Demi Dirinya Kau Meninggalkan Aku?

Demi Dirinya Kau Meninggalkan Aku?

Oleh:  Ila Rofiqoh  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
Belum ada penilaian
5Bab
345Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Roya, seorang Ning dari Pesantren Sabilun Naja terpukul ketika lelaki yang dicintainya-Kang Falah ternyata telah menikahi perempuan lain. Sedangkan dirinya telah mati-matian menolak perjodohan dari abahnya dengan Gus Ahnaf demi mempertahankan Kang Falah. Hatinya yang hancur membuatnya tidak ingin menikah seumur hidup hingga pada akhirnya Gus Ahnaf mampu menyembubkan luka trauma Roya

Lihat lebih banyak
Demi Dirinya Kau Meninggalkan Aku? Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
5 Bab
Lelaki di Terminal
"Cukup. Dengarkan Abah, Nduk!""Abah yang kali ini harus mendengarkan Roya," teriaknya sembari meninggalkan ruangan dan membanting pintu. Napasnya memburu. Seirama dengan langkah lebarnya menuju kamar. Wajah bersimbah air mata miliknya dibenamkan pada bantal sambil mengeluarkan sepotong foto lama yang terselip di pinggiran ranjang. Kertas berukuran tiga kali empat yang selalu dipandanginya dengan senyum yang sama seperti dalam foto itu. Sebenarnya bukan hanya sekali. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari pertengkaran yang kian hari makin menghebat itu meletup setiap kali Kiai Nashih mengulang topik bahasan yang sama.Dengan alasan usia yang semakin menua, lelaki nomor satu di pesantren itu terus memaksa Roya menikah dengan Gus Ahnaf. Lelaki yang oleh abahnya itu selalu digadang-gadang akan mampu mengurus pesantren dengan baik sepeninggalnya nanti. Padahal sejauh ini, Roya rasa dirinya tak kurang jika hanya dituntut mampu mengurus lembaga itu sendirian. Jika memang alasan selanjutny
Baca selengkapnya
Luka
“Monggo pinarak,” hatur Roya ketika kedua manik mata mereka kesekian kalinya bertemu. Lekas dirinya membuang muka dan menyapukan tatap mata yang telah berembun itu pada benda sekenanya. Lelaki yang selama ini ia cintai, yang kerap ia bela matia-matian, lelaki yang ribuan hari ia rindukan. Rindu yang ia peluk sendirian, hari ini membuatnya tertikam. “Njenengan-“ “Silakan istirahat, ngapunten saya tingggal ke dapur dulu,” potong Roya lagi sebelum lelaki itu membuka suara. Sedetik kemudian ia bergegas berlalu sembari memegangi ulu hati yang terasa nyeri. Sempat ditatapnya sekali lagi lelaki berkoko cokelat itu dengan tatap yang telah berkaca-kaca. Berharap bahwa dirinya berhalusinasi lagi seperti yang sudah-sudah. Seperti dirinya yang mengira melihat Kang Falah di terminal sebulan lalu, tetapi ketika mendekat, ia menyeru, “Ayo, Mbak, Kang, Jeporo? Kudus? Ayo, monggo ....” Ya, dia kernet bus bukan Kang Falah.Halusinasi yang sama seperti tadi pagi ketika dirinya melihat lelaki itu se
Baca selengkapnya
Kesetiaan yang Dihianati
“Mas….” “I-iya?” jawab Falah setengah terperanjat. Dari ekor mata, tampak perempuan yang telah sah menjadi istrinya dua tahun lalu itu mengelus pundaknya lembut. Menyejajarinya duduk di kursi depan rumah yang sudah sejak pagi sibuk ditata dan dibersihkan oleh mbak-mbak ndalem yang ditempatkan di sana. “Sampeyan kenapa to, Mas? Dari semalam aku perhatikan ngelamun terus.” “Enggak, aku enggak apa-apa,” jawab lagi lelaki itu datar. Memang, perempuan itu memang pandai membaca gerak-gerik. Sedari malam matanya memang seolah enggan untuk terpejam. Namun, bagaimana mungkin dirinya akan menciritakan hal yang mengganggu pikirannya ini pada istrinya. Bagaimana mungkin dirinya menciratakan bayangan Roya yang tak henti-hentinya berkelebat. Sudah dua tahun sedangkan masa lalu itu sempat ingin ia tutup rapat-rapat. “Kebiasaan, kalau ditanya selalu jawabannya enggak apa-apa. Enggak apa-apa tapi kok begitu. Selalu saja menyembunyikan sesuatu dariku. Aku istrimu, Mas. Cobalah berterus terang, b
Baca selengkapnya
Kita Harus Bicara
Setelah beberapa kilometer melewati batas kabupaten, jalanan padat merayap. Kendaraan-kendaraan raksasa yang menangani proyek pembangunan membuat lalu lintas hampir lumpuh. Banyak pengemudi yang mulai kesal. Memencet-mencet klakson berulang kali atau keluar dari kendaraannya sembari menutup pintunya keras. Lantas mereka menepi ke sisi jalan. Singgah di warung-warung sekitar. Sayup-sayup terdengar mereka mulai mengeluh dan sesekali mengumpat. Berbeda dengan Falah yang sejak tadi hanya diam. Setia menatap lurus ke depan. Manik matanya tertuju pada mobil berbadan kuning yang tengah mengerek buis beton. Namun, lain lagi dengan pikiran dan hatinya yang dipenuhi dengan pengakuan abdi dalem tadi tentang Roya. Falah memang mengenalnya sebagai gadis yang teguh pendirian. Sekali memilih, dia akan mempertahankan hal itu mati-matian. Soal setia apalagi. Meski andai ribuan pilihan disodorkan pun, Roya tidak akan pernah berpaling. Namun, sama sekali tak pernah Falah sangka Roya akan sekeras kepal
Baca selengkapnya
Bahagialah Dengan Duniamu
“Ning ….” Seketika isak itu terpaksa berhenti. Dengan mata merah pekat dan tangis yang membanjir di pipi, Roya menoleh. Beranjak dari kursinya dan bersitatap dengan lelaki yang terus melangkah maju. “Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” Falah menghela napas panjang. Sesuai perintah Roya, dari jarak beberapa meter ia kembali mematung. Namun, kali ini dengan menunduk dalam. Tak berani menatap bola mata Roya yang dipenuhi api murka. “Aku datang ingin menjenguk Kiai Nashih, Ning.” “Tapi itu tidak perlu. Aku tidak butuh kepedulian atau belas kasih dari penghianat sepertimu. Silakan keluar!” perintah gadis itu dengan telapak tangan terbuka menunjuk pintu. Dadanya sudah kembang kempis menahan gejolak emosi. Bagaimana tidak? Kang Falah seolah enggan berhenti membayangi langkahnya. Padahal telah sejak awal ia tegaskan agar tidak menemui dirinya lagi. “Tolong, Ning! Dengarkan aku sekali ini saja.” “Sudahlah, Kang. Tidak ada yang perlu didengar atau dijelaskan. Apa pedulimu? Pula
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status