“Hey, bangun!”
Aku mengerjapkan mata, berusaha agar tidak merasa terlalu silau. Sepertinya, aku bangun lebih siang dari biasanya.
“A ... yah, ini hari ... libur,” kilahku. Sebelum tidur, aku sudah mengingat bahwa hari ini libur. Jadi, aku melakukan kebiasaan lama, yakni bangun lebih siang dari biasanya.
“Kau lupa, ya? Aku sudah bilang jika pack mengadakan lomba berburu untuk werewolf muda sepertimu, kan?”
Astaga! Aku melupakan hal ini. Fakta bahwa paman—atau yang sekarang kusebut ayah, mengatakan bahwa pack mengadakan acara rutin tahunan. Sebenarnya, aku malas untuk menghadirinya. Karena saat acara tahunan ini, aku pasti hanya akan menjadi bahan olokan semata.
“Aku ... boleh tidak ... pergi? A ... yah?” lirihku. Aku berusaha menyuarakan keberatan untuk datang ke acara itu. Di sana, aku pasti akan tersingkir untuk kesekian kalinya karena kekuranganku.
Yah, inilah kekuranganku. Aku memiliki tubuh yang lemah, cara bicara yang gagap, dan hal itu membuatku enggan berbaur dengan kawanan. Aku adalah manusia serigala. Di mana ketika aku ingin, aku bisa mengubah tubuh menjadi sosok serigala. Kini usiaku sudah lima belas tahun—menurut ayahku, dan sudah bisa berubah sejak berusia empat belas. Setahun yang lalu, kan? tapi, kuhitung sejak saat itu, aku hanya berubah dua kali saja. Berbeda dengan manusia serigala seumuranku yang berubah lebih sering.
“Datanglah! Aku sudah mencoba membujuk Alpha untuk memberimu keringanan tidak datang. Tapi, beliau tidak menginginkannya dan menginginkan semua Scouth datang.”
Aku bisa mengerti. Alpha adalah julukan untuk pemimpin pack—wilayah, yang kutempati ini. Dan Scouts, adalah julukan untuk werewolf yang remaja, dan dalam masa pelatihan. Setelah menjadi Scouts untuk waktu lama, mereka akan mendaftar ujian di rentang waktu usia yang ditentutak, dan jika lolos mereka akan menjadi warrior. Warrior adalah prajurit, biasanya mereka yang terpilih memiliki kebanggaan tersendiri untuk itu.
“Tapi ... A ... yah tahu ....”
“Ya, Ayah tak buta untuk melihat semua hal yang kaukhawatirkan, Dav. Tapi, cobalah terlebih dahulu. Tidak akan ada salahnya untuk mencoba. Dan Ayah yakin, kaubisa.”
Aku menunduk. Ayah begitu gencar memberiku semangat, tetapi aku sama sekali tak bisa memompa semangatku sendiri. Sejak kecil, hanya ia yang kupunya. Aku diberitahu bahwa beliau pamanku, saat berusia sepuluh tahun. Tidak ada gambar, atau apa pun itu untuk menunjukkan padaku bagaimana keluargaku yang asli. Yang jelas, aku cukup diberitahu bahwa kalung yang kupakai ini adalah kalung dari ibu, orang yang melahirkanku. Dan mereka akan menemukanku dengan mengenali idenditas ini. selebihnya, aku tak tahu lagi.
“Cobalah!” pinta ayahku. Beliau mengusak rambutku dan beranjak dari tempatnya berdiri sejak tadi. Mungkin, beliau ingin memberiku waktu dan tempat untuk bersiap. Dari semua hal, aku sama sekali tak meragukan bahwa beliau ayahku. Akan tetapi, kenyataan tidak selalu bisa sesuai dengan yang diharapkan, kan? kenyataan yang ada adalah beliau pamanku, bukan ayah atau orang yang memiliki hubungan darah denganku.
Begitu sosok ayah menghilang setelah melewati pintu kamarku, aku mengembus napas kasar. Mencoba menyalurkan ketidaksukaanku pada hal ini. Namun, semua hal itu terasa percuma. Karena meski aku mengatakan semua keberatanku, tidak akan ada hasil yang berbeda. Acara itu akan tetap berlanjut, dan aku harus datang ke sana. Tak peduli apa pun yang sudah terjadi.
Kuusap kasar wajahku, dan pilihan terbaik hari ini adalah bersiap dan datang ke sana. Terkadang, aku berharap bahwa ada hal yang bisa menghalangiku untuk pergi.
“Cepatlah, Dav! Acaranya sudah akan dimulai!”
“Ya!”
Teriakan dari ayah hanya bisa kujawab seperlunya. Sudah kubilang dari awal, aku ini gagap dan enggan rasanya, untuk berbicara panjang lebar. Jadi, dari pada mengulur waktu dan membuat ayah mengeluarkan teriakannya lagi, aku lebih memilih untuk bersiap sesegera mungkin. Memakai baju santai, dan kurasa cocok. Lalu bergegas ke lapangan, tempat acara yang sudah hampir dimulai.
Meski acranya tidak terlau formal, tetap saja lapangan yang berukuran luas itu tak terlihat karena banyaknya yang datang. Tak hanya Scouts, para orang tua, warrior dan penghuni kediaman utama pun datang. Kediaman utama adalah tempat Alpha melaksanakan tugasnya. Di sana tinggal keluarga dan beberapa jajaran pemerintahan. Seperti Beta—tangan kanan Alpha, dan Gamma yang memimpin warrior. Aku pernah mendengar, pamanku memiliki status Delta. Dan menurutnya, satu-satunya Delta yang menghuni pack ini adalah pamanku itu.
Aku? Jangan menanyakan status padaku, karena diriku sendiri pun tak tahu. Di dua perubahanku, tingkat pengendalian diriku teramat lemah. Hanya samar yang bisa kuingat. Kata mereka yang mengetahuinya, sebelah kelopak mata serigalaku seperti di lem, tertutup dan menyembunyikan bola mataku. Untuk ukurannya, serigalaku cukup besar, lebih besar dari Gamma—bahkan mungkin kata paman, hampir setara Beta. Tapi, mereka cukup yakin bahwa aku tidak menyamai Alpha.
Cukup miris, ya. Tubuh manusiaku memiliki kekurangan dalam berucap. Lalu serigalaku, memiliki cacat fisik dan hanya mengandalkan penglihatan yang separo. Karena dua itulah, cukup membuatku yakin bahwa aku dijauhi karena hal itu. Kawanan serigala biasanya memili untuk berkelompok, tetapi tidak denganku. Aku menyukai kesendirian. Dan kesendirian adalah teman terbaik yang kumiliki. Sayang, tidak ada yang bisa mengerti kesukaanku ini.
“Acara hari ini lebih istimewa, karena kita akan menyeleksi Scouts yang akan menjalani pendidikan lanjutan untuk menjadi warrior.” Sebuah suara itu terdengar lantang, yang dikumandangkan dari panggung kecil di sudut lapangan. “Dan untuk para Schouts, pergilah ke tengah lapangan. Selain mereka, harap menyingkir dan silakan berdiri di pinggir lapangan.”
Kepalaku berputar dan mencari keberadaan pamanku. Mencoba meminta pendapat untuk maju atau tidak. Namun, setelah begitu lama, aku menyerah. Aku tak bisa menemukan di mana paman berada. Lalu, aku harus bagaimana? Maju, atau tidak?
“Sudahlah, maju saja. Ayo, kutemani.” Seseorang menyapaku dan mengulurkan tangannya. Mungkin, dia ingin aku menyambut uluran itu untuk maju bersamanya.
“Siapa kamu?” tanyaku. Sejauh yang kutahu, ia bukan orang yang kukenal dan kutahu namanya.
“Namaku Alex. Kita belum berkenalan secara resmi sebelumnya, tetapi aku sudah tahu siapa kau,” jawabnya. Aku meneliti wajah itu, mungkin saja ingatanku terbuka dan ada sekelebat wajahnya di sana. Namun, nihil. Aku sama sekali tak mendapati kenangan apa pun tentangnya.
“Kita belum pernah bertemu secara langsung. Kau yang pendiam dan lebih suka berada di pojokan, dan aku yang melihatmu dari kejauhan. Tapi, jangan khawatir. Aku sudah tahu siapa kamu. Jadi, ayo!” lanjutnya.
Aku tertegun dan masih belum bisa menjawab apa pun. Terlalu mendadak, bagiku. Aku yang selama ini belum pernah berhasil menjalin pertemanan dengan siapa pun kini dihampiri oleh seseorang dan menawarkan untuk pergi ke sana bersama-sama. Aku ragu, apakah aku menerima uluran tangannya?
“Mengapa kau tidak mencoba?”
Aku menoleh ke arah di mana suara itu muncul. Tak jauh di sana, kudapati ....
“Mengapa kau tidak mencoba?”Aku menoleh ke arah di mana suara itu muncul. Tak jauh di sana, kudapati paman yang sosoknya kucari sejak tadi.“Aku ... tak mau, A ... yah,” jawabku. Aku tak mau berbohong padanya, meski kesempatan itu ada sekalipun. Juga, aku tak mau bersikap seolah-olah aku menyukai acara itu.“Tak apa, setidaknya cobalah untuk saat ini. Lagi pula, Alex juga bersedia untuk mencoba, kan?”Sejenak, aku merenungkan perkataan paman. Bukan tentang masalah siapa yang menemaniku mencoba. Hanya saja ... bagaimana mennjelaskannya, ya? Sedang aku sendiri bingung dengan apa yang kurasakan. Jika tidak mencoba saat ini, ada waktu tiga tahun lagi untuk mencoba. Setelah itu, aku akan melewati tahun maksimal mendaftar. Di pack ini, di atas usia dua puluh tahun sudah tidak bisa. Begitu melewati usia itu dan belum mendafar, maka pilihan terakhir adalah menjadi pendudu
Di perubahanku yang pertama dan kedua, aku belum pernah merasa sedamai ini. Tak ada suara bergemuruh, geraman, atau hal yang membuatku muak. Di sini terasa sunyi, dengan mata yang masih terpejam dan sekeliling yang gelap.Rasanya damai, dan aku seolah enggan meninggalkan tempat ini.Aneh, di perubahan yang ketiga ini, tak kurasakan ikatan dengan serigalaku. Di mana dia? Bukankah seharusnya aku bisa memberi perintah padanya? Wolf akan menjadi buas tanpa perintah dari were-nya, dan begitulah! Werewolf selalu terhubung menjadi satu kesatuan yang terikat, bukan individu dan berjalan masing-masing.Keterikatan kami inilah yang membuat werewolf berbeda dengan serigala biasa.“Hai!”Sebuah suara menyapa indera pendengarku. Ah, sepertinya waktu damaiku tak bisa berlanjut lebih lama, ya. Segera kubuka mata, dan tempat yang belum pernah kutahui ada di pandangan.
"Dav! Dav! Sadarlah!"Sayup kudengar suara Paman memanggilku. Bagiamana ini? Mengapa semua terasa gelap dan aku tak bisa menggerakkan badanku? Ada rasa menyakitkan di ulu hati, dan setiap kali kucoba menggerakkan tangan, terasa begitu sulit."Paman?" tanyaku lirih. Kubuka kelopak mataku dengan perlahan, dengan maksud agar cahaya tidak terlalu banyak masuk. Pertama kali yang tertangkap mataku adalah langit yang biru, lalu kepala Paman dan tak ada apa-apa lagi. Terasa seperti aku sedang berbaring dan paman yang memangku kepalaku. Secara tak sadar, aku telah memanggil Paman, bukan Ayah seperti biasanya."Kau tak apa? Apa yang kau rasakan saat ini?" tanyanya. Bisa kulihat raut kekhawatiran dengan keringat yang sudah mengalir dari pelipisnya. Ah, ada juga beberapa luka kecil. Dan begitu kuedarkan pandanganku ke badannya, aku terkejut. Astaga! Badan Paman bersimbah darah."Pa ... man, kena ... pa?" Aku ter
Aku tak lagi terkejut dengan fakta ini. Sebelumnya, aku sudah tahu karena pria itu sendiri yang mengatakannya. Awalnya aku tak mau peduli, tetapi saat mendengar langsung dari Paman, aku percaya dan yakin bahwa ucapannya benar. Lalu, untuk Davian yang sudah meninggal itu, mengapa dia bisa muncul di dalam mimpiku?“Bagai … mana, dia … mun … cul? Kami … bertemu.” Hanya itu yang bisa kikatakan ada Paman. Semoga saja beliau mengerti apa yang kuucapkan, karena aku tak bisa menjelaskan panjang lebar. Keterbatasnku ini, terkadang aku sangat membencinya.“Dav, kau pasti sudah tahu jika kau Delta, kan?” Paman menanyakan hal yang sudah kutahu ini? Apa tidak salah aku mendengar? Sebagai jawabannya, aku hanya bisa mengangguk saja.“Delta memiliki kesadaran yang berbeda dari manusia dan serigalanya. Saat serigala Delta mengambil alih, maka kesadaran manusianya berada di alam la
Aku semakin bingung saja dengan semua ini. Memang, mereka yang melakukan pembunuhan dari salah satu pasangan werewolf, akan menggantikan posisinya menjadi pasangan. Namun, semudah itu hati ibuku berpindah? Semudah itu ibuku menerima kembali orang yang baru di hidupnya? Gampangan sekali.“Apa … ibu … ben … ci aku?” Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini pada Paman. Tentu dengan berbagai pertimbangan. Sudah tahu kan, aku ini werewolf cacat. Dengan nada bicara yang gagap, dan mata sebelah wolf-ku yang buta. Aku curiga, siapa tahu Paman membawaku karena ibu ak menginginkan aku di sisinya. Yah, karena malu, mungkin. Bisa saja, kan?“Dari mana pemikiran itu berasal, Dav?”“Aku … ca … cat.”Aku memalingkan muka. Benci dengan kata yang keluar dari mulutku, tapi di satu sisi aku juga penasaran. Apa memang benar dengan fakta ini? Ak
“Mereka menyayangi lebih dari yang kau tahu, Dav. Hanya saja, keadaan masih terlalu sulit untuk kita kembali bersama. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk kita. Dan yang terbaik dan bisa kita lakukan, adalah dengan bersembunyi seperti ini.”Aku masih berusaha untuk menghapus air mata ini. Ingin menghentikannya, tetapi terlalu sulit rasanya. “Aku …,” ucapku. Tak bisa melanjutkan karena tak tahu lagi harus berkata apa.“Aku tahu jika hidup kita di sini terlalu sulit. Paman janji, akan membawamu ke tempat lain jika itu memang pilihan yang bagus. Akan tetapi, apakah kau bersedia untuk pergi? Kau mau meninggalkan tempat ini bersama Paman?”Aku menggeleng. Meninggalkan tempat ini sama sekali bukan masalah untukku. Tidak ada teman yang bisa kurindukan, tempat penuh kenangan, atau harta benda berharga lainnya. Hanya Paman, serigalaku, dan kalung ini yang kupunya sejak dulu.&nb
“Pa … man.” Tenggorokanku terasa sakit, seperti ada yang mencekiknya dan membuat napasku terhenti. Namun, aku berusaha semampuku untuk mengeluarkan suara, berharap dengan panggilan ini aku bisa membuat Paman meresponku. Seingatku, rasa sakit yang menyerangku tadi sudah tak kurasakan. Entah sudah berapa lama rasanya menghilang, sepertinya aku harus bersyukur tentang ini.“Kau sudah sadar?” tanya Paman. Suaranya terdengar begitu serak. Terakhir kali aku mengingat, tentu tidak seserak ini.“A … ir,” ucapku. Hal kedua yang sangat kuinginkan setelah Paman, tentunya. Yah, sebenarnya aku ingin bertanya pada Paman apa yang terjadi. Namun, air adalah hal terpenting dan mendesak untuk saat ini.“Sebentar.”Aku masih berusaha untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Cahaya begitu terang, mungkin ini sekitar masuk waktu tengah hari. Dan ini ada
Karena tubuhku masih merasa lemah, aku hanya bisa mengangguk saja menanggapi keputusan Paman. Keputusan ini mendapatkan dukungan penuh dariku. Jadi, Paman tak akan mendapati aku yang menghalanginya.“Wah, tak kukira kau masih hidup ya, Dav.” Sebuah suara kudengar dari balik tubuh Paman. Dari berat dan nadanya, aku mengenali ini sebagai suara dari Alpha—orang yang sudah membuatku sekarat beberapa hari yang lalu.“Al … Alpha,” lirih Paman. Beliau berdiri dan langsung menunduk, begitu sosok yang kini kubenci itu masuk. Kalau saja dia tak berusaha untuk membunuhku, tentu aku masih memiliki rasa hormat padanya. Sayangnya, dia sendiri yang membuang rasa hormat dariku.“Ma .. af. Ti … dak … hormat,” ujarku terbata. Jika saja Paman tidak memberiku kode untuk memberi hormat, tentu aku tidak mau susah payah berkata. Mau bagaimana lagi, untuk berdiri saja aku masih lema