"Sebenarnya ... Ibu bohong ... tentang Ayah kamu selama ini." Dengan susah payah, Leyla menuntaskan kalimatnya. Suaranya terdengar semakin melemah. "Ayah kamu ... nggak meninggalkan Ibu. Dia ada ... di dekat kamu."
"Bohong gimana, Bu?" Pikiran Alena mulai berspekulasi.
"Ayah kamu nggak meninggalkan Ibu seperti yang pernah Ibu ceritakan. Ayah sama Ibu nggak pernah menikah."
Alena tertegun.
Jadi ibu dan ayah tidak pernah menikah?
Itu artinya ibunya hamil di luar nikah dan dirinya adalah anak haram?
"Kenapa bisa, Bu? Jadi siapa sebenarnya Ayah aku?"
Mata Leyla yang sedari tadi menatap Alena, beralih menatap langit-langit ruangan bercat putih bersih. "Ayah kamu adalah orang yang selama ini kamu anggap sebagai Kakek kamu. Bagaskara."
Alena lebih syok lagi. Kakek Bagaskara? Bukannya kakek Bagaskara itu suami nenek Rista, adik dari neneknya? Bagaimana bisa Bagaskara adalah ayahnya? Alena tak mengerti bagaimana semuanya bisa terjadi.
"Ibu nggak bohong, 'kan, Bu?" Alena rasanya tak percaya.
Leyla menggeleng lemah. "Ceritanya rumit ...." Suara Leyla nyaris tak terdengar.
"Bagaimana itu bisa terjadi, Bu? Jelasin ke aku." Alena mendesak ibunya dengan rasa penasaran yang membesar. Sementara Farah yang mendengarnya kian membisu.
Leyla kembali menatap Alena. "Maafin Ibu, Alena ..." Leyla malah minta maaf membuat Alena makin tak mengerti. "Intinya Bagaskara adalah Ayah kandung kamu. Ibu nggak menikah dengannya karena ulah Rista. Rista itu jahat! Sangat jahat! Dia yang sudah merebut Ayah kamu dari Ibu! Dia wanita manipulatif. Munafik." Leyla menggebu-gebu. Meski lemah, intonasinya kian meninggi.
Alena diam, menunggu ibunya melanjutkan ucapan. Namun, tidak dengan pikirannya yang sibuk berspekulasi.
"Sekarang mereka hidup bahagia bersama anaknya, Alyssa. Mereka bahagia di atas penderitaan kita." Tangis Leyla pecah seketika. Tak dapat lagi menahan kesedihan yang kian menyesakkan hati. Peristiwa-peristiwa masa lalu mendadak berkelabat di ingatannya. "Seandainya dulu Ibu yang menikah dengan ayahmu. Nasib kamu tidak akan begini, Alena."
Alena berusaha untuk tidak menangis, meski tak dapat dimungkiri perasaannya sedih dan sakit mendengar cerita Ibu. "Ibu nggak boleh nangis," bisiknya.
"Kamu harus datangin mereka, kamu harus--"
"Ibu jangan ngomongin itu dulu, Bu. Ibu fokus aja sama kesembuhan Ibu, ya?" Alena berusaha mengalihkan perhatian ibunya. Tapi Leyla malah menggeleng.
"Ibu mohon kamu harus datangin mereka ... minta pertanggungjawaban kepada mereka ...." Selepas mengucapkan kalimat itu, Leyla mendadak mengalami sakaratul maut.
"Ibu!" Alena berteriak tertahan. Tak pernah terduga olehnya, di usianya yang masih sangat belia, dia melihat sendiri ibunya sakaratul maut, secepat itu.
"Laa ... ilaaha ...."
"Laa ... ilaaha ... illallaahh ...." Dengan air mata tak terbendung, Alena membantu ibunya mengucapkan dua kalimat syahadat. "Muhammadur Rasulullah ...."
Persis kalimat itu selesai dilisankan, Leyla menghembuskan napas terakhir. Tangis Alena pecah seketika. Tangannya menutup kedua mata sang ibu yang telah tak bernyawa "Ibu!!"
"Tante Leyla!" Farah yang sejak tadi terdiam akhirnya berseru. "Al, lo yang sabar, ya?" Farah mengusap bahu Alena.
Alena lantas menggeleng, tersadarkan sesuatu. "Ibu pasti belum meninggal. Ibu masih bisa diselamatkan!" Alena masih berharap semua ini tidak nyata. Yang dia lihat tadi hanyalah ilusi-nya. "Bu, bangun, Bu!"
"Al, Tante Leyla beneran udah meninggal."
Alena tak memedulikan Farah dan malah berlari menuju pintu, ke luar ruangan mencari dokter. "Dokter!"
Farah yang melihat itu tak bisa mencegah lagi.
"Dokter!" Suara Alena terdengar lantang di lorong depan ruangan itu. Mengundang perhatian pengunjung lain dan staf rumah sakit. Tak lama kemudian, dokter yang tadi menangani ibunya beserta seorang perawat pun datang.
"Ada apa, Mbak?" tanya perawat itu.
"Ibu saya! Ibu saya!" Alena kehilangan kata-kata. Melihat aksi Alena yang demikian, dokter dan perawat itu langsung bergegas masuk ke ruangan. Alena ikut masuk dan menyaksikan semua.
"Permisi."
Farah menepi.
Dokter memeriksa denyut nadi di tangan Leyla dengan kedua jarinya. Lantas menggeleng. "Innalillahi Wa'innailaihi Rajiun, Bu Leyla sudah tiada."
Alena menggeleng keras. "Nggak mungkin, Dok! Dokter pasti salah, periksa lagi, Dok! Atau coba lakukan sesuatu siapa tahu Ibu saya masih bisa sadar!"
"Maaf, tapi Ibu Anda sudah meninggal dunia," jelas dokter itu lagi.
Alena menatap sang dokter tak percaya, lalu menghampiri ibunya yang terbaring kaku. "Ibu! Ibu kenapa tinggalin Alena, Ibu?! Ibu bangun!!" Alena mengguncangkan tubuh ibunya sekuat tenaga berharap ibunya bangun.
"Al, istighfar, Al. Tante Leyla udah nggak ada," bisik Farah. "Ikhlasin, Al."
Alena tak peduli dan terus berteriak histeris sambil mengguncang tubuh ibunya. Berharap ada keajaiban.
"Ibu!!" Alena terus menangis dan berteriak sampai akhirnya gadis itu jatuh pingsan.
"Alena!" Farah yang melihat itu langsung panik sekaligus bingung. Apa yang harus dia lakukan?
Gulir terus bab selanjutnya ....
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M