Share

Part 1. Aku-Davien

“Hey, bangun!”

Aku mengerjapkan mata, berusaha agar tidak merasa terlalu silau. Sepertinya, aku bangun lebih siang dari biasanya.

“A ... yah, ini hari ... libur,” kilahku. Sebelum tidur, aku sudah mengingat bahwa hari ini libur. Jadi, aku melakukan kebiasaan lama, yakni bangun lebih siang dari biasanya.

“Kau lupa, ya? Aku sudah bilang jika pack mengadakan lomba berburu untuk werewolf muda sepertimu, kan?”

Astaga! Aku melupakan hal ini. Fakta bahwa paman—atau yang sekarang kusebut ayah, mengatakan bahwa pack mengadakan acara rutin tahunan. Sebenarnya, aku malas untuk menghadirinya. Karena saat acara tahunan ini, aku pasti hanya akan menjadi bahan olokan semata.

“Aku ... boleh tidak ... pergi? A ... yah?” lirihku. Aku berusaha menyuarakan keberatan untuk datang ke acara itu. Di sana, aku pasti akan tersingkir untuk kesekian kalinya karena kekuranganku.

Yah, inilah kekuranganku. Aku memiliki tubuh yang lemah, cara bicara yang gagap, dan hal itu membuatku enggan berbaur dengan kawanan. Aku adalah manusia serigala. Di mana ketika aku ingin, aku bisa mengubah tubuh menjadi sosok serigala. Kini usiaku sudah lima belas tahun—menurut ayahku, dan sudah bisa berubah sejak berusia empat belas. Setahun yang lalu, kan? tapi, kuhitung sejak saat itu, aku hanya berubah dua kali saja. Berbeda dengan manusia serigala seumuranku yang berubah lebih sering.

“Datanglah! Aku sudah mencoba membujuk Alpha untuk memberimu keringanan tidak datang. Tapi, beliau tidak menginginkannya dan menginginkan semua Scouth datang.”

Aku bisa mengerti. Alpha adalah julukan untuk pemimpin pack—wilayah, yang kutempati ini. Dan Scouts, adalah julukan untuk werewolf yang remaja, dan dalam masa pelatihan. Setelah menjadi Scouts untuk waktu lama, mereka akan mendaftar ujian di rentang waktu usia yang ditentutak, dan jika lolos mereka akan menjadi warrior. Warrior adalah prajurit, biasanya mereka yang terpilih memiliki kebanggaan tersendiri untuk itu.

“Tapi ... A ... yah tahu ....”

“Ya, Ayah tak buta untuk melihat semua hal yang kaukhawatirkan, Dav. Tapi, cobalah terlebih dahulu. Tidak akan ada salahnya untuk mencoba. Dan Ayah yakin, kaubisa.”

Aku menunduk. Ayah begitu gencar memberiku semangat, tetapi aku sama sekali tak bisa memompa semangatku sendiri. Sejak kecil, hanya ia yang kupunya. Aku diberitahu bahwa beliau pamanku, saat berusia sepuluh tahun. Tidak ada gambar, atau apa pun itu untuk menunjukkan padaku bagaimana keluargaku yang asli. Yang jelas, aku cukup diberitahu bahwa kalung yang kupakai ini adalah kalung dari ibu, orang yang melahirkanku. Dan mereka akan menemukanku dengan mengenali idenditas ini. selebihnya, aku tak tahu lagi.

“Cobalah!” pinta ayahku. Beliau mengusak rambutku dan beranjak dari tempatnya berdiri sejak tadi. Mungkin, beliau ingin memberiku waktu dan tempat untuk bersiap. Dari semua hal, aku sama sekali tak meragukan bahwa beliau ayahku. Akan tetapi, kenyataan tidak selalu bisa sesuai dengan yang diharapkan, kan? kenyataan yang ada adalah beliau pamanku, bukan ayah atau orang yang memiliki hubungan darah denganku.

Begitu sosok ayah menghilang setelah melewati pintu kamarku, aku mengembus napas kasar. Mencoba menyalurkan ketidaksukaanku pada hal ini. Namun, semua hal itu terasa percuma. Karena meski aku mengatakan semua keberatanku, tidak akan ada hasil yang berbeda. Acara itu akan tetap berlanjut, dan aku harus datang ke sana. Tak peduli apa pun yang sudah terjadi.

Kuusap kasar wajahku, dan pilihan terbaik hari ini adalah bersiap dan datang ke sana. Terkadang, aku berharap bahwa ada hal yang bisa menghalangiku untuk pergi.

“Cepatlah, Dav! Acaranya sudah akan dimulai!”

“Ya!”

Teriakan dari ayah hanya bisa kujawab seperlunya. Sudah kubilang dari awal, aku ini gagap dan enggan rasanya, untuk berbicara panjang lebar. Jadi, dari pada mengulur waktu dan membuat ayah mengeluarkan teriakannya lagi, aku lebih memilih untuk bersiap sesegera mungkin. Memakai baju santai, dan kurasa cocok. Lalu bergegas ke lapangan, tempat acara yang sudah hampir dimulai.

Meski acranya tidak terlau formal, tetap saja lapangan yang berukuran luas itu tak terlihat karena banyaknya yang datang. Tak hanya Scouts, para orang tua, warrior dan penghuni kediaman utama pun datang. Kediaman utama adalah tempat Alpha melaksanakan tugasnya. Di sana tinggal keluarga dan beberapa jajaran pemerintahan. Seperti Beta—tangan kanan Alpha, dan Gamma yang memimpin warrior. Aku pernah mendengar, pamanku memiliki status Delta. Dan menurutnya, satu-satunya Delta yang menghuni pack ini adalah pamanku itu.

Aku? Jangan menanyakan status padaku, karena diriku sendiri pun tak tahu. Di dua perubahanku, tingkat pengendalian diriku teramat lemah. Hanya samar yang bisa kuingat. Kata mereka yang mengetahuinya, sebelah kelopak mata serigalaku seperti di lem, tertutup dan menyembunyikan bola mataku. Untuk ukurannya, serigalaku cukup besar, lebih besar dari Gamma—bahkan mungkin kata paman, hampir setara Beta. Tapi, mereka cukup yakin bahwa aku tidak menyamai Alpha.

Cukup miris, ya. Tubuh manusiaku memiliki kekurangan dalam berucap. Lalu serigalaku, memiliki cacat fisik dan hanya mengandalkan penglihatan yang separo. Karena dua itulah, cukup membuatku yakin bahwa aku dijauhi karena hal itu. Kawanan serigala biasanya memili untuk berkelompok, tetapi tidak denganku. Aku menyukai kesendirian. Dan kesendirian adalah teman terbaik yang kumiliki. Sayang, tidak ada yang bisa mengerti kesukaanku ini.

“Acara hari ini lebih istimewa, karena kita akan menyeleksi Scouts yang akan menjalani pendidikan lanjutan untuk menjadi warrior.” Sebuah suara itu terdengar lantang, yang dikumandangkan dari panggung kecil di sudut lapangan. “Dan untuk para Schouts, pergilah ke tengah lapangan. Selain mereka, harap menyingkir dan silakan berdiri di pinggir lapangan.”

Kepalaku berputar dan mencari keberadaan pamanku. Mencoba meminta pendapat untuk maju atau tidak. Namun, setelah begitu lama, aku menyerah. Aku tak bisa menemukan di mana paman berada. Lalu, aku harus bagaimana? Maju, atau tidak?

“Sudahlah, maju saja. Ayo, kutemani.” Seseorang menyapaku dan mengulurkan tangannya. Mungkin, dia ingin aku menyambut uluran itu untuk maju bersamanya.

“Siapa kamu?” tanyaku. Sejauh yang kutahu, ia bukan orang yang kukenal dan kutahu namanya.

“Namaku Alex. Kita belum berkenalan secara resmi sebelumnya, tetapi aku sudah tahu siapa kau,” jawabnya. Aku meneliti wajah itu, mungkin saja ingatanku terbuka dan ada sekelebat wajahnya di sana. Namun, nihil. Aku sama sekali tak mendapati kenangan apa pun tentangnya.

“Kita belum pernah bertemu secara langsung. Kau yang pendiam dan lebih suka berada di pojokan, dan aku yang melihatmu dari kejauhan. Tapi, jangan khawatir. Aku sudah tahu siapa kamu. Jadi, ayo!” lanjutnya.

Aku tertegun dan masih belum bisa menjawab apa pun. Terlalu mendadak, bagiku. Aku yang selama ini belum pernah berhasil menjalin pertemanan dengan siapa pun kini dihampiri oleh seseorang dan menawarkan untuk pergi ke sana bersama-sama. Aku ragu, apakah aku menerima uluran tangannya?

“Mengapa kau tidak mencoba?”

Aku menoleh ke arah di mana suara itu muncul. Tak jauh di sana, kudapati ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status