Hari-hari Alena bekerja di perusahaan itu sebagai Cleaning Service berjalan lancar. Tidak ada masalah yang berarti selain beberapa CS dan OB senior yang kadang menyinyirnya secara halus. Atau kadang Alena yang mengeluh karena letih saking banyaknya pekerjaan yang dibebankan padanya setiap harinya. Tanpa terasa dua minggu sudah Alena bekerja di sini dengan shift bergilir, seminggu masuk pagi dan seminggu masuk siang. Gadis itu makin terbiasa dan paham dengan tugasnya. Minggu ini dia mendapat shift pagi. Saat ini gadis itu sedang menyapu lantai bagian lobi. Dan ketika dia memandang ke depan, dia terkejut melihat seorang pria berjas yang begitu dia kenali. Pria berjas itu tengah lewat di hadapannya dan menuju ruangannya. Alena membelalak tak menyangka. "Kok ada Kakek Bagas di sini?" Kakek Bagaskara kerja di sini?" Jeda sejenak dia teringat sesuatu. "Oh iya, dulu 'kan Ibu pernah bilang kalau Kakek Bagas kerja di kantor sebagai direktur. Apakah beliau direktur di perusahaan ini? Kemarin
"Ngapain pake topi segala?" "Gue takut di kenalin jadi gue mau nyamar gitu." Alena meringis. Dalam hatinya sedikit jengkel karena Mira banyak bertanya. Dia harap setelah ini Mira tidak bertanya lagi kenapa dia harus menyamar. "Pake topi ini aja, nih." Mira meraih topi yang terletak di atas meja entah milik siapa. Dan untungnya gadis itu tidak banyak bertanya lagi. "Topi siapa tuh?" "Topi Bang Sarkum pasti, nih. Diletakkan di sini. Pakai aja nanti gue bilangin ke orangnya." Bang Sarkum adalah Office Boy juga. Lelaki itu memang biasa memakai topi. "Iya, deh. Gue buat minum dulu. Apa nih? Teh hangat, ya?" "Iya." *** "Permisi." Alena mengetuk pintu ruangan yang terpampang tulisan Chief Executive Official dengan tangan sebelahnya membawa nampan berukuran sedang berisi dua cangkir teh hangat. Tak lama kemudian pintu dibuka dan menampakan seraut wajah gadis cantik. Alena tahu, dia adalah Alyssa. "OB nganterin minum, ya?" tanya Alyssa memastikan. Alena yang mengenakan masker plus top
"Oke, makasih, ya, Mir," ucap Alena ketika turun dari motor gadis bernama Mira itu. Belakangan terakhir sejak diganggu pereman Alena pulang diantar Mira, teman barunya itu. Seperti yang di sarankan Mbah Nani. Meskipun dia pulang sore seperti hari ini. Dia sungguh jera kejadian seperti malam itu terulang lagi. Dan hubungannya dengan teman barunya itu kian akrab tiap harinya. Alena tidak secanggung waktu pertama kali mengenal gadis itu. "Sama-sama," balas Mira sedikit berteriak di balik helm-nya dan langsung melajukan motornya menjauh dari kediaman Mbah Nani. Alena membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. "Assalamu'alaikum, Mbah." Alena mendapati orang tua itu duduk di kursi sofa sambil nonton acara televisi. Mbah Nani langsung mengalihkan pandangannya ke Alena. "Kamu udah pulang?" "Udah, Mbah. Mbah ini aku bawain pecel lele buat Mbah." Alena meninting bungkusan hitam berisi bungkusan pecal lele yang dia beli sepulang kerja tadi. "Terima kasih, Alena." "Eh, aku siapin di piring,
Pagi itu Alyssa menuruni tangga dengan semangat. Bagaimana tidak? Hari ini dia berangkat ke kampus bersama pujaan hatinya setelah seminggu mereka tak bertemu karena Andrio yang sibuk. Dan sekarang kekasihnya itu sudah menunggu di halaman rumahnya sejak sepuluh menit lalu. Itulah mengapa gadis berambut panjang itu terburu-buru. Sebelum pergi dia menghampiri orang tuanya--yang tengah sarapan di meja makan--untuk pamit. "Papi, Mami, aku pergi dulu, ya?" Alyssa menyalami tangan papinya yang tengah membaca koran--rutinitas sehari-harinya setiap pagi karena tak mau ketinggalan berita. "Kamu nggak sarapan dulu?" tanya Rista yang tengah menuang air ke gelas. "Aku nggak sarapan, Mi. Aku buru-buru. Udah ditungguin Kak Andrio soalnya." Alyssa lalu menyalami maminya dan mencium pipi wanita itu. "Aku duluan, ya, Mi, Pi." "Iya," sahut Bagas tanpa mengalihkan perhatiannya dari koran. "Tapi jangan lupa sarapan di kampus, ya?" pesan Rista. "Iya, Mi. Pasti. Dadah Papi, Mami." "Dadah, Sayang. Ha
Rista begitu syok sampai tidak bisa berkata-kata, bibirnya gemetar. "Bi-Bi-Bibi!" Dia terbata-bata memanggil asisten rumah tangganya. "Bibi!" Tergopoh-gopoh wanita bertubuh tambun itu mendatanginya dari dalam rumah. "Ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak?" wajah wanita paruh baya itu terlihat panik. Rista menunjuk ke arah kaca jendela di mana tulisan itu berada. "Tolong hapus tulisan itu. Hapus sebersih-bersihnya." Sang asisten memandang ke arah yang sama dan membelalak. "Astaghfirullah ... Siapa yang nulis itu, Bu?" "Saya nggak tahu. Kamu jangan banyak tanya! Cepat bersihkan saja tulisan itu!" "Iya, Bu, iya." "Dan ingat, Bi. Alyssa sama Bapak atau siapa pun jangan diberitahu, ya? Nggak ada yang boleh tahu tentang ini selain kita berdua. Paham, Bi?" "Tapi, Bu, masalah ini kayaknya serius. Ada orang yang mau menghancurkan keluarga ini. Sebaiknya Bapak perlu tahu." Rista menggeleng. "Untuk sementara mereka jangan tahu dulu. Janji, ya, Bi. Jangan kasih tahu mereka. Saya mau cari tahu
"Hai, Sayang." Rista mendatangi anaknya. Lalu menatap seseorang di samping anaknya. "Eh, ada Andrio." "Iya, nih, Mi." "Hai, Tante," sapa Andrio malu-malu. Lalu menyalami tangan ibu kekasihnya itu. "Mi, Kak Andrio makan siang bareng kita, boleh, 'kan?" Rista memandangi Alyssa dan tersenyum tenang. "Ya, boleh, dong, Sayang." Lalu menatap Andrio. "Kebetulan Tante lagi masak banyak, langsung aja, yuk ke ruang makan." Andrio memandangi Alyssa yang mengangguk. Lalu mereka mengiringi Rista ke ruang makan. Alyssa mengedar pandang pada masakan yang tersaji di atas meja makan berbentuk persegi panjang dan berukir itu. Di sana ada sup buntut dalam mangkok keramik besar. Ada ikan goreng Nila beserta lalap dan sambalnya di atas piring keramik. Ada perkedel kentang, cah kangkung dan ikan salmon goreng. Semuanya terlihat menggugah selera, menggelitik perutnya yang memang lapar sejak tadi. "Mami masak banyak banget?" Alyssa memandangi maminya sekilas lalu menarik kursi dan duduk. Andrio juga d
Tiga Bulan Lalu "Kak Andrio?" "Alyssa?" Andrio dan Alyssa saling menatap penuh tanya. Tak Andrio sangka, perempuan yang ingin papanya jodohkan dengannya adalah Alyssa. Dan sebaliknya, Alyssa sungguh tak menduga kalau lelaki itu justru Andrio, lelaki yang memang dia idamkan selama ini. Setelah bersusah payah membujuk Andrio untuk menghadiri pertemuan ini di kediaman Bagaskara, di bantu oleh Marissa, akhirnya Andrio menyetujui pertemuan ini. Andrio tidak bisa menolak jika mamanya sudah angkat bicara. "Kalian sudah saling kenal?" heran Putra, menatap Andrio dan Alyssa bergantian. Begitu pun Marissa, Bagaskara, dan Rista yang berkumpul di ruang tamu nan luas itu. "Dia kakak tingkat aku di kampus," jawab Alyssa. Raut keheranan yang sempat tercipta di wajahnya berubah menjadi senyum senang. Kontras dengan wajah Andrio yang tampak biasa saja. "Oh, bagus kalau begitu. Lagi-lagi kebetulan yang luar biasa," jawab Putra. "Ya, perjodohan ini akan berjalan lancar karena kalian sudah saling
Alyssa mengamati pertengkaran Andrio dan orang tuanya dengan air mata berlinang. Dadanya sesak. Sakit sekali rasanya melihat lelaki yang dia harapkan justru mencampakkannya. Bahkan lelaki itu mempermalukannya di depan keluarganya dengan menolaknya mentah-mentah. "Kak Andrio, gue bakal buat lo nyesel," gumamnya di sela isak tangis. Lalu gadis bergaun putih itu kembali menghampiri orang tuanya. "Papi ...." Alyssa menghambur di pelukan Bagaskara sembari terisak. "Aku sayang banget sama Kak Andrio. Selama ini dia sosok yang aku idamkan. Papi tahu kenapa selama ini aku ngejomlo? Karena aku selalu nungguin Kak Andrio nembak aku, Pi." Alyssa meluapkan isi hatinya di dada bidang sang ayah. Bagaskara balas membelai bahu Alyssa lembut. "Iya, nanti Papi coba bujuk Andrio, ya, kamu tenang aja jangan nangis ...." Kemudian Bagas melepas pelukan putrinya. "Kamu masuk dulu sama Mami. Biar ini Papi yang urus." Alyssa mengangguk. Namun, ketika Bagas menghampiri orang tua Andrio, Alyssa bukannya ma