Share

4. Mengingat Masa Lalu

"Anak haram, Alena anak haram."

"Woi ada anak haram woi ada anak haram!"

Begitu anak-anak komplek mengatainya setiap kali dia bergabung untuk main bersama mereka. Tak jarang Alena di jauhi oleh teman-teman sebayanya di komplek karena julukan yang melekat pada dirinya yang dia sendiri masih belum mengerti apa sebabnya. 

Kadang Alena menjawab. "Aku bukan anak haram!"

Lalu salah satu anak komplek menjawab. "Tapi kata Mama aku, kamu anak haram. Buktinya Bapak kamu nggak ada."

"Iya, aku nggak pernah lihat Bapak kamu di rumah kamu. Kamu aja nggak tahu 'kan Bapak kamu siapa dan di mana? Itu artinya kamu memang anak haram yang bapaknya nggak jelas!" sahut anak yang lainnya.

"Aku tahu. Kata Ibu aku, Bapak aku sibuk kerja di luar negeri," jawab Alena.

"Bilang aja Bapak kamu memang nggak ada. Nggak usah cari alasan sibuk kerja ke luar negeri segala!" balasnya lagi sambil tertawa hingga bahunya berguncang-guncang.

Dan ketika Alena kalah debat sama mereka, ujung-ujungnya Alena menangis dan lari masuk ke rumah mengadu ke ibunya.

Kenapa teman-temannya selalu mengatainya anak haram? 

Ibunya menjawab. "Jangan dengarkan mereka. Mereka nggak tahu apa-apa tentang kita. Bapakmu memang sibuk kerja cari duit buat kita di sini. Saking sibuknya beliau nggak punya waktu buat jengukin kita."

Tentu saja Alena lebih percaya apa kata ibunya dibanding teman-temannya.

Namun, seiring berjalannya waktu ketika Alena beranjak dewasa, tepatnya SMP, ibunya baru mengatakan sebenarnya ayahnya telah lama meninggalkan ibu dan ibu tak tahu keberadaan ayah sekarang.

Ada rasa sedih setiap kali mengingat itu. Ternyata ibunya berbohong selama ini. Jujur, sebenarnya dia kecewa. Kenapa ibunya tak berterus terang sejak dulu kalau kakek Bagaskara adalah ayahnya?

Pantas saja selama ini dia merasakan ikatan batin antara dia dan kakek Bagaskara saat mereka sesekali ketemu pada acara kumpul keluarga di rumah Moyang Karla. Ada perasaan aneh yang tak bisa dia jelaskan tiap kali dekat dengan pria itu. Dia merasa sangat dekat lebih dari seorang cucu terhadap kakeknya. Dulu, dia tak mengerti kenapa. Sekarang dia tahu, ternyata pria itu adalah ayah kandungnya.

Mungkin inilah rahasia besar yang selama ini keluarganya sembunyikan darinya. Mungkin karena kesalahan itu pula ibunya dibuang dan tak dianggap oleh keluarganya sendiri sampai-sampai hidup ibunya menderita. Ibunya menderita karena memperjuangkan dirinya.

Air mata yang tadi telah mengering kembali membasahi pipi. "Ibu ...." Alena tergugu mengingat ibunya. Mengingat penderitaan yang ibunya alami selama ini dan sampai ibunya meninggal, ibunya belum juga bahagia.

Ucapan ibunya sebelum meninggal kembali terngiang.

"Intinya Bagaskara adalah Ayah kandung kamu. Ibu tidak menikah dengannya karena ulah Rista. Rista itu jahat! Sangat jahat! Dia yang sudah merebut Ayah kamu dari Ibu! Dia wanita manipulatif, munafik." 

Terbayang olehnya sosok nenek Rista yang selama ini terlihat baik di hadapannya. Ternyata sikap wanita itu di depannya dengan di belakangnya berbeda. Alena tidak tahu seberapa jahat Rista. Namun, mengingat raut wajah ibunya yang menyebutkan 'Rista jahat' sepertinya apa yang pernah dilakukan wanita itu terhadap ibunya begitu kejam.

"Al, makan, yuk?"

Panggilan Farah membuyarkan lamunannya. Farah masuk ke kamar Alena sembari membawa nampan berisi piring dan gelas minum. Tapi Alena masih diam seribu bahasa, duduk termenung di atas tempat tidur.

Sejak semalam sampai siang ini tak ada sesuap makanan masuk ke perutnya. Alena hanya berdiam diri, termenung memikirkan banyak hal, menangis tanpa henti. Wajahnya bahkan sudah seperti zombie. Bibirnya pucat. Lingkaran hitam di matanya terlihat kentara.

Hari ini hari pertama ibunya tiada di rumah. Alena tak sanggup membayangkan hari-harinya setelah ini.

Farah meletakkan nampan itu di atas nakas, lalu dia duduk di samping Alena. "Al, makan, gue suapin, ya?" Farah mengambil piring dari atas nampan. Ada nasi, sayur, dan sepotong ayam goreng. Lauk sisa tahlilan tadi malam. Farah memotong bagian ayam gorengnya yang tak bertulang dengan sendok dan menciduk nasi serta sayur. Mengulurkannya ke mulut Alena yang terkatup rapat. Gadis itu masih bergeming. "Al."

Gadis itu menggeleng.

Farah menghela napas. "Dari semalam lo nggak makan apa-apa, kalau lo terus kayak gini, bisa-bisa lo sakit, Al.  Makan, ya?" Farah tetap menyodorkan sendok itu, meminta Alena membuka mulutnya. Tapi Alena tetap menggeleng.

"Gue nggak mau makan."

"Dikit aja nanti lo sakit."

"Biarin."

"Al, lo kok ngomong gitu?"

Alena menatap Farah tajam. "Biarin gue mati sekalian." Ucapan itu begitu pelan namun dalam.

Farah terhenyak. "Astagfirullah, Al. Nggak boleh ngomong gitu."

"Kenapa?"

Farah lalu tersenyum. "Coba dulu satu sendok. Buka mulut lo. Ini enak lho--"

"Gue bilang nggak mau makan!" Alena serta merta menepis sendok itu hingga sendok itu jatuh ke lantai dan menimbulkan bunyi berdenting, nasinya juga bertaburan.

Farah terkejut bukan main dengan sikap Alena. "Al, lo ...." Farah menatap Alena tak percaya. Untuk pertama kalinya dia melihat Alena bersikap sekasar itu terhadap dirinya. "Gue masih di sini buat bantuin lo, tapi begini balasan lo ke gue?" Farah menggeleng, meletakkan piring itu ke atas nakas, lantas berdiri ke luar kamar dengan perasaan kecewa.

Gadis itu seketika tersadar atas apa yang sudah dia lakukan terhadap sahabatnya. Ya, sahabatnya yang paling baik hati dan selalu ada untuknya. Dia sendiri juga tak menyangka dia bisa kelepasan seperti itu.

Gadis itu lantas turun dari ranjang. Mendatangi sahabatnya. "Farah, maafin gue!"

Aprillia D

Farah sama Alena berantem? Gimana ya kelanjutannya? Gulir terus bab selanjutnya, ya. Terima kasih

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status