Share

Demi Dirinya Kau Meninggalkan Aku?
Demi Dirinya Kau Meninggalkan Aku?
Penulis: Ila Rofiqoh

Lelaki di Terminal

"Cukup. Dengarkan Abah, Nduk!"

"Abah yang kali ini harus mendengarkan Roya," teriaknya sembari meninggalkan ruangan dan membanting pintu. Napasnya memburu. Seirama dengan langkah lebarnya menuju kamar. Wajah bersimbah air mata miliknya dibenamkan pada bantal sambil mengeluarkan sepotong foto lama yang terselip di pinggiran ranjang. Kertas berukuran tiga kali empat yang selalu dipandanginya dengan senyum yang sama seperti dalam foto itu. 

Sebenarnya bukan hanya sekali. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari pertengkaran yang kian hari makin menghebat itu meletup setiap kali Kiai Nashih mengulang topik bahasan yang sama.

Dengan alasan usia yang semakin menua, lelaki nomor satu di pesantren itu terus memaksa Roya menikah dengan Gus Ahnaf. Lelaki yang oleh abahnya itu selalu digadang-gadang akan mampu mengurus pesantren dengan baik sepeninggalnya nanti. Padahal sejauh ini, Roya rasa dirinya tak kurang jika hanya dituntut mampu mengurus lembaga itu sendirian. Jika memang alasan selanjutnya adalah setangguh apa pun wanita tetaplah butuh pendamping, Roya telah lebih dulu menjatuhkan hati dan pilihannya pada lelaki lain. Kandidat yang ia yakin lebih segalanya jika dibanding dengan Gus Ahnaf.

Tak lama kemudian, dengan gelap mata Roya bangkit. Mengeluarkan tas besar dan mulai menata beberapa potong kain. Lelaki sepuh itu menyusul dan lekas menyergah. Menghentikan gerak yang selanjutnya mungkin akan menenteng tas besar itu dan meninggalkan kamar.

"Mau kemana, Nduk?"

"Kenapa? Kenapa baru sekarang Abah bertanya? Kenapa baru sekarang Abah merasa diriku penting? Abah masih ingat ketika aku pulang dengan tubuh rata dengan luka? Apakah Abahku peduli? Apakah Abah lantas membawaku ke puskesmas? Atau membantuku merawat luka-luka itu? Atau apakah Abah pernah sekadar menanyakan apa yang terjadi?

Tidak. Abah hanya sibuk mengurus pesantren, menghandiri undangan dimana-mana, mementingkan kegiatan di luar kota. Abah hanya sibuk pulang dan pergi. Bahkan aku hedak pulang atau tidak pun Abah tidak peduli. Tapi Kang Falah, lelaki yang kata Abah bukan siapa-siapa itu merasa begitu penting menyelamatkan nyawaku, Bah.

Puluhan orang menatap malang padaku saat itu tanpa berbuat apa-apa. Hanya lelaki yang Abah tak suka itu, yang selalu Abah banding-bandingkan dengan Gus Ahnaf yang katanya lebih segala-galanya, lelaki itu yang menolong putrimu ini tanpa mempedulikan apa pun. Tanpa pamrih apa pun.

Abah tau? Jika tanpa dia, Roya sudah pulang tak bernyawa, Bah. Jadi, tolong jangan paksa Roya membunuh perasaan yang terlanjur tumbuh ini pada Kang Falah, jangan siksa Roya dengan harus menerima paksa orang lain. Sudah cukup, Bah. Cukup apa yang Roya alami selama ini. Aku tidak ingin mengungkit-ungkit luka lama di antara kita. Tolong jangan lagi ambil kebahagianku kali ini," ungkit Roya panjang lebar mengorek kembali kisah lama.

Kang Falah. Tragedi lima tahun lalu di terminal mempertemukan keduanya. Liburan akhir ramadan kala itu membuat jalanan ramai lancar. Sepeda motor, mobil, pick up, truk, tronton, serta pejalan kaki bertebaran di mana-mana. Hari itu Roya bergegas ke terminal, ingin menghabiskan libur hari raya sekaligus bersilaturahmi di Pati, di pesantren asal mendiang Umi yang sekarang diurus bibi dan suaminya.

Melihat ramainya jalanan, dirinya mulai kebingungan. Ragu-ragu menyeberangi jalan dengan satu tangan melambai-lambai. Memberi isyarat untuk meminta jalan. Tapi naasnya, sebuah sepeda motor berkecapatan tinggi menyerempet tubuhnya yang kemudian terpental. Terguling-guling diatas aspal hingga menepi di bahu jalan.

Tak butuh waktu lama bagi para pengguna jalan untuk berkerumun. Sebagian berebut melihat, sebagian menatap iba, sebagian lagi ricuh berbisik-bisik dengan orang-orang di sampingnya. Tidak ada yang berani melakukan tindakan apapun hingga akhirnya pria berkoko navy saat itu mendekat.

Melihat darah yang tak hentinya mengucur, pemuda itu tampak begitu khawatir. Bolak-balik dari satu toko ke toko lain membeli minum, kapas, betadine, alkohol, dan juga perban. Kerumunan itu lantas bubar ketika laki-laki itu memapahnya menuju bus dan mengatakan akan membawa ke puskesmas dan kemudian mengantar ke tujuan. Laka lantas itu mengurungkan rencananya ke Pati dan memutuskan untuk pulang.

Falahul Albab. Begitu lelaki tadi memperkenalkan diri sepanjang perjalanan mereka menuju bumi wali, Tuban. Karena di sebuah halte seorang nenek-nenek naik, dia lantas memberikan kursinya dan memutuskan untuk berdiri sehingga memungkinkan mereka untuk mengobrol.

Tidak ada pembicaraan serius setelahnya. Hanya sesekali dia bertanya atau menceritakan beberapa hal, juga bertukar nomor ponsel. Dari perbincangan itu, mereka mulai akrab. Momen itu berakhir ketika bus telah sampai dan menurunkan Roya di perempatan jalan menuju pesantren di mana dia tinggal. Kang Falah menolak untuk mampir dan memiliih untuk bergegas menuju tanah kelahirannya, Rembang.

Tidak pernah terduga, semenjak itu rasa kagum pada lelaki itu berubah menjadi cinta. Diam-diam Roya menaruh hati padanya. Dan betapa bahagianya dia ketika beberapa waktu kemudian Kang Falah mengatakan bahwa dirinya memiliki rasa yang sama. Entah sudah berapa ribu surat yang telah mereka kirim balas setiap harinya. Terakhir kali, Kang Falah berterus terang dan mengabarkan ingin melamar dalam waktu dekat.

Namun, entah apa yang terjadi setelahnya hingga Kang Falah tiba-tiba menghilang. Tanpa alasan. Sirna tanpa jejak. Ribuan pesan yang Roya kirim atau ratusan surat yang ia layangkan tak lantas membuat Kang Falahnya kembali. Puluhan purnama Roya menunggu. Memeluk erat kerinduan seorang diri. Hingga suatu malam abahnya hendak menjodohkan dirinya dengan Gus Ahnaf. 

Memegang erat keyakinannya pada Kang Falah yang akan kembali, Roya menolak mentah-mentah keputusan itu. Meski berkali-kali abahnya mencoba membujuk, ia tetap bersikeras. Kukuh pada pendiriannya. Tidak ada hari tanpa berdebat dengan abahnya. Hingga tak pernah terpikir olehnya bahwa hal ini akan berimbas sejauh ini. Tak pernah terpikir perdebetan-perdebatan yang menghebat di antara mereka membuat lelaki sepuh itu tergolek lemah tak berdaya di rumah sakit ini sekarang. Sekujur tubuhnya terlilit kabel-kabel medis yang sesekali berbunyi. Tubuh keriput itu kian menyusut setiap hari, kurus kering, hingga mungkin tersisa kulit dan tulang.  

Berbagai bayangan satu per satu mulai muncul. Kematian uminya beberapa belas tahun lalu masih membekas trauma berkepanjangan. Bahkan sunyi dalam kegelapan masih sering menyusupkan kerinduan. Kasih yang tak lagi bisa tergenggam itu masih sering membuatnya meratap, entah sampai kapan. Rasanya tak siap jika kehilangan itu akan merebut sesuatu darinya sekali lagi. 

Malam semakin hening. Dari balik jendela kaca yang dilindungi tralis-tralis besi, rembulan telah meninggi dan bersinar bulat terang sempurna. Di sanalah kemudian tatap manik mata Roya mendarat. Tatap kosong dirinya yang tengah duduk dengan penuh gelisah.  Resah, cemas, dan rindu bergolak dalam dadanya, beradu satu memenuhi pikiran dan hati. Seolah pada wajah teduh sang ratihlah ia mencari ketentraman.

Tetes air yang mulai merembes di sudut mata membuat Roya mengerjap. Menyandarkan punggung yang dirasanya remuk pada sofa. Andai dirinya dapat sedikit mengendalikan diri, mungkin semua ini tak akan pernah terjadi. Rasa sesal itu tak henti membayang, mengiang-ngiang, memutar kembali scene yang menghantuinya dengan rasa dosa.    

Dret .... Dret ....

Segera digesernya tombol telepon berwarna hijau setelah membaca satu nama di layar. Kang Ishlah.

"Halo, Kang. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam, Ning Roya. Ngapunten mengganggu njenengan. Ustadz fiqih baru segera rawuh, Ning. Sudah sampai tugu kecamatan katanya. Njenengan apa bisa pulang sekarang?" terang seseorang di seberang telepon dengan jelas. Tempo hari, abahnya memang tampak berdiskusi dengan lelaki itu untuk mencari guru fiqih baru yang katanya akan menggantikan Ustadz Mun'im yang juga kabarnya sedang sakit keras. Dari usulan Kang Ishlah dan mempertimbangkan bahwa pesantren memang sedikit kuwalahan akhir-akhir ini, abahnya lantas menyetujui guru fiqih muda yang kabarnya akan sowan akhir Muharam ini. Meski begini kondisinya, tetapi mungkin tangan kanan abahnya itu sudah mempersiapkan segalanya. 

"Malam-malam begini?" 

"Inggih, Ning. Katanya beliau sempat terkendala macet seharian di jalan sehingga baru saja sampai."

"Oke tunggu saya pulang."

"Njenengan tunggu saja di sana, Ning. Saya sudah meminta kang-kang untuk menjemput."

Telepon diputus bersamaan dengan Roya yang segera beranjak. Dipandanginya sekali lagi lelaki sepuh yang memucat itu sembari menghela napas panjang. Dengan berat hati ia meninggalkan ruangan, langkahnya kemudian menyusuri lorong yang di kiri kanannya duduk beberapa santri yang berjaga. Begitu menapak halaman, sebuah mobil melambat dari kejauhan dan berhenti. Membuka pintu dan mempersilakan Roya untuk masuk. 

"Bagaimana keadaan Abah, Ning?" sambut Nay membuka percakapan dengan Roya. 

"Hufft, belum ada perkembangan, Nay. Aku bingung harus bagaimana."

Lagi, Roya hanya menghela napas kasar dan menyandarkan punggungnya pada jok sambil menatap kosong pada langit-langit mobil. Pikirannya kembali melayang pada nama yang terus-terusan berputar dalam ruang pikirannya, Kang Falah. Tentang ke mana lelaki itu sebenarnya. Mengapa hingga hari ini pesannya masih centang satu. Dari terakhir dilihat dua tahun yang lalu, Roya sempat berpikir apakah Kang Falah mengganti nomor ponsel dan kehilangan nomor kontaknya. Tapi bagaimana dengan surat-surat yang ia kirimkan? Surat yang hingga hari ini tak satu pun pernah ada balasan. Pikirnya kacau dengan segala kemungkinan yang direka-rekanya.  

Dialihkannya pandangan keluar kaca. Mobil membelah jalanan malam Kabupaten Tuban yang lengang. Hanya ada satu dua kendaraan yang lewat karena memang akses jalan ini melewati hutan. Dari jarak beberapa meter tampak di pinggir jalan seorang laki-laki sedang bertengkar dengan perempuan yang seperti kekasihnya. Ketika posisinya tepat tersalip mobil, terdengar jelas perempuan itu menyebut-nyebut kata selingkuh sambil menodongkan telunjuknya kepada sang pria. 

Sontak Roya membuang muka. Mengalihkan tatapan matanya yang kosong pada jalanan yang tersorot lampu mobil. Apakah iya? Apakah mungkin Kang Falah begitu? Apa mungkin Kang Falah berpaling? Apakah mungkin Kang Falah menghianatinya? 

Kalut pikiran itu membuat Roya tak menyadari mobil telah melambat, berhenti dan terparkir di sebelah mobil lain yang entah milik siapa. 

Bruk ....

Huwa ... Huwa ... Huwa....

Tangis itu sontak membuat Roya terkesiap. Di hadapannya, balita yang kira-kira usianya belum genap dua tahun itu terjengkang setelah menabrak dirinya yang juga baru selangkah keluar dari mobil. Tanpa pikir panjang segera diraihnya tubuh mungil itu dan mendekapnya erat. Matanya menutup rapat sedang sekujur tubuhnya bergetar seolah terkejut hebat.

"Hus ... Cup, Sayang. Adek manis nggak boleh nangis. Malu sama mbaknya. Eh, ada kucing, Dek. Coba panggil, pus ... meong."

Balita manis itu kemudian menghentikan suara bisingnya, matanya mengerjap-kerjap. Disekanya air mata yang sempat membanjir. Namun, bukan pada kucing, manik mata yang masih berkaca-kaca itu memandang ke arah berlainan. 

"Abi ... Abi ... Umi, itu Abi ...," celoteh lelaki kecil itu riang sambil meronta-ronta dan menarik-narik jilbab Roya. Jemari mungilnya menunjuk ke suatu arah yang membuat Roya refleks menoleh. Seorang lelaki tinggi besar berdiri bersisian dengan perempuan bergamis maroon yang bergelayut manja pada lengannya.

"Ning Roya?"

Deg ….

Kang Falah? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status