Share

7. Madam Deria?

Author: MessiAjh 02
last update Last Updated: 2025-08-14 11:19:03

Malika merasakan darahnya seperti surut ke ujung kaki. Suara ibunya barusan seolah menggema di dalam kepalanya, memecah semua pertahanan yang sudah ia bangun sejak masuk ke ruangan itu. Jemarinya yang sedari tadi menggenggam tas kini berkeringat, dingin, dan gemetar halus.

Tatapan Mira yang lembut justru membuatnya semakin terpojok. Ia tahu, ibunya hanya bertanya dengan rasa ingin tahu seorang ibu, bukan curiga. Tapi di mata Malika, pertanyaan itu seperti belati yang mengarah tepat ke rahasia kelamnya.

“Uang itu dari mana Nak?” Tanya Mira sekali lagi, kali ini suaranya lebih pelan, tapi justru membuat dada Malika terasa sesak.

Kelopak mata Malika bergetar. Ada dorongan untuk menunduk, menghindari tatapan itu, tapi ia tahu gerakan kecil seperti itu justru akan memancing kecurigaan.

“Lika…” Suaranya tercekat. Ia buru-buru menarik nafas, mencoba menguasai diri. “Lika dapat pinjaman dari manajer Lika, Bu. Ada pinjaman dari teman.”

Bohong. Kata itu langsung membakar pikirannya. Malika merasa seperti ada lumpur pekat yang mulai menyelimuti tubuhnya. Ia takut kalau ibunya akan melihat kebohongan itu hanya dari sorot matanya.

Mira mengangguk kecil, tidak menekan, tapi tatapannya tetap memaku, lalu tersenyum samar. “Terima kasih Nak, Ibu percaya kamu.”

Kalimat terakhir itu justru membuat hati Malika mencelos. Ia tahu, kepercayaan ibunya adalah hal terakhir yang pantas ia terima sekarang.

“Bu Rasti kemaren bilang sama Ibu kalau Lika nangisin Ibu. Kamu pasti takut ya Nak?” Ujar Mira

“Iya Bu. Lika takut Ibu pergi ninggalin Lika. Makanya Lika langsung pergi cari bantuan, dan langsung bayar biaya operasi Ibu.”

“Maaf ya Nak. Ibu udah buat Lika takut.”

“Nggak apa-apa Bu. Yang penting sekarang Ibu selamat, dan Lika harap Ibu cepat sembuh agar kita bisa pulang.”

Mira tersenyum. “Iya Nak. Ibu pasti cepat pulih. Ibu akan bantu Lika melunasi pinjaman dan hutang Ayah kamu.”

“Dia bukan Ayah Lika lagi, Bu. Dia orang jahat yang hancurin hidup Lika sama Ibu. Dia juga yang buat Ibu sakit. Lika benci sama dia.”

Mira mengusap kepala putrinya sayang. “Sejahat apapun Ayah kamu, dia tetap Ayah kamu Nak. Lika boleh benci dia, tapi jangan sampai Lika tidak mengakuinya.”

“Bu, dia penyebab semua ini. Lika nggak lanjut kuliah karena, dia. Dia juga bukan hanya ninggalin hutang, tapi dia juga ninggalin kita demi wanita murahan. Dia bukan cuma nyakitin hati dan mental Ibu. Tapi dia juga nyakitin fisik Ibu. Dia pukul Ibu di depan Lika, Lika nggak bisa terima itu, Bu! Jadi tolong jangan paksa Lika buat mengakui dia sebagai Ayah Lika.” Ucap Malika dengan tegas dan mata berkaca-kaca menahan tangis.

“Maaf, Nak. Ibu nggak bermaksud buat Lika sedih.”

Malika langsung memeluk ibunya. “Tolong jangan pernah bahas dia lagi, Bi. Setelah Ibu boleh pulang, kita akan pindah, biar penagih hutang nggak datang ganggu kita. Ibu juga harus urus perceraian, biar dia nggak punya hak limpahkan hutangnya sama Ibu.”

Mira mengangguk sambil meneteskan air mata. “Ibu mau Nak. Tapi dari mana kita dapat pinjaman lagi buat ngurus biaya perceraian, Nak?”

“Ibu jangan mikirin itu. Ibu hanya perlu semangat untuk sembuh. Biar semuanya jadi urusan Lika.”

“Tapi Nak..”

“Ibu tenang aja, ya. Lika pasti bisa Bu. Nanti Lika cari kerja tambahan.” Potong Malika

“Terima kasih Nak. Ibu nanti bantu Lika.”

“Iya Bu. Nanti Ibu jualan nasi uduk di depan rumah kalau udah sembuh.”

“Iya Nak. Ibu juga kangen jualan lagi sama masak enak buat Lika.”

Malika tersenyum. “Lika juga kangen masakan Ibu. Masakan Ibu nggak ada duanya. Restoran bintang lima pun, kalah enak masakannya dibanding masakan Ibu.” Puji Malika

“Bisa aja Lika puji Ibu.”

“Lika serius Bu. Ibu chef terbaik sedunia.” Ucap Malika sambil merentangkan tangannya membentuk dunia.

Mira terkekeh “Lika kecilnya Ibu kembali. Ibu bahagia kalau Lika tersenyum seperti ini. Ibu pengen lihat putri Ibu ceria terus seperti ini.”

Malika tersenyum. “Lika juga bahagia lihat Ibu senyum dan semangat kayak gini. Senyum Ibu adalah kebahagiaan terbesar buat Lika. Lika pengen lihat senyum ini terus Bu.”

Mira mengangguk. “Ibu janji Nak. Ibu nggak akan pikiran hal yang buat Ibu sedih lagi. Ibu akan semangat baut Lika.”

“Iya Bu.”

Drttt…

Suara dering ponsel itu terdengar nyaring di antara detak monitor jantung ibunya. Malika sempat terpaku, pandangannya langsung terarah pada paper bag di sudut kursi. Tangannya bergerak pelan, seolah takut gerakan kecil itu akan menimbulkan suara yang mengundang perhatian.

Ia membuka paper bag dan merogoh isinya, jemarinya menyentuh kain dingin baju semalam sebelum akhirnya menemukan benda yang ia cari, yaitu ponselnya. Layar menyala, menampilkan nomor yang tak tersimpan namun begitu familiar.

Sekilas saja, tapi cukup untuk membuat wajahnya memucat. Nafasnya tercekat.

"Madam Deria…" Batinnya menjerit, seakan nama itu sendiri adalah jerat yang siap menelannya bulat-bulat.

Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak sinkron dengan ritme napasnya. Ia tahu, jika ia mengangkat telepon ini di depan ibunya, semua bisa berantakan.

"Kenapa nggak diangkat, Nak?" Suara lembut Mira menyusup, membuat Malika hampir menjatuhkan ponsel dari genggaman.

Ia tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan gugupnya. "Ini dari teman kerjanya Lika, Bu. Mungkin mau nanya kenapa Lika nggak masuk kerja hari ini." Lagi-lagi, kebohongan harus ia lontarkan.

"Kalau gitu, angkat aja, Lika."

Tidak ada celah untuk mengelak. "Baik, Bu."

Ia menekan tombol hijau. "Halo?"

"Halo, sayang…" Suara lembut namun tegas itu langsung terdengar dari seberang, penuh keakraban yang tidak boleh ibunya dengar.

Refleks, Malika menatap ibunya sebentar. "Bu, Lika keluar sebentar ya? Rere ada hal yang mau diomongin sama Lika."

Mira tersenyum, sama sekali tidak curiga, dan mengangguk pelan.

Sementara di seberang, Madam Deria sempat mengernyit. "Rere?" Batinnya. Namun ia segera mengerti. Malika pasti sedang berusaha menjaga rahasia di depan ibunya.

Begitu pintu kamar tertutup, Malika mengangkat ponselnya kembali ke telinga. "Halo, Madam?" Suaranya lebih rendah, seakan takut dinding rumah sakit ini punya telinga.

"Iya, sayang… ada ibu kamu di dalam, ya?"

"Iya, Madam. Ada apa, Madam?"

Nada bicara Madam terdengar santai, tapi mengandung sesuatu yang sulit diartikan. "Itu… masalah uang bayaran kamu semalam. Madam akan transfer sisanya ke kamu. Tapi Madam potong komisi, ya?"

Tanpa pikir panjang, Malika mengembuskan nafas berat. "Madam ambil aja sisanya. Lika cuma mau minta sedikit, buat lunasin semua biaya di sini pas nanti Ibu Lika boleh pulang… sama sedikit untuk sewa kontrakan. Lika mau pindah kontrakan, Madam."

Hening. Hanya ada dengung samar di seberang.

Madam Deria merasakan dadanya sesak. Dalam pekerjaannya, ia sudah melihat ratusan gadis, tapi belum pernah bertemu yang seperti Malika. Kebanyakan akan langsung berbinar mendengar kata transfer dan bayaran, tapi gadis ini malah melepaskan sebagian besar uangnya, dan hanya mengambil seperlunya.

"Lika… kamu serius, sayang?" Suaranya kini lebih pelan, nyaris seperti bisikan.

"Iya, Madam. Bagi Lika, yang terpenting Ibu Lika bisa dioperasi dan sembuh. Madam udah banyak bantu Lika. Jadi itu hak Madam. Lika juga berterima kasih karena Madam kasih tamu yang belum menikah. Dia juga memperlakukan Lika dengan baik, anak buahnya bahkan nganter Lika pulang."

Madam terdiam lagi, pikirannya berputar. "Sejak kapan Tuan Alex memperlakukan gadis yang dibelinya dengan baik? Apalagi sampai minta anak buahnya mengantar pulang, ini baru pertama kali aku dengar."

"Madam masih di sana?" Suara Malika memecah lamunannya.

"I-ya, Lika… Madam masih di sini. Dengar, Madam udah ambil komisi. Sisanya Madam transfer sama kamu. Dan itu hak kamu, Lika. Tuan Alex bersedia membayar mahal karena kamu orangnya, dan tentunya bukan karena penampilan, tapi karena kamu berbeda."

"Tapi, Madam–"

"Madam nggak mau dengar alasan, Lika. Uang itu bisa kamu pakai untuk usaha kamu dan Ibumu. Supaya kamu nggak perlu kerja lagi, supaya kamu bisa jaga Ibu kamu dua puluh empat jam."

Kata-kata itu membuat Malika terdiam. Matanya terasa panas. "Kenapa Madam… baik sama Lika?"

"Karena kamu baik dan tulus, Lika. Aku tahu kamu sebenarnya nggak mau, tapi kamu terpaksa demi Ibu kamu. Itu cukup buat aku menghargai kamu."

Malika menutup mata, menahan air yang nyaris tumpah. "Terima kasih… Madam."

"Sama-sama, sayang. Kalau kamu butuh bantuan, cari Madam."

"Iya, Madam…"

Sambungan telepon berakhir, tapi Malika masih berdiri mematung di lorong rumah sakit, ponsel tergenggam erat di tangannya. Ia menatap lantai putih di bawah kakinya, mencoba memahami campuran rasa yang berputar di dadanya, rasa lega, takut, syukur, dan rasa bersalah yang tak mau hilang.

Dari balik pintu, ia bisa mendengar ibunya batuk kecil. Seketika, Malika menyeka matanya, menarik nafas panjang, lalu melangkah masuk lagi, dan menyembunyikan semua yang baru saja terjadi di balik senyum tipis yang ia perlihatkan pada ibunya. Ia kemudian membuka pintu.

Mira menatap putrinya begitu Malika kembali masuk, seolah mencoba membaca sesuatu di balik senyum itu. “Teman kamu baik ya Nak, masih mau nyari kabar.”

Malika hanya mengangguk, duduk kembali di kursi, dan meraih tangan ibunya. “Iya, Bu. Mereka baik.”

Padahal di kepalanya, suara Madam Deria masih bergema. “Tuan Alex membayar mahal karena kamu orangnya.” Pernyataan itu terus mengusik, membuat hatinya tak tenang.

Sejenak ia mengusap jemari ibunya, tapi pikirannya melayang. Terbayang wajah pria itu, dingin, berwibawa, namun entah kenapa, tatapannya kemarin sama sekali tak terasa seperti mata seorang pemangsa.

Malika menggigit bibirnya pelan. “Apa dia benar-benar membuangku?

Dentang jam di dinding kamar memecah lamunannya. Ia tersadar, lalu mengatur napas. Untuk sekarang, ia harus fokus pada satu hal, memastikan ibunya pulih. Soal Alex, ia akan melupakan pria itu. Dan untuk hutang ayahnya yang menumpuk, ia mungkin akan menggunakan uang yang ditransfer Madam Deria.

**********

Disisi lain… di salah satu perusahaan yang menjulang tinggi.

Tok.. tok.. tok

Suara ketukan pintu terdengar mantap, memecah keheningan ruang kerja Alex.

“Masuk?” Ucapnya tanpa menoleh.

Mark, tangan kanannya, melangkah masuk.

“Bos, ini ada undangan makan malam dari salah satu pengusaha sukses. Katanya, acaranya akan dihadiri beberapa orang penting.”

Alex mengangkat wajahnya. “Aku nggak akan datang. Nggak penting.”

Mark menarik nafas dalam. “Sepertinya Tuan Sam hendak mengenalkan Bos dengan putrinya.”

Alex mencibir. “Sudah kuduga.”

“Tapi bukan hanya itu saja Bos.”

Alex menaikkan alisnya.

Mark mendekat, menunduk, lalu berbisik di telinga Alex. Kata-kata itu membuat pupil mata Alex mengecil, nafasnya terhenti sesaat.

BRAK..

Alex menghantam meja kerjanya hingga pena dan dokumen berserakan.

“Kalau gitu aku akan datang.” Suaranya nyaris terdengar seperti geraman. “Permainan akan dimulai.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    58. Nyaman

    “Aku serius, Baby. Aku yang menggantikan peranmu untuk memenuhi kebutuhan Ibu.” Ucap Alex mantap.Malika terdiam. Matanya berkedip cepat, mencoba mengusir air mata yang hendak jatuh. Ia mendongak pelan, menatap wajah tegas suaminya yang terasa begitu dekat.Alex mengusap pelan pipinya dengan ibu jari. “Kita udah jadi satu, Baby. Uangku juga uangmu. Dan tanggung jawabmu juga tanggung jawabku.”Malika menelan ludah. Dadanya bergetar.“Jangankan untuk menanggung biaya hidup Ibu, bahkan membuat hidup Ibu mewah dan membelikan rumah dan segalanya untuk Ibu, aku juga sanggup, Baby.”Kemudian Alex tersenyum nakal.“Ibu makannya sedikit. Sangat gampang ditanggung.”Mira langsung tersenyum malu, sementara Malika memukul pelan lengan Alex.“Kamu ih…”Aku jujur sayang.” Alex terkekeh pelan. “Ibu terlalu makan sedikit. Ibu harus makan banyak biar cepat sembuh. Biar kita bisa bawa ibu menemui mantan suaminya yang tidak tahu diri itu.”Mira mengangguk, matanya berbinar penuh semangat.“Iya Nak Alex.

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    57. Bebanmu, Bebanku Juga

    “Alex, aku bisa sendiri…” Ucap Malika “Aku tahu.” Alex tersenyum tipis. “Tapi aku mau.”Dengan perlahan ia memotong steak Malika menjadi potongan kecil, tidak kasar seperti biasanya kalau ia makan sendiri. Setiap gerakan terlihat hati-hati dan lembut, seolah ia memegang sesuatu yang sangat penting.Malika menatapnya lama lalu menunduk, senyumnya muncul tanpa bisa ditahan.Xander melihat adegan itu. Dadanya hangat, hangat yang sangat jarang ia rasakan.Dalam hati, ia membisikkan sesuatu yang bahkan tidak ditujukan pada siapapun yang ada di ruangan itu.“Jose… putramu yang aku anggap anak kandungku, dia berubah. Lihat, Jose. Sekarang sudah ada senyum di wajahnya. Senyum yang dulu hilang sejak hari itu. Hari di mana kamu memutuskan untuk menyerah.”Tatapan Xander tertuju pada Alex yang kini menaruh piring berisi steak yang sudah dipotong di depan Malika.“Dia menemukan gadis baik, sederhana, polos, tapi tulus mencintainya. Dan putramu, dia juga mencintai gadis itu yang sekarang jadi ist

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    56. Kehangatan

    Kini, Alex mengangkat Malika dari pangkuannya dan membaringkannya di bathtub. Ia menatapnya dengan tatapan penuh cinta, seolah ingin mengabadikan setiap detail wajahnya."Aku mencintaimu, Malika," bisiknya tulus, lalu kembali mencium bibir Malika dengan lembut.Malika membalas ciuman Alex dengan penuh gairah. Ia melingkarkan tangannya di leher Alex, menariknya semakin dekat.Ciuman mereka semakin dalam dan intens, seolah menyalurkan semua rasa cinta dan has-rat yang selama ini mereka pendam. Tangan Alex semakin berani menjelajahi tubuh Malika, membuatnya semakin ber-gai-rah."Alex..." de-sah Malika lagi, saat Alex mulai menciumi payudaranya."Aku tahu kamu menginginkannya, Sayang," bisik Alex di telinga Malika, lalu kembali memberikan sentuhan-sentuhan yang membuatnya meremang.Malika tidak bisa menahan diri lagi. Ia membiarkan Alex menguasai tubuhnya, memberikan ke-nik-ma-tan yang tak terhingga. Ia merasa seperti melayang di awan, hanya ada dia dan Alex di dunia ini.Beberapa saat ke

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    55. Adegan Di Kamar Mandi

    Malika menatap lekat Alex.“Maksudnya? Aku nggak paham, Alex.” Alex mengalihkan pandangannya, selalu menghalang nafas sejenak, kemudian menjawab."Aku bukan orang biasa, Malika. Aku bukan hanya seorang CEO dan pemilik perusahaan, tapi aku juga punya bisnis gelap," ungkap Alex, akhirnya membuka semua rahasianya pada Malika. Ia ingin istrinya tahu siapa dia sebenarnya, tanpa ada yang ditutupi.Malika semakin kaget. Ia juga terlihat panik. Dunia yang selama ini ia impikan bersama Alex ternyata jauh dari kata aman dan bahagia."Apa kamu menyesal setelah tahu aku bukan orang baik?" selidik Alex, menatap Malika dengan tatapan intens. Ia takut Malika akan meninggalkannya setelah mengetahui kebenaran tentang dirinya.Malika menggeleng cepat. "Bukan itu, Alex. Aku sama sekali nggak menyesal. Aku juga nggak peduli mau kamu seorang mafia ataupun bukan. Karena aku tahu kamu punya alasan kenapa memilih jalan itu. Tapi aku takut, Alex. Aku takut kamu kenapa-kenapa," bebernya dengan wajah sedih. Ia

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    54. Bukan Orang Biasa

    Sinar mentari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden, menerangi kamar tidur dengan cahaya keemasan yang lembut. Malika menggeliat dalam tidurnya, merasakan kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya.Pandangannya tertuju pada sosok pria yang masih terlelap di sampingnya. Alex. Wajahnya terlihat damai dan tenang, jauh dari kesan dingin dan menakutkan yang biasa ia lihat. Malika tersenyum, mengusap lembut rambut Alex yang berantakan.Semalam, mereka telah menyatukan cinta mereka dalam keintiman yang tak terlupakan. Luka masa lalu seolah menghilang, tergantikan oleh harapan dan impian untuk masa depan yang lebih baik. Malika merasa bahagia dan aman berada di dekat Alex, pria yang kini telah menjadi bagian dari hidupnya.Perlahan, Alex membuka matanya, menatap Malika dengan tatapan yang penuh cinta. Ia tersenyum, lalu menarik Malika ke dalam pelukannya."Selamat pagi," bisiknya lirih, mencium kening Mal

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    53. Malam Pertama

    Malika diam sejenak. Tatapannya terpaku pada wajah Alex yang kini begitu dekat dengannya, mata yang dulu menakutkan, kini justru tampak lembut dan tulus. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu yang berdegup pelan tapi pasti di dada bidangnya.Dan entah kenapa, malam ini terasa berbeda. Malam ini bukan lagi tentang ketakutan atau paksaan seperti dulu. Bukan tentang ancaman, atau rasa putus asa yang membuatnya pasrah. Ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri yang sah, malam yang seharusnya lahir dari cinta, bukan luka.Alex menatap balik, ekspresinya ragu namun hangat. Jemarinya menyentuh lembut pipi Malika, ibu jarinya menyapu sisa air mata yang masih menggantung di sana.“Kalau kamu nggak mau… atau belum siap malam ini,” ucapnya lirih, suaranya nyaris seperti bisikan, “aku nggak apa-apa, Malika. Aku akan menunggu dan nggak akan maksa. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku benar-benar menginginkanmu bukan karena nafsu, tapi karena aku mulai mencintaimu.”Kata-kata itu membuat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status