua hari yang lalu, Lunar melahirkan kedua anak kembarnya. Laki-laki dan perempuan. Hingga entah dari mana datangnya, sebuah serangan yang hebat menghanguskan kastil tempat mereka bersembunyi. Tak hanya itu, seluruh penghuni kastil juga tercerai-berai karenanya. Bahkan, Cedrick—sang pasangan, tidak diketahui bagaimana keadaannya.
“Tadi Mama melihat Ced menahan kelompok penyihir di sayap kiri kastil. Mama ingin membantunya, tetapi dia mengatakan untuk pergi mencarimu.”
Lunar terdiam. Tak bisa lagi berucap karena kehilangan kata-kata. Dirinya tak habis pikir, mengapa kastil yang tersembunyi jauh di pedalaman hutan, bisa mereka temukan dengan mudahnya? Apakah selama ini mereka telah menari banyak informasi tentang dirinya dan keluarganya?
“Kalau saja ramalan itu tetap tersembunyi.” Lunar menunduk, keringat sudah membanjiri tubuhnya. Namun, buntalan kecil berisi putrinya tetap didekapnya. Seolah jika dia melonggarkan genggaman itu, bayinya akan hancur.
“Tidak ada yang bisa menghalangi takdir, Anakku. Seberapa kuat kau menyembunyikannya, tetap saja akan muncul pada akhirnya. Semua yang telah digariskan, akan sampai pada waktunya. Jadi, jangan menyesali apa pun yang sudah terjadi. Begitu pun dengan yang terjadi hari ini.
Air mata Lunar menetes. Dirinya menyesali takdir yang harus anak-anaknya terima. Di usia yang baru menginjak dua hari, merka harus terpisah karena sebuah ramalan yang menurutnya konyol. Konyol, karena ramalan itu berbunyi bahwa salah satu anaknya, akan menjadi pemimpin dari ketiga bangsa. Jika dipikir, mana ada hal yang seperti itu? Seperti dalam dongeng saja.
Karena itulah, Lunar memutuskan untuk menyelamatkan Sean dan putranya terlebih dahulu. Berharap jika sang putra memang yang ditakdirkan oleh ramalan. Padahal, dia ingin membawakan putrinya juga. Namun, apa daya. Kekuatan Lunar tak sanggup untuk memindahkan mereka sekaligus.
“Aku pasti akan merindukan putra kecilku,” bisik Lunar.
Tangisnya semakin menjadi-jadi seiring membesarnya kobaran api. Tak ada yang bisa mereka lakukan. Jalan telah buntu, bgitu pula jalan yang tadi dilalui ibunya. Kini, mereka bertiga terkurung dalam api dan menunggu keajaiban. Siapa tahu, ada seseorang yang akan menyelamatkan mereka di tengah kobaran api seperti ini. Akan tetapi, siapa yang mau menyelamatkannya?
“Aku tak tahu kita akan bertahan atau tidak, Ma. Tapi, jika kedua anakku selamat, aku akan mengabulkan apa pun permintaan penolongku. Bahkan jika itu berarti aku menjadi budaknya seumur hidup,” tekad Lunar.
“Tidak! Jangan berkata seperti itu. Aku yakin kita pasti selamat, dan berhasil dari tempat mengerikan ini. Percayalah, Lunar! Percayalah kita akan selamat!” Lunar menggeleng keras mendengar perkataan ibunya. Terasa mustahil rasanya, untuk bisa keluar dari tempat mengerikan ini. Dalam waktu sempitnya, dia merutuki si pembangun kastil. Andai dulu dibangun dengan menggunakan bahan yang tahan api, tentu mereka tak akan terjebak kebakaran seperti ini.
Krak! Brak!
“Aaaaaaaa.”
“Hey, bangun!”Aku mengerjapkan mata, berusaha agar tidak merasa terlalu silau. Sepertinya, aku bangun lebih siang dari biasanya.“A ... yah, ini hari ... libur,” kilahku. Sebelum tidur, aku sudah mengingat bahwa hari ini libur. Jadi, aku melakukan kebiasaan lama, yakni bangun lebih siang dari biasanya.“Kau lupa, ya? Aku sudah bilang jika pack mengadakan lomba berburu untuk werewolf muda sepertimu, kan?”Astaga! Aku melupakan hal ini. Fakta bahwa paman—atau yang sekarang kusebut ayah, mengatakan bahwa pack mengadakan acara rutin tahunan. Sebenarnya, aku malas untuk menghadirinya. Karena saat acara tahunan ini, aku pasti hanya akan menjadi bahan olokan semata.“Aku ... boleh tidak ... pergi? A ... yah?” lirihku. Aku berusaha menyuarakan keberatan untuk datang ke acara itu. Di sana, aku pasti akan tersingkir untuk kesekian kali
“Mengapa kau tidak mencoba?”Aku menoleh ke arah di mana suara itu muncul. Tak jauh di sana, kudapati paman yang sosoknya kucari sejak tadi.“Aku ... tak mau, A ... yah,” jawabku. Aku tak mau berbohong padanya, meski kesempatan itu ada sekalipun. Juga, aku tak mau bersikap seolah-olah aku menyukai acara itu.“Tak apa, setidaknya cobalah untuk saat ini. Lagi pula, Alex juga bersedia untuk mencoba, kan?”Sejenak, aku merenungkan perkataan paman. Bukan tentang masalah siapa yang menemaniku mencoba. Hanya saja ... bagaimana mennjelaskannya, ya? Sedang aku sendiri bingung dengan apa yang kurasakan. Jika tidak mencoba saat ini, ada waktu tiga tahun lagi untuk mencoba. Setelah itu, aku akan melewati tahun maksimal mendaftar. Di pack ini, di atas usia dua puluh tahun sudah tidak bisa. Begitu melewati usia itu dan belum mendafar, maka pilihan terakhir adalah menjadi pendudu
Di perubahanku yang pertama dan kedua, aku belum pernah merasa sedamai ini. Tak ada suara bergemuruh, geraman, atau hal yang membuatku muak. Di sini terasa sunyi, dengan mata yang masih terpejam dan sekeliling yang gelap.Rasanya damai, dan aku seolah enggan meninggalkan tempat ini.Aneh, di perubahan yang ketiga ini, tak kurasakan ikatan dengan serigalaku. Di mana dia? Bukankah seharusnya aku bisa memberi perintah padanya? Wolf akan menjadi buas tanpa perintah dari were-nya, dan begitulah! Werewolf selalu terhubung menjadi satu kesatuan yang terikat, bukan individu dan berjalan masing-masing.Keterikatan kami inilah yang membuat werewolf berbeda dengan serigala biasa.“Hai!”Sebuah suara menyapa indera pendengarku. Ah, sepertinya waktu damaiku tak bisa berlanjut lebih lama, ya. Segera kubuka mata, dan tempat yang belum pernah kutahui ada di pandangan.
"Dav! Dav! Sadarlah!"Sayup kudengar suara Paman memanggilku. Bagiamana ini? Mengapa semua terasa gelap dan aku tak bisa menggerakkan badanku? Ada rasa menyakitkan di ulu hati, dan setiap kali kucoba menggerakkan tangan, terasa begitu sulit."Paman?" tanyaku lirih. Kubuka kelopak mataku dengan perlahan, dengan maksud agar cahaya tidak terlalu banyak masuk. Pertama kali yang tertangkap mataku adalah langit yang biru, lalu kepala Paman dan tak ada apa-apa lagi. Terasa seperti aku sedang berbaring dan paman yang memangku kepalaku. Secara tak sadar, aku telah memanggil Paman, bukan Ayah seperti biasanya."Kau tak apa? Apa yang kau rasakan saat ini?" tanyanya. Bisa kulihat raut kekhawatiran dengan keringat yang sudah mengalir dari pelipisnya. Ah, ada juga beberapa luka kecil. Dan begitu kuedarkan pandanganku ke badannya, aku terkejut. Astaga! Badan Paman bersimbah darah."Pa ... man, kena ... pa?" Aku ter
Aku tak lagi terkejut dengan fakta ini. Sebelumnya, aku sudah tahu karena pria itu sendiri yang mengatakannya. Awalnya aku tak mau peduli, tetapi saat mendengar langsung dari Paman, aku percaya dan yakin bahwa ucapannya benar. Lalu, untuk Davian yang sudah meninggal itu, mengapa dia bisa muncul di dalam mimpiku?“Bagai … mana, dia … mun … cul? Kami … bertemu.” Hanya itu yang bisa kikatakan ada Paman. Semoga saja beliau mengerti apa yang kuucapkan, karena aku tak bisa menjelaskan panjang lebar. Keterbatasnku ini, terkadang aku sangat membencinya.“Dav, kau pasti sudah tahu jika kau Delta, kan?” Paman menanyakan hal yang sudah kutahu ini? Apa tidak salah aku mendengar? Sebagai jawabannya, aku hanya bisa mengangguk saja.“Delta memiliki kesadaran yang berbeda dari manusia dan serigalanya. Saat serigala Delta mengambil alih, maka kesadaran manusianya berada di alam la
Aku semakin bingung saja dengan semua ini. Memang, mereka yang melakukan pembunuhan dari salah satu pasangan werewolf, akan menggantikan posisinya menjadi pasangan. Namun, semudah itu hati ibuku berpindah? Semudah itu ibuku menerima kembali orang yang baru di hidupnya? Gampangan sekali.“Apa … ibu … ben … ci aku?” Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini pada Paman. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Sudah tahu kan, aku ini werewolf cacat. Dengan nada bicara yang gagap, dan mata sebelah wolf-ku yang buta. Aku curiga, siapa tahu Paman membawaku karena ibu ak menginginkan aku di sisinya. Yah, karena malu, mungkin. Bisa saja, kan?“Dari mana pemikiran itu berasal, Dav?”“Aku … ca … cat.”Aku memalingkan muka. Benci dengan kata yang keluar dari mulutku, tapi di satu sisi aku juga penasaran. Apa memang benar dengan fakta ini? Ak
“Mereka menyayangi lebih dari yang kau tahu, Dav. Hanya saja, keadaan masih terlalu sulit untuk kita kembali bersama. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk kita. Dan yang terbaik dan bisa kita lakukan, adalah dengan bersembunyi seperti ini.”Aku masih berusaha untuk menghapus air mata ini. Ingin menghentikannya, tetapi terlalu sulit rasanya. “Aku …,” ucapku. Tak bisa melanjutkan karena tak tahu lagi harus berkata apa.“Aku tahu jika hidup kita di sini terlalu sulit. Paman janji, akan membawamu ke tempat lain jika itu memang pilihan yang bagus. Akan tetapi, apakah kau bersedia untuk pergi? Kau mau meninggalkan tempat ini bersama Paman?”Aku menggeleng. Meninggalkan tempat ini sama sekali bukan masalah untukku. Tidak ada teman yang bisa kurindukan, tempat penuh kenangan, atau harta benda berharga lainnya. Hanya Paman, serigalaku, dan kalung ini yang kupunya sejak dulu.&nb
“Pa … man.” Tenggorokanku terasa sakit, seperti ada yang mencekiknya dan membuat napasku terhenti. Namun, aku berusaha semampuku untuk mengeluarkan suara, berharap dengan panggilan ini aku bisa membuat Paman meresponku. Seingatku, rasa sakit yang menyerangku tadi sudah tak kurasakan. Entah sudah berapa lama rasanya menghilang, sepertinya aku harus bersyukur tentang ini.“Kau sudah sadar?” tanya Paman. Suaranya terdengar begitu serak. Terakhir kali aku mengingat, tentu tidak seserak ini.“A … ir,” ucapku. Hal kedua yang sangat kuinginkan setelah Paman, tentunya. Yah, sebenarnya aku ingin bertanya pada Paman apa yang terjadi. Namun, air adalah hal terpenting dan mendesak untuk saat ini.“Sebentar.”Aku masih berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Cahaya begitu terang, mungkin ini sekitar masuk waktu tengah hari. Dan ini ada