Share

6. Diantar Pulang

Auteur: MessiAjh 02
last update Dernière mise à jour: 2025-08-13 09:56:37

“Kita sudah sampai, Nona.” Suara pengawal itu terdengar biasa saja, tapi di telinga Malika seperti gemuruh yang memukul keras.

DEG…

Tangannya yang memegang ujung kaosnya bergetar. Jantungnya berdegup begitu keras sampai ia merasa orang di kursi depan pun bisa mendengarnya. Rumah sakit yang biasanya menjadi tempat ia mencari harapan untuk kesembuhan ibunya, kini tampak seperti gedung raksasa yang siap menelanjangi semua aibnya.

“Ayo, Nona.”

Pria yang duduk di kursi penumpang depan ikut turun, lalu berdiri di samping Malika. “Biar saya antar sampai lantai rawatnya.”

Malika menoleh cepat. “Tidak usah repot-repot, Om. Aku bisa sendiri.” Suaranya pelan, sopan, tapi sarat dengan kegugupan.

Pria itu tersenyum samar. “Tuan Alex berpesan agar kami memastikan Nona sampai dengan selamat. Lagipula, sudah menjadi tugas kami.”

Nama itu, Alex, membuat hati Malika kembali berdegup keras. Ia memalingkan wajah, menghindari tatapan pria tersebut, lalu melangkah masuk ke lobi.

Pintu dibuka, dan hawa luar langsung menyergap kulitnya. Malika tetap duduk terpaku, jemari mungilnya meremas ujung kaosnya sampai memutih. Kakinya seolah bukan miliknya, itu terlalu berat, terlalu kaku.

“Aku kotor… bagaimana kalau Ibu tahu?

Ibu pasti kecewa punya anak kayak aku.” Batinnya

“Nona?” Suara pengawal itu kembali memanggil.

Dengan gerakan kaku, Malika akhirnya melangkah turun. Sepatu hak kecilnya menyentuh aspal pelan, tapi getaran itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Bau antiseptik samar yang terbawa angin membuatnya semakin mual.

Ia berjalan diapit dua orang pengawal, tapi langkahnya terseret. Di setiap jengkal perjalanan menuju lobi, kepalanya dipenuhi potongan gambar dari malam tadi, sentuhan itu, tatapan tajam itu, bisikan yang menelusup seperti racun. Nafas Malika memburu, matanya panas.

Tiba di depan pintu lobi, ia mendadak berhenti.

Pengawal di sampingnya menoleh. “Ada yang salah, Nona?”

Malika menelan ludah, suaranya tercekat. “Bisa… bisa tunggu sebentar?”

Pengawal itu mengangguk singkat. Malika memalingkan wajah, memejamkan mata rapat-rapat. Ia menarik nafas panjang, mencoba menghalau rasa jijik yang menempel di kulitnya seperti noda yang tak bisa hilang. Tapi semakin ia mencoba, semakin jelas ia merasakannya.

Bibirnya bergetar. “Aku… nggak pantas ketemu Ibu.” Bisiknya, nyaris tak terdengar.

Pengawal itu tidak bereaksi, mungkin tidak mendengarnya.

Akhirnya, dengan seluruh tenaga yang tersisa, Malika memaksa langkahnya masuk ke lobi. Suara tumit sepatunya terdengar jelas di lantai marmer, seakan menertawakan dirinya yang berusaha terlihat biasa-biasa saja.

Setiap tatapan perawat atau pengunjung yang berpapasan membuatnya gelisah, seolah mereka tahu apa yang telah terjadi padanya.

Saat lift terbuka, ia masuk tanpa menoleh. Jemarinya yang memegang paper bag dari Alex berkeringat dingin, tapi ia tak berani melepaskannya, tas itu seperti bukti hidup bahwa malam tadi bukan mimpi buruk, melainkan kenyataan pahit yang menodai dirinya.

Saat pintu lift terbuka di lantai tujuan, dadanya semakin sesak. Lorong rumah sakit yang seharusnya terasa hangat kini seperti lorong pengadilan, dan di ujungnya adalah sang hakim, yaitu ibunya.

Anak buah Alex menekan tombol. Sementara menunggu, ia melirik Malika yang masih saja menunduk. “Nona…,” panggilnya pelan. “Tuan Alex tidak pernah memerhatikan seseorang sampai menyuruh kami mengantar sampai tujuan. Biasa kami hanya mengantar keluar dari pintu hotel. Dan Nona satu-satunya yang Tuan Alex bawa ke apartemen. Anggap saja itu bentuk perhatian Tuan.”

Ucapan itu membuat Malika spontan mendongak. Ada keterkejutan di matanya, tapi ia buru-buru menatap lantai lagi. “Perhatian…? Gak mungkin.“ Gumamnya nyaris tak terdengar.

Setelah mereka keluar dari lift, Pria pengawal tadi menoleh pada Malika. “Sampai di sini, Nona. Semoga ibumu cepat sembuh.”

Malika menatapnya sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih udah nganter aku, Om..”

Pria itu mengangguk, lalu pergi. Malika menatap punggung pria itu hingga tak terlihat lagi, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar rawat ibunya.

Selang beberapa menit, Malika kini sudah berdiri tepat di depan pintu kamar rawat ibunya. Tangannya yang memegang gagang pintu terasa dingin dan lembap oleh keringat. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir gumpalan ketakutan di dadanya. Tapi semakin ia berusaha, semakin sesak rasanya.

“Kalau Ibu tahu aku sudah kotor… apa dia masih mau memelukku seperti dulu?” Batinnya

Ia mengedip cepat, berusaha menahan air mata. Baru setelah beberapa detik, ia memutar gagang pintu perlahan. Engsel pintu berdecit halus, dan cahaya lampu putih dari dalam kamar langsung menyambutnya.

Begitu pintu terbuka, pandangan Malika tertuju pada sosok yang terbaring lemah di ranjang pasien. Tubuh ringkih itu dibungkus selimut tipis, wajahnya pucat, bibirnya kering. Selang infus menancap di tangan kiri, dan alat monitor di samping ranjang mengeluarkan bunyi bip pelan yang stabil.

Dadanya seperti diremas. Rasanya sakit sekali melihat ibunya dalam keadaan seperti itu. Tanpa sadar, langkah kakinya mempercepat, seolah jarak antara mereka terlalu jauh untuk ditahan.

Kini ia sudah berdiri di samping ranjang, menatap wajah pucat ibunya yang terpejam. Dengan hati-hati, ia mengangkat tangannya, mengusap pelan lengan ibunya yang dingin.

“Bu… ini Lika, Bu. Lika udah pulang.” Ucapnya pelan, berusaha menahan suara yang bergetar.

Kelopak mata ibunya, Mira, perlahan terbuka. Tatapan lemah itu langsung mencari sumber suara. “Lika? Anak Ibu?” Suara itu lirih, nyaris seperti bisikan.

Malika mengangguk cepat, menelan rasa perih di tenggorokannya. “Iya, Bu. Ini Lika anak Ibu. Maafin Lika baru datang ya, Bu…” Ucapnya, sebelum akhirnya tangis yang ditahannya pecah. Ia menunduk, memeluk ibunya erat-erat, seakan takut sosok itu akan hilang jika ia longgarkan pelukannya.

Mira tersenyum tipis meski matanya berkaca-kaca. Air mata mengalir di pelipisnya. Tangan kanannya yang bebas bergerak lemah mengusap punggung putrinya. “Jangan minta maaf, Nak… Lika nggak salah. Ibu yang seharusnya minta maaf… karena selalu nyusahin Lika. Ibu selalu jadi beban untuk Lika.”

“Jangan bilang gitu, Bu…” Malika merenggangkan pelukan, kedua tangannya terangkat mengusap pipi ibunya, menghapus air mata itu dengan jemari yang gemetar. “Ibu nggak pernah nyusahin Lika… Ibu juga nggak pernah jadi beban buat Lika. Jangan ngomong gitu lagi, Bu.”

Mira menggeleng pelan. “Tapi itu kenyataannya, Nak. Ibu yang seharusnya bekerja, cari nafkah buat Lika, bukannya malah terbaring di sini, sakit-sakitan. Ibu nggak bisa apa-apa, malah bikin Lika repot. Jangankan bantu, malah menambah beban di pundak Lika.”

“Bu…” Suara Malika parau. “Tolong… jangan pernah berpikir kalau Ibu itu beban buat Lika. Sebagai anak, Lika yang harus mengurus Ibu. Itu tanggung jawab Lika, Bu. Lika tahu Ibu nggak mau ada di posisi ini. Ibu pasti ingin sehat, ingin bekerja, ingin membahagiakan Lika. Tapi… ini takdir, Bu. Dan Lika ikhlas. Lika cuma mau satu hal, Ibu tetap hidup, tetap ada di sisi Lika. Itu lebih dari cukup buat Lika.”

Tangis Mira pecah. “Lika…” Panggilnya lirih, sarat dengan rasa haru dan perasaan bersalah yang bercampur.

Malika menunduk lagi, memeluk ibunya erat-erat. “Jangan nangis lagi, Bu. Ibu nggak boleh mikirin hal-hal yang bikin sedih. Ibu harus kuat demi kita berdua. Kita pasti bisa lewati ini semua, Bu. Lika yakin. Selama kita bareng-bareng, kita pasti bisa.”

Mira memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh tanpa perlawanan. Pelukan hangat itu menjadi satu-satunya hal yang menguatkannya.

Sementara itu, di dada Malika, ada perih lain yang ia sembunyikan rapat-rapat. Perih yang tak sanggup ia ceritakan karena ia takut jika ibunya tahu, pelukan ini tak akan pernah sama lagi.

**********

Di sisi pria, anak buah Alex yang tadi mengantar Malika masuk ke rumah sakit, baru saja membuka pintu mobil setelah memastikan gadis itu selamat Samapi tujuan. Udara pagi yang mulai panas membuatnya menghela nafas sebentar, tapi belum sempat duduk dengan nyaman, dering ponsel memecah keheningan.

Ia buru-buru merogoh saku celananya. Begitu melihat nama yang tertera di layar, matanya langsung terbelalak sedikit. Tanpa menunda, ia menekan tombol hijau dan mengangkatnya.

“Halo, Tuan?” Sapanya sopan, dengan nada hati-hati.

Suara berat di seberang terdengar dingin namun penuh kendali. “Apa dia sudah sampai dengan selamat di rumahnya?” Nada Alex terdengar seperti biasa, singkat, tapi jelas ada lapisan keingintahuan yang disembunyikan di balik ketegasan itu.

“Sudah, Tuan,” jawab pria itu cepat. Ia ragu sepersekian detik, lalu menambahkan “Tapi… bukan di rumahnya, Tuan. Tapi di rumah sakit.”

Keheningan singkat menyusul. “Rumah sakit?” Suara Alex terdengar meninggi sedikit, seperti mencoba mengukur apakah informasi itu penting atau hanya kebetulan.

“Iya, Tuan.” Sahutnya lagi. “Nona itu meminta kami mengantarnya ke rumah sakit. Ibunya dirawat, Tuan. Sepertinya baru saja selesai operasi.” Ia melirik sekilas ke arah gedung rumah sakit, lampu-lampunya memantul di kaca mobil, memberikan kesan dingin dan kaku.

Di seberang, Alex terdiam beberapa detik. Nafasnya terdengar melalui sambungan, pelan tapi jelas. “Apa kalian yakin dia tidak berbohong? Bisa saja itu cuma akal-akalannya… supaya saya simpatik.”

Pria itu menelan ludah. “Kayaknya benar, Tuan. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Nona itu menunduk terus, jarang bicara dan terlihat ketakutan. Bukan ketakutan karena kita, tapi seperti takut ibunya tahu sesuatu yang dia sembunyikan.”

Hening lagi. Suasana di antara mereka seperti membeku.

“Baiklah.” Suara Alex kembali, kali ini lebih tenang tapi ada ketegasan yang menusuk. “Kalian coba selidiki untuk membuktikan. Tapi cukup dari jarak jauh saja. Jangan sampai dia merasa diawasi.”

“Siap, Tuan.”

Klik. Sambungan terputus.

Pria itu menyandarkan punggung sebentar, menghela nafas. Lalu, ia membuka pintu mobil dan masuk. Bau parfum mobil yang khas langsung menyeruak.

“Sepertinya Tuan Alex tertarik dengan gadis itu.” Ucapnya, mencoba memecah keheningan.

Pria yang duduk di depan kemudi meliriknya sekilas, lalu mengangguk tipis.

“Dari awal… aku sudah bisa lihat.” Sahutnya

“Apakah Tuan akan luluh pada seorang gadis kali ini?” Nada suaranya setengah bercanda, setengah penasaran.

“Kita lihat saja nanti.” Jawab si pengemudi singkat. Ia kemudian menyalakan mesin, deru mobil terdengar halus, lalu melaju perlahan meninggalkan halaman rumah sakit yang masih terang oleh lampu-lampu putih.

Sementara itu, di kamar rawat ibunya Malika, suasana terasa jauh berbeda, hangat tapi juga penuh ketegangan yang tak kasat mata. Malika baru saja menurunkan gelas dari bibir ibunya, memberi minum sedikit demi sedikit agar tidak tersedak. Ia tersenyum tipis, tapi hatinya berdegup tidak karuan saat merasakan tatapan ibunya yang terus mengamati dirinya dari ujung kepala hingga kaki.

“Baju sama celana kamu… cantik sekali, Nak.” Ujar ibunya pelan, tapi penuh rasa kagum.

Malika langsung merasakan dingin merayap di telapak tangannya. Jantungnya seperti berhenti sepersekian detik. Ia tahu, komentar sederhana itu bisa jadi awal dari pertanyaan yang tidak ingin ia dengar. Namun sebisa mungkin, ia memaksa wajahnya tetap santai.

“Iya, Bu.” Jawabnya sambil tersenyum. “Lika kemarin baru beli. Pas pulang kerja, Lika kehujanan, terus singgah di toko pakaian. Ini murah kok, Bu.”

“Maaf, Bu. Lika terpaksa bohong.” Batinnya bergetar.

Mira tersenyum, matanya berbinar. “Baju murah pun akan terlihat mahal kalau Lika yang pakai. Anak Ibu memang cantik.”

Malika mencoba tertawa kecil. “Makasih, Bu. itu karena Ibu juga cantik.”

Namun di dalam hati, pikirannya berbisik lirih. “Ini memang baju mahal, Bu. Anak buah pria yang membeli Lika yang ngasih ini.

Mira mengusap lembut selimut di pangkuannya, lalu menatap putrinya dengan tatapan lebih serius.

“Oh iya, Nak. Kata perawat, biaya operasi Ibu mahal, lebih dari 100 juta. Kalau boleh Ibu tahu, Lika dapat uang sebanyak itu dari mana?”

DEG…

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    6. Diantar Pulang

    “Kita sudah sampai, Nona.” Suara pengawal itu terdengar biasa saja, tapi di telinga Malika seperti gemuruh yang memukul keras.DEG…Tangannya yang memegang ujung kaosnya bergetar. Jantungnya berdegup begitu keras sampai ia merasa orang di kursi depan pun bisa mendengarnya. Rumah sakit yang biasanya menjadi tempat ia mencari harapan untuk kesembuhan ibunya, kini tampak seperti gedung raksasa yang siap menelanjangi semua aibnya.“Ayo, Nona.”Pria yang duduk di kursi penumpang depan ikut turun, lalu berdiri di samping Malika. “Biar saya antar sampai lantai rawatnya.”Malika menoleh cepat. “Tidak usah repot-repot, Om. Aku bisa sendiri.” Suaranya pelan, sopan, tapi sarat dengan kegugupan.Pria itu tersenyum samar. “Tuan Alex berpesan agar kami memastikan Nona sampai dengan selamat. Lagipula, sudah menjadi tugas kami.”Nama itu, Alex, membuat hati Malika kembali berdegup keras. Ia memalingkan wajah, menghindari tatapan pria tersebut, lalu melangkah masuk ke lobi.Pintu dibuka, dan hawa luar

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    5. Ternyata Masih Segel

    Di dalam kamar mandi, Malika masih berdiri di bawah shower. Air sudah mulai mendingin, tapi ia tak peduli. Tubuhnya basah kuyup, rambut panjangnya menempel di pipi dan punggung.Ia mengusap air matanya, meski air tetap mengalir. Nafasnya berat, dada sesak.“Setidaknya… Ibu bisa selamat. Lika nggak apa-apa rusak kayak gini, asalkan Ibu tetap hidup” Bisiknya, suaranya pecah.Beberapa menit kemudian, Malika keluar dari kamar mandi. Tangannya masih gemetar. Ia menggigit bibir menahan perih di tubuhnya.Ia melirik ke arah pakaiannya yang tergeletak di kursi. Tapi saat hendak memakainya kembali, suara berat Alex menghentikannya.“Jangan pakai itu! Ucap Alex, berdiri di dekat meja, mengenakan celana panjang hitam dan kemeja separuh dikancing.Malika membeku. “T-tapi… aku…”Alex meraih kaos hitam oversize miliknya dan melempar ke arahnya. “Pakai ini. Dan lepaskan dalamanmu. Aku nggak suka kau memakai pakaian tadi. Semuanya sudah kotor. Dan aku nggak suka kau memakai sesuatu yang disentuh pria

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    4. Tubuhmu, Milikku Sepenuhnya

    “Aku ingin menjadi luka pertamamu.”Jantung Malika seolah berhenti berdetak.Alex kemudian menggeser wajahnya, mengecup bi-bir Malika sekali. Hanya sekejap.Tapi cukup untuk membakar napasnya, cukup untuk meruntuhkan sisa pertahanan Malika.“Baiklah.” Suara Alex terdengar rendah, nyaris seperti geraman binatang lapar. “Karena kau lambat dan tidak tahu cara menyenangkanku, maka kali ini aku yang akan ambil kendali.”Nada suaranya begitu dingin, tanpa ampun, membuat tengkuk Malika meremang. Ia hanya mampu mengangguk, bibirnya menggigit dirinya sendiri, tubuhnya gemetar hebat.Tanpa memberi waktu untuk berpikir, Alex menarik keras pinggang Malika, menyeretnya lebih dekat, lalu melumat bi-birnya. Ciu-ma-nnya kasar, lapar, mendesak, tidak ada ruang untuk bernapas, tidak ada ruang untuk menolak.Malika nyaris terjatuh jika saja tangan Alex tak menahan punggungnya. Napasnya tercekat, jantungnya nyaris meledak.“Bi-bir-mu, lehermu. Ini hanya untukku, Baby.” Bisik Alex, suaranya parau penuh g

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    3. Jangan Tutupi

    Alex kini menggiring Malika masuk lebih dalam ke apartemen. Langkah kakinya pelan, tapi penuh wibawa.Setiap sudut ruangan tampak mahal, bergaya minimalis monokrom, jendela kaca besar menghadap gemerlap lampu kota.Mereka berhenti di depan sebuah pintu kamar. Alex membuka pintu itu perlahan, menyingkap kamar tidur utama yang luas. Tempat tidur king size dengan seprai hitam kelam, lampu gantung modern, dan aroma kayu mahal bercampur parfum maskulin yang membuat kepala Malika sedikit pusing.Malika berdiri kaku di ambang pintu, telapak tangannya basah oleh keringat dingin.“Masuk.” Ucap Alex pelan, nyaris berbisik, tapi justru membuatnya terdengar semakin mengancam.Malika menurut, langkahnya berat. Setiap sentimeter terasa menambah berat beban napasnya.Pintu kamar tertutup di belakang mereka. Kini hanya ada mereka berdua dan sunyi yang menekan dada Malika.Alex melepaskan dasi perlahan, matanya tak pernah lepas dari wajah Malika. Gerakannya santai, seperti harimau yang tahu mangsanya

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    2. Alexander Matteo, Pria Yang Membeliku

    Suasana di ruangan itu seketika membeku. Delapan pasang mata pria berjas mahal serempak mengarah pada Malika, memerangkapnya di tengah tatapan yang tak terucapkan, kagum, lapar, dan licik. Asap cerutu melayang tipis, menambah kelam aroma alkohol dan parfum maskulin. Musik lembut terdengar dari sudut ruangan, kontras dengan degup jantung Malika yang liar tak terkendali.Tubuh Malika menegang. Tangannya gemetar di sisi gaun satin yang membalut tubuhnya terlalu ketat. Napasnya tersengal, telapak tangannya dingin dan basah. Madam Deria melangkah setengah ke depan, meletakkan satu tangan di punggung Malika, seolah memperkenalkannya.“Para Tuan, dan Tuan Muda.” Suara Madam terdengar lembut, namun tegas, “inilah bunga malam ini. Malika. Masih segar, belum tersentuh siapa pun. Pertama, dan mungkin hanya malam ini untuknya.”Salah seorang pria berambut sedikit beruban menggerakkan bahunya, seolah malas menahan ketertarikan yang menguar di wajahnya.“Cantik, muda, body bagus dan kelihatan rapuh

  • Demi Ibu, Aku Jual Keperawanan    1. Demi Ibu, Aku Rela

    “Kau bahkan menangis saat kukoyak pertahananmu, Baby. Tapi tetap kau biarkan aku masuk, seperti tubuhmu tahu… ini memang tempatku.”Suara itu rendah, nyaris berbisik, namun membawa bara yang membakar pelan-pelan kulit Malika. Alex bicara seolah menancapkan tiap katanya ke dalam dada Malika yang bergetar hebat, di atas ranjang hotel mewah itu. Tubuhnya sendiri masih terasa mati rasa. Perih. Terluka. Tapi juga… hangat oleh kontradiksi yang tak sanggup ia pahami."Aku ingin menjadi luka pertamamu... dan yang tak bisa kau sembuhkan seumur hidupmu." Bisik Alex lagi, sebelum bi-birnya menyusuri pipi Malika yang basah air mata.Malam itu terasa panjang. Dunia seperti berhenti. Dan waktu hanya milik mereka berdua. Milik Malika yang kehilangan, dan milik Alex yang memetik bunga di musim duka.**********Beberapa jam sebelumnya…Langkah kaki Malika tergesa-gesa menapaki lorong rumah sakit, menembus aroma obat-obatan yang menusuk hidung. Nafasnya terengah, keringat membasahi pelipis meski malam

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status