"Anak haram, Alena anak haram."
"Woi ada anak haram woi ada anak haram!"
Begitu anak-anak komplek mengatainya setiap kali dia bergabung untuk main bersama mereka. Tak jarang Alena di jauhi oleh teman-teman sebayanya di komplek karena julukan yang melekat pada dirinya yang dia sendiri masih belum mengerti apa sebabnya.
Kadang Alena menjawab. "Aku bukan anak haram!"
Lalu salah satu anak komplek menjawab. "Tapi kata Mama aku, kamu anak haram. Buktinya Bapak kamu nggak ada."
"Iya, aku nggak pernah lihat Bapak kamu di rumah kamu. Kamu aja nggak tahu 'kan Bapak kamu siapa dan di mana? Itu artinya kamu memang anak haram yang bapaknya nggak jelas!" sahut anak yang lainnya.
"Aku tahu. Kata Ibu aku, Bapak aku sibuk kerja di luar negeri," jawab Alena.
"Bilang aja Bapak kamu memang nggak ada. Nggak usah cari alasan sibuk kerja ke luar negeri segala!" balasnya lagi sambil tertawa hingga bahunya berguncang-guncang.
Dan ketika Alena kalah debat sama mereka, ujung-ujungnya Alena menangis dan lari masuk ke rumah mengadu ke ibunya.
Kenapa teman-temannya selalu mengatainya anak haram?
Ibunya menjawab. "Jangan dengarkan mereka. Mereka nggak tahu apa-apa tentang kita. Bapakmu memang sibuk kerja cari duit buat kita di sini. Saking sibuknya beliau nggak punya waktu buat jengukin kita."
Tentu saja Alena lebih percaya apa kata ibunya dibanding teman-temannya.
Namun, seiring berjalannya waktu ketika Alena beranjak dewasa, tepatnya SMP, ibunya baru mengatakan sebenarnya ayahnya telah lama meninggalkan ibu dan ibu tak tahu keberadaan ayah sekarang.
Ada rasa sedih setiap kali mengingat itu. Ternyata ibunya berbohong selama ini. Jujur, sebenarnya dia kecewa. Kenapa ibunya tak berterus terang sejak dulu kalau kakek Bagaskara adalah ayahnya?
Pantas saja selama ini dia merasakan ikatan batin antara dia dan kakek Bagaskara saat mereka sesekali ketemu pada acara kumpul keluarga di rumah Moyang Karla. Ada perasaan aneh yang tak bisa dia jelaskan tiap kali dekat dengan pria itu. Dia merasa sangat dekat lebih dari seorang cucu terhadap kakeknya. Dulu, dia tak mengerti kenapa. Sekarang dia tahu, ternyata pria itu adalah ayah kandungnya.
Mungkin inilah rahasia besar yang selama ini keluarganya sembunyikan darinya. Mungkin karena kesalahan itu pula ibunya dibuang dan tak dianggap oleh keluarganya sendiri sampai-sampai hidup ibunya menderita. Ibunya menderita karena memperjuangkan dirinya.
Air mata yang tadi telah mengering kembali membasahi pipi. "Ibu ...." Alena tergugu mengingat ibunya. Mengingat penderitaan yang ibunya alami selama ini dan sampai ibunya meninggal, ibunya belum juga bahagia.
Ucapan ibunya sebelum meninggal kembali terngiang.
"Intinya Bagaskara adalah Ayah kandung kamu. Ibu tidak menikah dengannya karena ulah Rista. Rista itu jahat! Sangat jahat! Dia yang sudah merebut Ayah kamu dari Ibu! Dia wanita manipulatif, munafik."
Terbayang olehnya sosok nenek Rista yang selama ini terlihat baik di hadapannya. Ternyata sikap wanita itu di depannya dengan di belakangnya berbeda. Alena tidak tahu seberapa jahat Rista. Namun, mengingat raut wajah ibunya yang menyebutkan 'Rista jahat' sepertinya apa yang pernah dilakukan wanita itu terhadap ibunya begitu kejam.
"Al, makan, yuk?"
Panggilan Farah membuyarkan lamunannya. Farah masuk ke kamar Alena sembari membawa nampan berisi piring dan gelas minum. Tapi Alena masih diam seribu bahasa, duduk termenung di atas tempat tidur.
Sejak semalam sampai siang ini tak ada sesuap makanan masuk ke perutnya. Alena hanya berdiam diri, termenung memikirkan banyak hal, menangis tanpa henti. Wajahnya bahkan sudah seperti zombie. Bibirnya pucat. Lingkaran hitam di matanya terlihat kentara.
Hari ini hari pertama ibunya tiada di rumah. Alena tak sanggup membayangkan hari-harinya setelah ini.
Farah meletakkan nampan itu di atas nakas, lalu dia duduk di samping Alena. "Al, makan, gue suapin, ya?" Farah mengambil piring dari atas nampan. Ada nasi, sayur, dan sepotong ayam goreng. Lauk sisa tahlilan tadi malam. Farah memotong bagian ayam gorengnya yang tak bertulang dengan sendok dan menciduk nasi serta sayur. Mengulurkannya ke mulut Alena yang terkatup rapat. Gadis itu masih bergeming. "Al."
Gadis itu menggeleng.
Farah menghela napas. "Dari semalam lo nggak makan apa-apa, kalau lo terus kayak gini, bisa-bisa lo sakit, Al. Makan, ya?" Farah tetap menyodorkan sendok itu, meminta Alena membuka mulutnya. Tapi Alena tetap menggeleng.
"Gue nggak mau makan."
"Dikit aja nanti lo sakit."
"Biarin."
"Al, lo kok ngomong gitu?"
Alena menatap Farah tajam. "Biarin gue mati sekalian." Ucapan itu begitu pelan namun dalam.
Farah terhenyak. "Astagfirullah, Al. Nggak boleh ngomong gitu."
"Kenapa?"
Farah lalu tersenyum. "Coba dulu satu sendok. Buka mulut lo. Ini enak lho--"
"Gue bilang nggak mau makan!" Alena serta merta menepis sendok itu hingga sendok itu jatuh ke lantai dan menimbulkan bunyi berdenting, nasinya juga bertaburan.
Farah terkejut bukan main dengan sikap Alena. "Al, lo ...." Farah menatap Alena tak percaya. Untuk pertama kalinya dia melihat Alena bersikap sekasar itu terhadap dirinya. "Gue masih di sini buat bantuin lo, tapi begini balasan lo ke gue?" Farah menggeleng, meletakkan piring itu ke atas nakas, lantas berdiri ke luar kamar dengan perasaan kecewa.
Gadis itu seketika tersadar atas apa yang sudah dia lakukan terhadap sahabatnya. Ya, sahabatnya yang paling baik hati dan selalu ada untuknya. Dia sendiri juga tak menyangka dia bisa kelepasan seperti itu.
Gadis itu lantas turun dari ranjang. Mendatangi sahabatnya. "Farah, maafin gue!"
Farah sama Alena berantem? Gimana ya kelanjutannya? Gulir terus bab selanjutnya, ya. Terima kasih
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M