Share

Kita Harus Bicara

Setelah beberapa kilometer melewati batas kabupaten, jalanan padat merayap. Kendaraan-kendaraan raksasa yang menangani proyek pembangunan membuat lalu lintas hampir lumpuh. Banyak pengemudi yang mulai kesal. Memencet-mencet klakson berulang kali atau keluar dari kendaraannya sembari menutup pintunya keras. Lantas mereka menepi ke sisi jalan. Singgah di warung-warung sekitar. Sayup-sayup terdengar mereka mulai mengeluh dan sesekali mengumpat. 

Berbeda dengan Falah yang sejak tadi hanya diam. Setia menatap lurus ke depan. Manik matanya tertuju pada mobil berbadan kuning yang tengah mengerek buis beton. Namun, lain lagi dengan pikiran dan hatinya yang dipenuhi dengan pengakuan abdi dalem tadi tentang Roya. 

Falah memang mengenalnya sebagai gadis yang teguh pendirian. Sekali memilih, dia akan mempertahankan hal itu mati-matian. Soal setia apalagi. Meski andai ribuan pilihan disodorkan pun, Roya tidak akan pernah berpaling. Namun, sama sekali tak pernah Falah sangka Roya akan sekeras kepala itu. Menolak puluhan lamaran bahkan sampai  menentang Kiai Nashih yang hendak menjodohkannya. Terlebih alasannya hanya demi mempertahankan Falah. Lelaki yang jelas tidak ada apa-apanya dengan lelaki yang dipilihkan oleh Kiai Nashih. Lelaki yang bahkan dikenalnya secara kebetulan di terminal. 

“Ngapunten, Ustaz, mobil di depan sudah jalan.”

Falah terperangah. Mobil-mobil di depannya sudah mulai merayap. Klakson-klakson pengemudi di belakang sudah mencerca bersahut-sahutan. Lekas diinjaknya pedal gas. Membebaskan diri dari kemacetan luar biasa seperti ysng selalu terjadi di ibu kota.

Sepanjang sisa perjalanan, dirinya lebih banyak diam. Lebih banyak berpikir daripada mengorek lebih dalam tentang Roya. Lelaki yang teramat gadis itu cintai, yang dibela mati-matian, yang sekian lama ia tunggu tiba-tiba saja datang dengan membawa dua orang yang disebut anak dan istrinya. Sudah ada gambaran jelas di pikiran Falah kekecewaan serta luka yang selalu membuat gadis itu menghindar. 

Sempat disesali mengapa mulutnya dulu harus mengucap kata janji. Jika saja dirinya tak lena oleh cinta, semuanya tidak akan seperti ini sekarang. Mungkin Roya sudah bahagia dengan lelaki yang entah siapa, dan dirinya tidak akan terkungkung dalam penjara rasa bersalah. Memang harus diakui benar bahwa membuat janji di kala bahagia dan mengambil keputusan di kala amarah adalah suatu awal dari kehancuran besar.

Jika sudah begini jadinya, apa yang harus diperbuat untuk memperbaiki segalanya? Dari mana dirinya akan memulai? Roya telah mewanti-wanti agar tidak menemui dirinya lagi.

Namun, bagaimanapun juga semuanya harus dibicarakan, harus diluruskan. Mengenai alasan Falah yang terpaksa meninggalkannya. Roya harus tau. Roya harus mengerti. Masing-masing hati mereka harus mulai sama-sama mengikhlaskan. Hidup yang baru harus segera ditapaki. Terutama Roya, Falah tak ingin menghancurkan masa depannya sekali lagi. Entah bagaimana caranya, tapi ia harus menemui Roya, segera.

Kira-kira sepuluh menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi telah memasuki area rumah sakit. Diparkirkannya kendaraan roda empat itu tepat di samping mobil pesantren yang mungkin juga baru sampai beberapa menit lalu. Kebetulan merek dan warna mobil itu sama. Bahkan Faqih saja sudah sering kali keliru. 

Semua penumpang kemudian bergegas turun. Begitu juga Faqih. Karena tertidur, seorang kang dalem menggendongnya menjauh. Memisahkan diri dari rombongan Falah setelah pamit akan membaringkan dan menunggui putra ustaz mereka itu di musala. Mendekati bangunan rumah sakit, ada keraguan yang muncul di hati Falah untuk terus mengekori langkah-langkah mereka. Berpikir apakah Ning Roya akan menerima kehadirannya di sini.

Menapaki lobi rumah sakit, suasana cukup ramai. Banyak orang yang berlalu lalang di sela-sela petugas medis yang tengah berlalu lalang dengan kerjanya. Ruang tunggu penuh dengan antrean, belum lagi di lorong-lorong dan kursi-kursi depan kamar rawat inap. Di depan kamar Kiai Nashih sendiri ada tiga santri jaga yang dari kejauhan terdengar berbincang-bincang. Satunya lagi sesekali menatap kitab kecil seukuran saku dan mulai komat-kamit. Ketiganya serentak berdiri begitu Falah mendekat. Secara bergantian disalaminya tangan itu takzim. 

“Ada perlu apa kemari, Ustaz? Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah seorangnya kemudian.

“Ada perlu apa? Heh, sarungnya Abah tadi ketinggalan, Rip. Gimana toh kamu ini,” serobot kang dalem sembari menenteng tinggi-tinggi kresek yang tengah dibawa. Gemas. Sedang lawan bicaranya mengerutkan kening. Tampak seolah sedang berpikir. 

“Loh, tadi perasaan sudah ada sarung yang tak bawa. Ya, ‘kan, Mad?” tanyanya sembari membuka resleting tas. Mencari bungkusan berisi benda yang menurutnya telah dibawa.

“Kalian nggak masuk?” tanya Falah menghentikan perdebatan itu. Aktivitas merogoh-rogoh kantung besar tadi juga seketika terhenti. 

“Sudah ada Ning Roya di dalam, Ustaz.”

Falah melongok. Berusaha melihat ke dalam ruangan dari jendela kaca. Tampak jelas tubuh kurus kering Kiai Nashih terbujur di sana. Terlilit kabel-kabel mesin medis yang entah apa namanya. Sedangkan di samping pembaringan, Roya terduduk lesu menyandar pada kursi. Jemarinya menggenggam erat tangan abahnya. Sama-samar seolah seperti mengajak lelaki sepuh yang memejam rapat itu bicara. 

Tok …. Tok …. Tok ….

Ketuk Falah pada daun pintu. Bermaksud izin hendak masuk. Namun, setelah berulang tiga kali pun, tidak ada jawaban dari dalam. Gadis itu seolah begitu fokus, serius membicarakan sesuatu meski tak mendapat respon. Setelah menghela napas panjang, Falah memberanikan diri untuk masuk. Hanya selangkah kemudian berdiri mematung di balik pintu.

“Maafkan Roya, Bah ….”

Tangisnya membuncah begitu kalimat itu meluncur. Bahunya berguncang berusaha merengkuh tubuh yang hanya diam membisu. Deru napas yang tersengal-sengal membuat kata selanjutnya tidak begitu jelas terdengar.

“Maafkan Roya yang tidak pernah mendengarkan Abah. Aku tahu Abah begitu menyayangi dan mencemaskanku. Abah tidak ingin aku hidup dengan orang yang salah. Menderita setiap  hari. Kuakui juga Gus Ahnaf adalah lelaki yang baik, terlampau baik malah. Abah tidak pernah salah pilih. Tapi cobalah Abah mengerti rasa hatiku, Bah. Aku mencintai hiks …. Aku mencitntai … Kang Falah. Kang Falah seorang.”

Roya tak bisa lagi menahan diri. Air matanya semakin berderai-derai. Apalagi abahnya tetap terdiam. Tak bisa membalas rengkuhnya atau mengussap lembut pucuk kepalanya menenangkan. 

“Abah tau? Semesta sudah menghukumku, Bah. Lelaki yang mati-matian kuperjuangkan, yang sampai Roya membuat Abah begini, dia … dia berhianat, Bah.”

Sesak dadanya membuat Roya terpaksa berhenti. Memejamkan rapat kedua netranya sembari merasai jantung yang berdetak nyeri. 

“Umi telah tiada, lelaki yang kucintai menikam hatiku hingga hampir sekarat, sedangkan Abah terus terpejam, seolah ingin meninggalkan aku. Apa lagi yang masih kupunya, Bah? Aku sebatang kara sekarang. Aku hancur. Aku kehilangan segalanya.”

Falah berpaling, membuang muka pada cahaya yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela. Tak sanggup lagi mendengar pengaduan demi pengaduan yang begitu menyayat hati. Ingin rasanya ia mendekat. Menghapus air matanya. Memeluk tubuh yang berguncang-guncang itu lama. Namun, tentu saja itu mustahil.

“Dan satu lagi, Bah. Satu lagi yang lebih menyakitnya dari semuanya adalah cinta yang tak pernah bisa kuhapus sekeras apa pun aku mencoba. Aku seolah tak mampu melepas pelukan eratku pada pohon kaktus. Perih dan nyeri tanpa aku bisa menyembuhkannya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status