Pagi itu Alyssa menuruni tangga dengan semangat. Bagaimana tidak? Hari ini dia berangkat ke kampus bersama pujaan hatinya setelah seminggu mereka tak bertemu karena Andrio yang sibuk. Dan sekarang kekasihnya itu sudah menunggu di halaman rumahnya sejak sepuluh menit lalu. Itulah mengapa gadis berambut panjang itu terburu-buru. Sebelum pergi dia menghampiri orang tuanya--yang tengah sarapan di meja makan--untuk pamit. "Papi, Mami, aku pergi dulu, ya?" Alyssa menyalami tangan papinya yang tengah membaca koran--rutinitas sehari-harinya setiap pagi karena tak mau ketinggalan berita. "Kamu nggak sarapan dulu?" tanya Rista yang tengah menuang air ke gelas. "Aku nggak sarapan, Mi. Aku buru-buru. Udah ditungguin Kak Andrio soalnya." Alyssa lalu menyalami maminya dan mencium pipi wanita itu. "Aku duluan, ya, Mi, Pi." "Iya," sahut Bagas tanpa mengalihkan perhatiannya dari koran. "Tapi jangan lupa sarapan di kampus, ya?" pesan Rista. "Iya, Mi. Pasti. Dadah Papi, Mami." "Dadah, Sayang. Ha
Rista begitu syok sampai tidak bisa berkata-kata, bibirnya gemetar. "Bi-Bi-Bibi!" Dia terbata-bata memanggil asisten rumah tangganya. "Bibi!" Tergopoh-gopoh wanita bertubuh tambun itu mendatanginya dari dalam rumah. "Ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak?" wajah wanita paruh baya itu terlihat panik. Rista menunjuk ke arah kaca jendela di mana tulisan itu berada. "Tolong hapus tulisan itu. Hapus sebersih-bersihnya." Sang asisten memandang ke arah yang sama dan membelalak. "Astaghfirullah ... Siapa yang nulis itu, Bu?" "Saya nggak tahu. Kamu jangan banyak tanya! Cepat bersihkan saja tulisan itu!" "Iya, Bu, iya." "Dan ingat, Bi. Alyssa sama Bapak atau siapa pun jangan diberitahu, ya? Nggak ada yang boleh tahu tentang ini selain kita berdua. Paham, Bi?" "Tapi, Bu, masalah ini kayaknya serius. Ada orang yang mau menghancurkan keluarga ini. Sebaiknya Bapak perlu tahu." Rista menggeleng. "Untuk sementara mereka jangan tahu dulu. Janji, ya, Bi. Jangan kasih tahu mereka. Saya mau cari tahu
"Hai, Sayang." Rista mendatangi anaknya. Lalu menatap seseorang di samping anaknya. "Eh, ada Andrio." "Iya, nih, Mi." "Hai, Tante," sapa Andrio malu-malu. Lalu menyalami tangan ibu kekasihnya itu. "Mi, Kak Andrio makan siang bareng kita, boleh, 'kan?" Rista memandangi Alyssa dan tersenyum tenang. "Ya, boleh, dong, Sayang." Lalu menatap Andrio. "Kebetulan Tante lagi masak banyak, langsung aja, yuk ke ruang makan." Andrio memandangi Alyssa yang mengangguk. Lalu mereka mengiringi Rista ke ruang makan. Alyssa mengedar pandang pada masakan yang tersaji di atas meja makan berbentuk persegi panjang dan berukir itu. Di sana ada sup buntut dalam mangkok keramik besar. Ada ikan goreng Nila beserta lalap dan sambalnya di atas piring keramik. Ada perkedel kentang, cah kangkung dan ikan salmon goreng. Semuanya terlihat menggugah selera, menggelitik perutnya yang memang lapar sejak tadi. "Mami masak banyak banget?" Alyssa memandangi maminya sekilas lalu menarik kursi dan duduk. Andrio juga d
Tiga Bulan Lalu "Kak Andrio?" "Alyssa?" Andrio dan Alyssa saling menatap penuh tanya. Tak Andrio sangka, perempuan yang ingin papanya jodohkan dengannya adalah Alyssa. Dan sebaliknya, Alyssa sungguh tak menduga kalau lelaki itu justru Andrio, lelaki yang memang dia idamkan selama ini. Setelah bersusah payah membujuk Andrio untuk menghadiri pertemuan ini di kediaman Bagaskara, di bantu oleh Marissa, akhirnya Andrio menyetujui pertemuan ini. Andrio tidak bisa menolak jika mamanya sudah angkat bicara. "Kalian sudah saling kenal?" heran Putra, menatap Andrio dan Alyssa bergantian. Begitu pun Marissa, Bagaskara, dan Rista yang berkumpul di ruang tamu nan luas itu. "Dia kakak tingkat aku di kampus," jawab Alyssa. Raut keheranan yang sempat tercipta di wajahnya berubah menjadi senyum senang. Kontras dengan wajah Andrio yang tampak biasa saja. "Oh, bagus kalau begitu. Lagi-lagi kebetulan yang luar biasa," jawab Putra. "Ya, perjodohan ini akan berjalan lancar karena kalian sudah saling
Alyssa mengamati pertengkaran Andrio dan orang tuanya dengan air mata berlinang. Dadanya sesak. Sakit sekali rasanya melihat lelaki yang dia harapkan justru mencampakkannya. Bahkan lelaki itu mempermalukannya di depan keluarganya dengan menolaknya mentah-mentah. "Kak Andrio, gue bakal buat lo nyesel," gumamnya di sela isak tangis. Lalu gadis bergaun putih itu kembali menghampiri orang tuanya. "Papi ...." Alyssa menghambur di pelukan Bagaskara sembari terisak. "Aku sayang banget sama Kak Andrio. Selama ini dia sosok yang aku idamkan. Papi tahu kenapa selama ini aku ngejomlo? Karena aku selalu nungguin Kak Andrio nembak aku, Pi." Alyssa meluapkan isi hatinya di dada bidang sang ayah. Bagaskara balas membelai bahu Alyssa lembut. "Iya, nanti Papi coba bujuk Andrio, ya, kamu tenang aja jangan nangis ...." Kemudian Bagas melepas pelukan putrinya. "Kamu masuk dulu sama Mami. Biar ini Papi yang urus." Alyssa mengangguk. Namun, ketika Bagas menghampiri orang tua Andrio, Alyssa bukannya ma
"Alhamdulillah, gue baik. Aman kok semuanya aman." Alena sedang bertelepon dengan Farah sambil menelungkup di atas ranjang dan memeluk guling. "..." "Ada, namanya Mira. Hmm dia baik sih orangnya. Gue pulang kerja diantar dia." "..." "Iya, soalnya motor peninggalan Ibu gue udah gue jual lagi butuh duit banyak dan gue belum gajian." "..." "Nggak pa-pa lah. Do'ain gue dapat rezeki biar bisa beli motor baru." "..." "Ya, nggak juga. Sahabat gue tetap lo kok nomor satu. Nggak akan terganti." Alena tertawa. "..." "Yeee ... Gue serius, nih." "..." "Iya, iya. Kapan-kapan kita ketemuan, ya. See you." Sambungan terputus. Alena tersenyum menatap layar ponselnya. Setelah lama tak bertemu, perasaan Alena sedikit lega karena sudah bertukar kabar dengan sahabatnya meskipun hanya lewat telepon. Sebenarnya dia ingin sekali bertemu langsung dengan Farah, tapi keadaan belum memungkinkan. Farah masih disibukkan dengan tugas kuliahnya. Setelah meletakan ponselnya di atas meja, pikiran Alena
From 08953477xxxx:Alena, ini gue Andrio. Sorry baru bisa chat sekarang. Hmm lagi ngapain?Alena pun mengetik.Nggak pa-pa. Lg habis teleponan sm Farah. Mau tidur jg, tapi pas lihat chat lo nggak jadi, deh.Kenapa nggak jd? Maaf ya gue ganggu Minta maaf muluk dari tadi. Gue mah seneng lo chat gue.Setelah mengirimkan chat tersebut, Alena membaca ulang pesannya. Dan sedikit membelalak. "Kok gue bilang seneng, sih? Tarik aja, deh." Alena baru akan menarik pesannya ketika centang dua pada pesan tersebut berubah biru. "Duh udah di baca lagi." Dia pun pasrah menatap tulisan mengetik pada pesan Andrio.Seriusan seneng gue chat?
"Cewek yang gue suka adalah ... siswi kelas XII IPS 4. Namanya ... Alena!" Kalimat itu selesai terucap bersamaan dengan Alena menghentikan langkahnya di tepi lapangan yang sudah ramai murid-murid berkumpul. Alena menyadari dirinya terlambat menghentikan aksi lelaki itu. "Gila. Andrio beneran nekat," gumamnya. Sepersekian dektik kemudian siswi-siswi yang berdiri di sampingnya menoleh ke arahnya. "Cowok lo tuh. Kayaknya dia mau nembak lo," celetuk siswi itu. "Iya," sahut siswi yang disebelahnya. "Mending lo samperin gih." Alena hanya diam, melirik siswi-siswi itu sekilas. Tatapannya kini terfokus pada Andrio yang berdiri di tengah lapangan sana sembari memegangi toa. Andrio menyadari kehadiran Alena dan langsung tersenyum ke arah gadis itu. Dan mendekatkan toa ke mulutnya lagi. "Alena gue cinta sama lo! Gue sayang sama lo. Gue mau lo jadi pacar gue!" teriaknya sambil matanya tak lepas dari melirik Alena. Seluruh pasang mata yang ada di lapangan itu menatap Alena yang sudah membatu