“Kita sudah sampai, Nona.” Suara pengawal itu terdengar biasa saja, tapi di telinga Malika seperti gemuruh yang memukul keras.DEG…Tangannya yang memegang ujung kaosnya bergetar. Jantungnya berdegup begitu keras sampai ia merasa orang di kursi depan pun bisa mendengarnya. Rumah sakit yang biasanya menjadi tempat ia mencari harapan untuk kesembuhan ibunya, kini tampak seperti gedung raksasa yang siap menelanjangi semua aibnya.“Ayo, Nona.”Pria yang duduk di kursi penumpang depan ikut turun, lalu berdiri di samping Malika. “Biar saya antar sampai lantai rawatnya.”Malika menoleh cepat. “Tidak usah repot-repot, Om. Aku bisa sendiri.” Suaranya pelan, sopan, tapi sarat dengan kegugupan.Pria itu tersenyum samar. “Tuan Alex berpesan agar kami memastikan Nona sampai dengan selamat. Lagipula, sudah menjadi tugas kami.”Nama itu, Alex, membuat hati Malika kembali berdegup keras. Ia memalingkan wajah, menghindari tatapan pria tersebut, lalu melangkah masuk ke lobi.Pintu dibuka, dan hawa luar
Di dalam kamar mandi, Malika masih berdiri di bawah shower. Air sudah mulai mendingin, tapi ia tak peduli. Tubuhnya basah kuyup, rambut panjangnya menempel di pipi dan punggung.Ia mengusap air matanya, meski air tetap mengalir. Nafasnya berat, dada sesak.“Setidaknya… Ibu bisa selamat. Lika nggak apa-apa rusak kayak gini, asalkan Ibu tetap hidup” Bisiknya, suaranya pecah.Beberapa menit kemudian, Malika keluar dari kamar mandi. Tangannya masih gemetar. Ia menggigit bibir menahan perih di tubuhnya.Ia melirik ke arah pakaiannya yang tergeletak di kursi. Tapi saat hendak memakainya kembali, suara berat Alex menghentikannya.“Jangan pakai itu! Ucap Alex, berdiri di dekat meja, mengenakan celana panjang hitam dan kemeja separuh dikancing.Malika membeku. “T-tapi… aku…”Alex meraih kaos hitam oversize miliknya dan melempar ke arahnya. “Pakai ini. Dan lepaskan dalamanmu. Aku nggak suka kau memakai pakaian tadi. Semuanya sudah kotor. Dan aku nggak suka kau memakai sesuatu yang disentuh pria
“Aku ingin menjadi luka pertamamu.”Jantung Malika seolah berhenti berdetak.Alex kemudian menggeser wajahnya, mengecup bi-bir Malika sekali. Hanya sekejap.Tapi cukup untuk membakar napasnya, cukup untuk meruntuhkan sisa pertahanan Malika.“Baiklah.” Suara Alex terdengar rendah, nyaris seperti geraman binatang lapar. “Karena kau lambat dan tidak tahu cara menyenangkanku, maka kali ini aku yang akan ambil kendali.”Nada suaranya begitu dingin, tanpa ampun, membuat tengkuk Malika meremang. Ia hanya mampu mengangguk, bibirnya menggigit dirinya sendiri, tubuhnya gemetar hebat.Tanpa memberi waktu untuk berpikir, Alex menarik keras pinggang Malika, menyeretnya lebih dekat, lalu melumat bi-birnya. Ciu-ma-nnya kasar, lapar, mendesak, tidak ada ruang untuk bernapas, tidak ada ruang untuk menolak.Malika nyaris terjatuh jika saja tangan Alex tak menahan punggungnya. Napasnya tercekat, jantungnya nyaris meledak.“Bi-bir-mu, lehermu. Ini hanya untukku, Baby.” Bisik Alex, suaranya parau penuh g
Alex kini menggiring Malika masuk lebih dalam ke apartemen. Langkah kakinya pelan, tapi penuh wibawa.Setiap sudut ruangan tampak mahal, bergaya minimalis monokrom, jendela kaca besar menghadap gemerlap lampu kota.Mereka berhenti di depan sebuah pintu kamar. Alex membuka pintu itu perlahan, menyingkap kamar tidur utama yang luas. Tempat tidur king size dengan seprai hitam kelam, lampu gantung modern, dan aroma kayu mahal bercampur parfum maskulin yang membuat kepala Malika sedikit pusing.Malika berdiri kaku di ambang pintu, telapak tangannya basah oleh keringat dingin.“Masuk.” Ucap Alex pelan, nyaris berbisik, tapi justru membuatnya terdengar semakin mengancam.Malika menurut, langkahnya berat. Setiap sentimeter terasa menambah berat beban napasnya.Pintu kamar tertutup di belakang mereka. Kini hanya ada mereka berdua dan sunyi yang menekan dada Malika.Alex melepaskan dasi perlahan, matanya tak pernah lepas dari wajah Malika. Gerakannya santai, seperti harimau yang tahu mangsanya
Suasana di ruangan itu seketika membeku. Delapan pasang mata pria berjas mahal serempak mengarah pada Malika, memerangkapnya di tengah tatapan yang tak terucapkan, kagum, lapar, dan licik. Asap cerutu melayang tipis, menambah kelam aroma alkohol dan parfum maskulin. Musik lembut terdengar dari sudut ruangan, kontras dengan degup jantung Malika yang liar tak terkendali.Tubuh Malika menegang. Tangannya gemetar di sisi gaun satin yang membalut tubuhnya terlalu ketat. Napasnya tersengal, telapak tangannya dingin dan basah. Madam Deria melangkah setengah ke depan, meletakkan satu tangan di punggung Malika, seolah memperkenalkannya.“Para Tuan, dan Tuan Muda.” Suara Madam terdengar lembut, namun tegas, “inilah bunga malam ini. Malika. Masih segar, belum tersentuh siapa pun. Pertama, dan mungkin hanya malam ini untuknya.”Salah seorang pria berambut sedikit beruban menggerakkan bahunya, seolah malas menahan ketertarikan yang menguar di wajahnya.“Cantik, muda, body bagus dan kelihatan rapuh
“Kau bahkan menangis saat kukoyak pertahananmu, Baby. Tapi tetap kau biarkan aku masuk, seperti tubuhmu tahu… ini memang tempatku.”Suara itu rendah, nyaris berbisik, namun membawa bara yang membakar pelan-pelan kulit Malika. Alex bicara seolah menancapkan tiap katanya ke dalam dada Malika yang bergetar hebat, di atas ranjang hotel mewah itu. Tubuhnya sendiri masih terasa mati rasa. Perih. Terluka. Tapi juga… hangat oleh kontradiksi yang tak sanggup ia pahami."Aku ingin menjadi luka pertamamu... dan yang tak bisa kau sembuhkan seumur hidupmu." Bisik Alex lagi, sebelum bi-birnya menyusuri pipi Malika yang basah air mata.Malam itu terasa panjang. Dunia seperti berhenti. Dan waktu hanya milik mereka berdua. Milik Malika yang kehilangan, dan milik Alex yang memetik bunga di musim duka.**********Beberapa jam sebelumnya…Langkah kaki Malika tergesa-gesa menapaki lorong rumah sakit, menembus aroma obat-obatan yang menusuk hidung. Nafasnya terengah, keringat membasahi pelipis meski malam