Share

3. Berkabung

Rumah kecil nan sederhana itu mendadak ramai oleh para tetangga yang melayat. Halaman rumah yang tak begitu luas di penuhi sandal jepit dan beberapa motor. Bendera kuning di mana-mana. Sayup-sayup suara bacaan Yasin terdengar. Menandakan penghuni rumah itu sedang berduka.

Berdasarkan pernyataan dokter Leyla meninggal karena sel kanker yang tumbuh di paru-parunya telah menyebar dan merusak ke bagian tubuhnya yang lain. 

Kali pertama mendengar itu Alena begitu syok. Pasalnya selama ini dia tidak tahu kalau ibunya ternyata menderita penyakit mematikan. Selama ini ibunya menyembunyikan penyakit itu darinya. Alena sangat terpukul menyesali semua yang terjadi. Seandainya dia mengetahui hal itu dan ibunya segera ditangani mungkin keadaannya tidak seperti ini. Mungkin ibunya tidak akan meninggal secepat ini. Karena dia akan melakukan apa pun agar dia punya uang untuk berobat ibunya sampai sembuh. Dan kini penyesalan itu tiada arti.

Di tengah rumah, Alena menangis histeris di depan jenazah sang ibu yang terbujur kaku berselimut kain batik dan dikelilingi para pelayat yang membacakan Yasin.

Farah  di sisi Alena masih berusaha menenangkannya. Meminta Alena untuk tenang dan ikhlas, namun, Alena tak mendengarkan itu seolah tuli. Rasanya dia tak percaya dengan keadaan sekarang. Dia harap semua itu hanya mimpi yang tak lama lagi dia akan terbangun dan semuanya kembali baik-baik saja.

Rasanya baru tadi pagi dia melihat ibunya tersenyum melepas kepergiannya ke kantor. Dia juga sudah berkhayal membayangi wajah bahagia ibunya mendengar kabar dia diterima bekerja di perusahaan, meskipun hanya sebagai CS. Dia senang karena bisa membantu ibu hingga ibunya tak perlu bekerja jadi ART lagi. Namun, kenyataannya berbanding terbalik. Pulang-pulang dia mendengar kabar yang tak pernah dia duga sebelumnya.

"Jenazahnya harus segera dimandikan, Dek."

Farah menatap tukang mandi jenazah itu.  "Silakan, Bu," jawabnya akhirnya.

"Al, jasad Ibu lo harus dimandiin, udah, Al," bisik Farah berusaha menjauhkan Alena dari jasad ibunya. Jenazah itu pun dibawa untuk dimandikan. Farah memeluk Alena yang masih menangis.

***

Pada proses pemakaman jenazah Leyla, Alena masih setia menangis. Sampai jenazah Leyla sudah berada di liang kubur dengan tubuh miring ke kanan menghadap kiblat. Lalu tubuh itu mulai di curahi tanah sedikit demi sedikit. Melihat itu, tangis Alena semakin pecah.

Dia belum siap ditinggal ibunya. Selama ini dia hanya tinggal bersama ibunya. Hanya berdua. Tidak ada siapa-siapa lagi yang dia punya. Alena tak sanggup membayangkan bagaimana bisa dia melanjutkan hari-harinya ke depan tanpa ibu.

Saat liang itu sudah tertutup sempurna bersama batu nisan yang ditancapkan, Alena tiba-tiba bertekuk lutut di depan gundukan tanah itu, berteriak memanggil ibunya.

"Ibu! Jangan tinggalin aku, Bu! Aku mau ikut Ibu aja!"

Farah terkejut melihat aksi Alena. Juga para pelayat yang ada di sana. Farah ikut berjongkok di samping sahabatnya. "Al, jangan begini, Al. Kasihan Ibu lo."

Alena memandangi para pelayat yang berusaha mencegah aksinya. "Buka kuburannya! Aku mau ikut Ibu!" Tangannya meremasi butiran tanah kuburan itu tak peduli dengan tangannya yang hitam dan kotor.

Di saat yang sama, keluarganya muncul di antara keramaian.

"Alena." 

Alena yang tengah histeris serta merta menatap ke sumber suara. Dia melihat Nenek dan Paman Wijaya. Bahkan di sana juga ada kakek tirinya. Mereka mengenakan pakaian hitam-hitam. Dari balik tudungnya, wajah nenek terlihat sangat sedih. Juga rasa penyesalan yang tampak di wajah paman dan kakeknya. Dan Alena benci melihat itu.

Alena berdiri. "Mau apa kalian?!" Matanya menatap tajam wajah-wajah itu. Reaksi Alena yang di luar dugaan membuat ketiganya terkejut bukan main.

"Alena, kenapa kamu bertanya seperti itu?" Wijaya angkat bicara, tak suka melihat sikap Alena yang tidak pantas. "Kedatangan kami di sini jelas berbela sungkawa atas perginya Mbak Leyla."

"Ibu meninggal gara-gara kalian!" pekik Alena. "Selama ini Nenek tidak pernah peduli dengan Ibu sampai akhirnya Ibu meninggalkan aku!!"

"Al, tenang ..." Farah menyentuh bahu Alena, tapi Alena menepisnya.

"Aku nggak tahu apa yang membuat kalian begitu membenci Ibu. Mungkin karena hidup kami miskin hingga kalian tidak mau menganggap Ibu yang hanya beban dalam hidup kalian selama ini! Sekarang Ibu sudah meninggal, sudah tidak ada lagi beban dalam hidup kalian!"

"Maafkan kami, Alena," ucap neneknya, Rina, sembari menangis. "Selama ini kami tidak memperhatikan kamu dan ibumu, tapi jujur, Nenek--"

"Pergi kalian! Aku nggak mau liat kalian di sini! Pergi!" Alena berteriak seperti orang kesetanan sambil menunjuk-nunjuk arah keluar makam. Tak peduli dengan pandangan dan pikiran orang-orang tentangnya.

Akhirnya dengan berat hati, nenek Rina mengalah. Bersama anak dan suaminya, dia pergi dengan hati hancur akibat perlakuan cucu kandungnya.

Sepeninggal mereka lagi-lagi Alena jatuh pingsan.

***

"Innalillahi wa'inailaihi raji'un ... Sakit apa, Mbak? Oh ... kami turut berduka cita, ya, Mbak? Maaf kami nggak bisa datang. Mas Bagas lagi ke luar negeri nggak bisa tinggalkan pekerjaannya. Sampaikan salam kami buat keluarga dan anaknya, Alena. Untuk uang pasongan, nanti aku kirim. Iya, Mbak. Sama-sama, Mbak."

"Kenapa, Rista?"

Bagas baru saja mendengar Rista bertelepon. Dari panggilannya sepertinya dari Rina, kakak iparnya. Dan setelah telepon itu berakhir, beliau menghampiri Rista yang duduk di sofa ruang tengah dan bertanya.

Rista berdiri dari duduknya. "Mbak Rina menyampaikan berita duka. Leyla meninggal, Mas ...."

"Innalillahi ...," ucap Bagas spontan. "Kok bisa?"

"Sakit kanker paru-paru, Mas."

"Astagfirullahaladzim ...."

Bagas mendadak kepikiran Alena. Bagaimana pun Alena adalah anaknya. Anak kandungnya. Bagaimana pun dia menampikkan hal itu, dia tetaplah ayak biologis Alena sampai kapan pun. Dan tidak ada yang bisa mengubah fakta itu, sekali pun istrinya sendiri.

Bagaimana nasib anak itu jika ibunya sudah tiada? Rista bahkan telah berbohong dengan mengatakan dirinya ke luar negeri dan sibuk padahal tidak sama sekali.

"Kenapa, Mas? Jangan bilang kamu mau jengukin mereka. Mau ikut melayat? Mau jenguk anakmu? Atau mau kasih duit? Aku udah bilang ke Mbak Rina tadi. Nanti bakal aku transfer ke Mbak Rina. Beres, 'kan?"

"Ris, Alena gimana? Siapa yang urus dia? ibunya udah nggak ada."

"Mbak Rina, 'kan, ada. Mbak Rina nggak mungkin biarin cucunya. Alena pasti sama Mbak Rina. Lagian Alena udah besar, Mas. Udahlah kamu nggak perlu mikirin itu. Dan nggak usah bahas-bahas itu lagi. Nanti Alyssa dengar malah runyam." Rista berlalu dari hadapan suaminya, masuk ke kamar.

Sementara Bagas di tempatnya masih termangu. Mencerna semua yang terjadi. 

Dan bagaimana mungkin dia berdiam diri saja mengetahui anaknya telah sebatang kara.

Bagas memang sudah sangat lama tidak mengunjungi Alena dan Leyla. Terakhir, waktu Alena berumur lima tahun. Dan setiap kali mengunjungi mereka, Bagas pasti memberi uang ke Leyla. Kadang juga via transfer jika Bagas tak sempat menemui mereka. Sampai akhirnya Leyla melarang Bagas untuk menemuinya lagi.

"Aku minta kamu nggak usah datang-datang lagi ke sini, Mas."  Masih Bagas ingat jelas kata-kata Leyla waktu itu.  "Aku nggak mau ada salah paham. Lagi pula kami nanti mau pindah dari rumah ini. Dan kamu jangan coba-coba hubungi aku lagi."

Bagas pikir, omongan Leyla waktu itu tidak serius, tapi ternyata ketika Bagas mendatangi lagi kontrakannya, rumah itu sudah kosong. Leyla dan Alena benar-benar pindah. Dan Bagas tak tahu mereka pindah ke mana.

Beberapa hari setelah kepergian Leyla yang entah ke mana, Rista mendapati bukti transfer Bank di saku jas kerja Bagas. Yang mana itu adalah bukti transferan Bagas ke Leyla. Hal itu membuat Rista marah besar dan menuntut penjelasan.

Bagas tak punya pilihan selain mengaku kalau selama ini diam-diam dia masih menghubungi Leyla dan mengiriminya uang lewat transfer Bank. Tapi dia melakukan itu semua semata-mata karena Alena. Dia ingin mengetahui kabar Alena, ingin Alena mendapat penghidupan dan makanan yang layak. Namun, apa pun alasannya, Rista tetap tidak terima.

Sempat mereka bersitegang. Bertengkar hebat. Bahkan Rista sempat mendiamkan Bagas selama seminggu.

Tak mau kejadian itu terulang lagi, Bagas berjanji ke Rista kalau dia tidak akan menghubungi Leyla dan Alena lagi, apa lagi memberi uang.

Hingga sampai saat ini, Bagas tidak pernah mencoba mencaritahu keadaan Leyla dan Alena. 

Namun, ketika mengetahui Leyla telah meninggal, dia ragu dengan keputusannya yang dia buat belasan tahun lalu itu.

Aprillia D

Sedih nggak sih? :(

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status